“Shalat tarawih 8 (delapan) rakaat itu hanya ada di Asia Tenggara. Di Makkah shalat tarawih juga 20 (dua puluh) rakaat dengan 3 rakaat witir. Saya mendengar di masjid ini akan dilaksanakan 23 (dua puluh tiga) rakaat juga. Itu bagus, tetapi saya jamin besok tinggal 3 (tiga) orang saja yang shalat tarawih.”
Kelima itu saya dengar dari seorang ustadz pada taushiyah di malam pertama shalat tarawih dalam masjid salah satu komplek daerah Pamulang Tangerang Selatan.
Isi ceramah kultum lainnya mengingatkan supaya para jamaah tetap menjaga puasanya, karena puasa Ramadlan ini penuh dengan berkah. Apapun profesinya, baik sebagai tukang ojeg, pedagang pasar, dan seterusnya, tetap harus menjalankan ibadah puasa. Jangan hanya saur dan buka puasa bersama keluarga, tetapi siangnya tetap makan dan minum di luar rumah.
Apa yang dapat ditangkap dari ceramah sang ustadz tersebut?
Pertama, ustadz mencoba memahami psikologis jamaah shalat tarawih yang selama ini sudah aktif dan rajin dengan delapan rakaat.
Kedua, ustadz memahami bahwa delapan rakaat itu bukanlah satu-satunya kebenaran dalam menjalankan ibadah shalat tarawih.
Ketiga, ustadz mengapresiasi adanya keinginan untuk melakukan perubahan dari delapan ke 20 dua puluh rakaat, hanya saja mungkin para jamaah belum siap melakukannya. Keempat, ustadz memberi tantangan kepada para pengurus DKM untuk membuat strateginya.
Berkaitan dengan peristiwa di atas, penulis ingin memaparkan sejarah singkat shalat tarawih pada masa Nabi Muhammad Saw. Bagaimana sebaiknya menjalankan shalat tarawih jika kebiasaannya sudah 8 atau 20 rakaat?
Sebab, bukankah shalat tarawih itu untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan untuk mencari ketenangan batin, baik sebagai hamba Allah yang sedang berpuasa, maupun sebagai umat Islam yang masih berjuang supaya memperolah derajat orang bertaqwa?
Mbah Kyai Ali Ma’shum dalam Hujjah Ahl As-Sunnah Wa al-Jama’ah (1983) bagian al-Misal ar-Rabi’ (Contoh keempat) mengurai hal ihwal tarawih yang 8 (delapan) dan 20 (dua puluh) rakaat dengan 3 (tiga) rakaat untuk shalat witirnya. Bagi kita, mazhab Syafi’yyah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah, kata Mbah Ali, maka jumlah rakaat pada shalat tarawih itu 20 (dua puluh) rakaat dan 3 (tiga) rakaat untuk shalat witirnya. Oleh mazhab Syafi’iyyah (pengikut Imam Syafi’i) dan Hanabilah (pengikut Imam Hanbali) hukum shalat Jama’ahnya itu sunnah ‘ain muakkad, artinya sunnah bagi setiap orang untuk berjamaah.
Bagi mazhab Malikiyyah (pengikut Imam Malik) jamaah itu mandubah (disunnahkan). Dan mazhab Hanafiyyah (pengikut Imam Hanafi) berjamaah pada shalat tarawih itu sunnah kifayah, artinya jika sudah ada orang yang berjamaah, maka tidak semua orang untuk berjamaah lagi, alias boleh shalat sendiri.
Nabi Muhammad Saw. pernah melakukan shalat tarawih sejak tahun kedua Hijriyah, pada tengah malam hari bulan Ramadlan selama 3 (tiga) kali, yaitu tanggal 23, 25, dan 27. Dalam penjelasannya, Mbah Ali menegaskan, Nabi shalat tarawih di masjid yang diikuti oleh para jamaah. Saat itu, Nabi menjalankannya 8 (delapan) rakaat, dengan 4 (empat) salam, dan disempurnakan shalat tarawihnya itu di rumahnya (yakni, disempurnakan hingga 20 –dua puluh- rakaat).
