Pada umumnya shalat malam itu dilakukan dengan dua rakaat satu salam. Akan tetapi berbeda halnya dengan shalat tarawih (qiyamu Ramadhan). Ada petunjuk lain yang memperbolehkan shalat tarawih dilaksanakan dengan empat rakaat satu salam. Dengan demikian shalat malam itu boleh dilakukan dengan dua cara yaitu; dua rakaat satu salam dengan jumlah delapan rakaat ditambah dengan tiga rakaat witir atau sepuluh rakaat ditambah tiga rakaat shalat witir. Dan juga boleh dilakukan dengan empat rakaat satu salam dengan jumlah delapan rakaat ditambah tiga rakaat shalat witir.
Namun demikian, ada hadits shahih yang secara khusus menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. melaksanakan shalat qiyamu ramadhan sebanyak sebelas rakaat dengan cara empat rakaat satu salam ditambah tiga rakaat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan diterangkan dalam hadis Bukhari- Muslim dan Abu Daud:
مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكَعَةٍ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلُ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقَالَتْ عاَئِشَةُ فَقَلَتْ يَا رَسُولَ اللهُ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ فَقَالَ يَا عاَئِشَةُ إِنَّ عَيْنِي تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي
“Tidak pernah Rasulullah SAW menambah rakaat shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula pada malam-malam lainnya dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat, jangan ditanya tentang baik dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi, jangan ditanya bagus dan panjangnya, kemudian shalat 3 rakaat. Kemudian Aisyah bertanya, Apakah engkau tidur dahaulu sebelum sholat witir. Kemudian Rasulullah SAW menjawab, sesungguhnya dua mataku tertidur akan tetapi hatiku tetap terjaga. (HR. Bukhari-Muslim No. 732 dan Abu Daud No. 1212).
Begitu pula Syeikh al-Albani menguatkan hadis di atas dengan komentarnya:
فَنَخْتَارُ أَنْ لَا يَزِيْدَ عَلَيْهَا اِتِّبَاعًا لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاِنَّهُ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهَا حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Kami memilih untuk tidak menambah atasnya (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah Saw, karena Beliau tidak pernah menambahnya sampai meninggal dunia.
Pendapat inilah yang banyak diikuti oleh saudara kita dari kalangan Wahabi, Salafi dan sebagian Ormas di Indonesia.
Lantas pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan orang yang melakukan sholat tarawih dengan bilangan dua puluh rakaat dan tiga witir sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat Indonesia?
Dalam keterangan hadis shahih diatas kita bisa mengambil dua kesimpulan. Pertama, Aisyah Ra. sama sekali tidak secara tegas mengatakan bahwa sebelas rakaat itu adalah jumlah rakaat shalat tarawih. Yang berkesimpulan demikian adalah para ulama yang menafsirkan sendiri dan mendukung pendapat yang mengatakan shalat tarawih itu sebelas rakaat. Mereka beranggapan bahwa shalat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah shalat tarawih.
Kedua, Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Inilah yang mendasari kenapa shalat tarawih dilakukan sebanyak sebelas rakaat termasuk witir. Walaupun dalam hal ini ada yang mengatakan bahwa shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat tarawih. Karena shalat tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat tarawih. Akan tetapi dalil shalat witir. Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Aisyah.
Dari Aisyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Rasulullah Saw. shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).(21)
Imam al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Rasulullah Saw. melaksanakan shalat witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”
Bilangan Sholat Taraweh dengan bilangan dua puluh rakaat dan tiga witir pertama kali dilakukan oleh sahabat Umar bin Khatab sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Kasaani, “Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab Ra. Lalu shalat tersebut dilaksanakan sebanyak dua puluh rakaat. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Disebutkan pula oleh Imam al-Hafidz al-Baihaqi dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra, beliau berkata dengan mengutip Saib bin Yazid yang berkata: “Para sahabat melaksanakan shalat malam pada masa Umar bin Khatab Ra. pada bulan ramadhan dengan dua puluh rakaat.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubra, dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.
Namun hadis di atas mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li alijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra`yi).
Hadis di atas kualitasnya shahih. Imam Nawawi mengemukakan hal tersebut dalam kitabnya al–Khulashah dan al-Majmu’. Pernyataan ini diperkuat oleh Imam al-Zaila’i dalam kitabnya Nashb al–Rayah. Hadits tersebut disahihkan pula oleh Imam al-Subki dalam Kitabnya Syarah Minhaj, Imam Ibnu Iraqi dalam kitabnya Tharh al–Tatsrib, dan Imam al-Aini dalam kitabnya Umdah al–Qari. Begitu pula Imam Suyuthi dalam kitabnya al–Mashabih fi Shalat Tarawih, Imam Ali al-Qari dalam kitabnya Syarh al–Muwatha, Imam al-Minawi dalam kitabnya Atsar al–Sunan, dan Imam-Imam lainnya.
Dalam kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, Imam al-Tirmidzi menyatakan bahwa para sahabat seperti Umar Ra, Ali Ra, dan sahabat lainnya melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat selain witir. Pendapat ini didukung Imam al-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak, dan Imam al-Syafi’i. pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibnu `Abidin dan Imam al-Dasuqiy bahwa Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.
Pendapat ini juga dipilih oleh sebagian besar Imam Madzhab seperti Imam As-Sarkahsy (salah satu Imam Madzhab Hanafi) dalam kitab al_Mabsuth. Beliau mengatakan bahwa pelaksanaan shalat tarawih dengan model 20 rakaat (selain witir) yang dipakai dalam madzhabnya.
Begitu pula menurut Imam Ibn Qudamah (Salah Satu Imam Madzhab Hanbali) dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan “Adapun pendapat yang dipilih dalam madzhab kami adalah dua puluh rakaat (selain witir). Pendapat ini juga dikemukakan oleh al-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, dan al-Syafii. Adapun Imam Malik memilih 36 rakaat”.
Demikian pula Imam al-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu` mengatakan “Sholat Tarawih itu sunnah dengan landasan Ijma` Ulama. Adapun pelaksanaannya dalam madzhab kami memilih 20 rakaat (selain witir) dengan sepuluh salam, bisa dilakukan sendiri ataupun dengan berjamaah.”
Selain pelaksanaan jumlah rakaat shalat tarawih dengan dua cara seperti yang diuraikan diatas, sebagian ulama lain ada juga yang melakukan shalat tarawih dengan rakaat berbeda dari biasanya. Seperti yang disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu` bahwa Imam Malik memilih pendapat shalat tarawih dengan 36 rakaat. Pendapat Beliau ini menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah-nya berlandaskan dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya yang shahih.
Dengan tidak adanya satu pun hadits shahih yang secara tegas menetapkan jumlah rakaat tarawih Rasulullah SAW, maka para ulama berbeda pendapat tentang jumlahnya. Ada yang delapan rakaat, dua puluh rakaat, bahkan tiga puluh enam rakaat. Dan semua punya dalil sendiri-sendiri yang sulit untuk dipatahkan begitu saja.
Dengan demikian orang yang mengerjakan shalat tarawih dengan jumlah rakaat merujuk pada hadis shohih, atau yang Ijma Ulama diatas sama-sama mempunyai landasan dalil yang diyakini kebenarannya. Tugas utama kita adalah menjelaskan pada masyarakat bahwa hal tersebut lumrah terjadi. Jangan sampai adanya perspektif yang berbeda dalam memahami suatu teks yang sifatnya sunnah, menggugurkan perkara yang wajib, yaitu menjaga persatuan dan tali silaturrahim sesama umat Islam sehingga menimbulkan konflik saling mecela, mencaci, bahkan sampai menkafirkan.