Pada zaman sekarang perdagangan sebagai sumber penghasilan tidak kalah penting dibandingkan dnegan pertanian. fenomena perdagangan pun sudah lama dikenal. Bentuk dan caranya saja yang berbeda. Kalu dulu menggunakan sistem barter, maka sekarang- karena dipandang tidak praktis-transaksi jual beli dilakukan dnegan memakai alat tukar, yaitu uang atau surat-surat berharga lainnya.
Barang yang diperjualbelikan pun makin beragam, tapi masalah jual beli jin tampaknya baru terjadi belakangan ini. Terlepas dari kebenaran berita tersebut, dan bagaimana praktiknya.
Sebelum membahas tentang perihal jual-beli jin, lebh dahulu dikemukakan pembahasaan singkat mengenai jin dan kriteria benda-benda yang bisa diperdagangkan.
Pada hakikatnya jin sama dengan manusia. Ia juga mukallaf, dalam artian dibebani tugas-tugas dan kewajiban. Ada jin mukmin, ada juga yang kafir. Yang mukmin, ada yang taat, ada juga yang durhaka atau maksiat. Perbedaannya ia makhluk ghaib seperti malaikat. Hanya orang-orang tertentu dengan cara-cara tertentu dapat melihat jin, bahkan berdialog dengannya.
Bukti paling konkrit adanya jin, selain dari keterangan al-quran dan hadits, adalah orang gila atau majnun yang secara lughawi dalam bahasa Arab, aryinya orang yang kemasukan jin. JAdi jin tidak sama dengan hewan. Secara fungsional, ia seperti manusia yang tidak diciptakan Allah Swt selain untuk beribadah kepada-Nya.
Lain dari itu, salah satu syarat jual beli adalah barang (yang dijual) harus menjadi milik penjual, dengan statusnya sebagai sesama hamba Allah Swt. Tidaklah dibenarkan mereka saling menguasai. Karena itu perbudakan tidak dibenarkan dalam Islam.
Sejak kedatangannya, Islam memperlakukan budak secara manusiawi, sekaligus berusaha menghapus perbudakan secara bertahap dengan jalan menjanjikan pahala besar bagi orang-orang yang memerdekakannya, dan dengan menjadikan raqabah 9memerdekakan budak) sebagai kafa’ah (tebusan atau denda) atas beberapa kesalahan, seperti melanggar sumpah, membunuh orang dan bersetubub pada siang hari di bulan Ramadhan dan lain-lain. karena pada dasarnya manusia tidak luput dari kesalahan-kesalahan, maka dengan sendirinya perbudakan akan lenyap.
Belum lagi berbicara tentang diisyaratkannya barang yang diperjualbelikan harus dapat dilihat, seperti termaktub dalam kitab fath al-Mu’in, yang sudah barnag tentu tidak terpenuhi dalam kasusu penjualan jin.
Dengan alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan, jin tidak boleh diperjualbelikan. Apalagi kalau kita mempertimbangkan pula dampak-dampak negatif yang sangat mungkin timbul karena disalahgunakan , mengingat jin bersifat ghaib dan memiliki kekuatan yang cukup besar.
Sebenarnya selain jin, banyak sekali benda yang tidak boleh diperdagangkan. Contohnya minuman keras serta obat-obatan terlarang.Tapi, sayang pemerintah kurang bersungguh-sungguh dalam menangani hal ini.
Sumber; Dialog Problematika Umat; Hal 396-397, Khalista 2014.