Nabi tidak menyempurnakan shalat tarawih di masjid itu untuk menghindari kekhawatiran para Sahabat yang akan menganggapnya sebagai shalat wajib. Hal itu seperti diriwayatkan oleh syaikhan (Bukhari dan Muslim).
Ditegaskan KH Ali Maksum Krapyak, bahwa jumlah rakaat di atas, tidak boleh dianggap bahwa delapan rakaat itu pendek-pendeknya shalat tarawih dengan dalil di atas. Sebab harus disempurnakannya di rumah. Pada masa Umar bin Khattab jumlah 20 rakaat itulah akhirnya disepakati para Sahabat Nabi dan tidak ada khilaf hingga Khulafa’ur Rasyidin.
Nabi Saw. bersabda, ‘alaikum bi sunnati wa sunnati al-khulafa’ ar-rasyidin al-mahdiyyin ‘adldlu ‘alaiha bi an-nawajid (ikutlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur Rasyidin, peganglah dengan sekuat-kuatnya (HR. Abu Daud). Demikian itulah riwayat ringkas shalat tarawih pada masa Nabi Saw. yang dilanjut pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
Adapun keterangan bahwa pernah ada shalat tarawih 30 rakaat pada masa ‘Umar bin Abdul Aziz, hal itu tidak berlaku umum sebagaimana 20 rakaat. Begitu juga dengan hadis Nabi Saw. yang menjelaskan tentang 8 yang disandarkan pada hadis ‘Aisyah r.a. itu bukan sekadar dilakukan pada masa Ramadlan, tetapi juga di luar Ramadlan dengan jumlah 11 (sebelas) rakaat.
Maka hadis itu kurang tepat jika digunakan untuk shalat tarawih yang hanya dilaksanakan pada bulan Ramadlan. Oleh karena itu, hadis itu lebih tepat digunakan untuk jumlah maksimal shalat witir.
Dari penjelasan sejarah singkat di atas, kita dapat mengambil benang merah, bahwa shalat tarawih itu bukan shalat wajib (fardlu) dan dilaksanakan sebanyak 20 rakaat dan 3 rakaat witir. Adapun bila melaksanakan shalat tarawih dengan 8 rakaat itu sebaiknya dilanjutkan di rumah masing-masing, hingga 20 (dua puluh) rakaat. Oleh karena tarawih itu bagian dari ibadah di bulan Ramadlan, maka sebaiknya dengan shalat tarawih itu kita dapat memperoleh ketenangan.
Tidak perlu lagi ada perdebatan dengan yang menolak 20) rakaat, tetapi lihatlah beberapa masjid yang sudah menerapkan hal itu, seperti di Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atau masjid Istiqlal Jakarta, dst. Tidak perlu juga kita khawatir dengan jumlah jamaah yang akan semakin susut atau bubar shalat tarawihnya, karena jumlah rakaat yang berbeda dari biasanya.
Gus Dur dalam beberapa kesempatan sering menyampaikan, bahwa shalat tarawih yang 8 rakaat itu telah mendapat diskon, dari 20 (dua puluh) rakaat. Pernyataan tersebut, selain sebagai joke, dapat juga ditangkap pesan, tidak perlu lagi dipersoalkan jumlah rakaatnya, karena masih banyak orang muslim lain yang belum menjalankan shalat tarawih dengan berbagai alasannya.
Akan tetapi, jika setiap orang muslim sudah siap dan sadar diri ingin menjalankan shalat tarawih dengan sesuai tuntunan dan pada masa Rasulullah Saw., sebaiknya tetap dengan 20 (dua puluh) rakaat dan 3 shalat witir. Masih belum terlambat untuk memperbaiki shalat tarawihnya menjadi 20 rakaat. Semoga kita termasuk orang Islam yang mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para Sahabat Nabi, Khulafaur Rasyidin.
Akhirnya, dengan menyadari bahwa shalat tarawih untuk ketenangan dalam beribadah, pelaksanaannya pun tidak buru-buru, tetapi istiqamah, dengan tenang, tanpa ada pemaksaan atau keraguan di dalamnya. Wallahu a’lam bish shawab. []
Mahrus eL-Mawa, Intelektual muslim, alumni pesntren Krapyak Jogja, tinggal di Ciputat