Jokowi mengajak kita semua hijrah, tapi bukan seperti hijrah yang selama ini kita kenal dan ramai diperbincangkan khalayak, khususnya anak-anak muda muslim di Indonesia belakangan ini. Lalu, apa hijrah Jokowi ini?
Hijrah menurut Jokowi adalah sebuah bahasa universal. “Marilah kita hijrah, dari pesimisme ke optimisme. Berhijrah dari yang konsumtif ke produktif,” tuturnya, Sabtu (3/11).
Tentu saja ajakan hijrah ini bisa dimaknai dengan begitu positif dan tidak salah juga kita menyebutnya sebagai salah satu esensi islam. Tapi, bukan itu saja yang Jokowi utarakan terkait hijrah ini.
“(Juga hijrah) dari marah-marah ke yang sabar. Yang (biasanya) marah mari hijrah ke yang sabar. Hijrah dari perpecahan ke persatuan,” tambahnya.
Nah, dari titik ini, ajakan hijrah Jokowi justru lekat sekali dengan islam dan begitu dekat dengan kita sebagai muslim, agama yang dianut oleh Jokowi. Apalagi di tengah politik identitas yang kian kental belakangan ini serta bumbu politik yang justru tampak memperuncing keadaaan.
Konteks hijrah ini memang diutarakan oleh Jokowi ketika berjumpa dengan para wirausahawan dan mengajak mereka untuk saling berkolaborasi dan bekerjasama dalam kompetisi, bukan saling menjatuhkan. Hingga, akhirnya, terciptalah iklim kompetisi yang menghasilkan daya-daya kreatif yang berguna bagi manusia. Atau dalam bahasa Islam, menjadi orang yang berguna bagi sesama.
Kakek dari Jan Ethes itu juga kembali menyuarakan hal yang sama, Hijrah, takala tatkala berpidato dalam acara deklarasi dukungan dari keluarga besar almarhum Tubagus Chasan Sochib, soerang ulama dan juga pendekar silat legendaris di Banten, Sabtu malam.
“Saya mengajak kita semuanya mari kita bersama-sama mulai hijrah dari ujaran-ujaran kebencian ke ujaran-ujaran kebenaran. Mari kita hijrah dari sering mengeluh-mengeluh, hijrah untuk selalu bersyukur, bersyukur,” ujar Jokowi.
Politik elektoral belakangan ini memang menjadikan gaduh. Banyaknya hoaks hingga ujaran kebencian menjadikan kita lupa esensi penting dari hijrah, yakni perpindahan dari hidup yang kita anggap buruk atau menyedihkan menjadi kehidupan yang lebih baik. Dan, tampaknya, Jokowi mengingatkan akan makna penting yang kerap kita lupakan.
“Mari kita hijrah dari suka suudzon, berprasangka buruk, menjadi khudznuzon berprasangka baik dengan sesama. Saya juga mengajak kita hijrah dari membuat kegaduhan menjadi menjalin persatuan, kesatuan dan kerukunan,” lanjut dia.
Jadi, bagaimana, apakah kamu sudah berhijrah? Jokowi saja sudah, masak kamu belum?