Resesi ekonomi yang melanda Gotham, badut yang menyambung nyawa dengan bekerja serabutan. Miskin, kurus, mengalami gangguan mental yang bisa tertawa kapan saja tanpa bisa dikontrol. Tertawanya bukan tawa bahagia, seringnya wajahnya terlihat suram. Tertawa dan kesuraman juga sekaligus menjadi wajah Gotham yang melahirkan sekian orang sakit dengan perilaku yang jika mengikuti kaidah kenormalan, disebut sebagai penyimpangan. Tapi karena Gotham adalah kota yang sakit pula, seolah Rumah Sakit Jiwa Arkham seperti menjadi ikonnya.
Lebih detail dalam serial Gotham, tak semua penghuni Gotham yang melakukan kriminal adalah sampah masyarakat. Dalam season awal, penggambaran seorang yang bersimpati dengan anak-anak sekaligus muak dengan politisi dan agamawan membuat semacam hukuman menerbangkan mereka dengan balon udara. Tubuh orang-orang brengsek yang bersembunyi di balik moralitas tadi diterbangkan dan setelah sekian hari, badannya akan jatuh lagi ke bumi dengan anggota tubuh yang berserakan.
Mungkin suasana depresif dari Gotham tadi pula yang ingin dihadirkan dalam Joker (2019), garapan Todd Phillips. Kesakitan masyarakat Gotham yang terwakili dari postur kurus dan tertawanya Arthur Fleck, yang kemudian menasbihkan diri menjadi Joker (Joaquin Phoenix). Tentang gambaran bobroknya sistem lengkap dengan kelakuan orang-orang kaya dan politisinya yang nyaris seperti gambaran Jakarta (semoga saya hanya berlebihan dan salah dalam perumpamaannya).
Menonton Joker dari awal sampai akhir adalah teror tidak henti tentang manusia, masyarakat dan sistem yang melingkupinya. Joker, masa lalunya yang sedemikian menyedihkan, kesehatan mentalnya yang tidak kunjung membaik, masyarakat yang buas, dengan keadaan resesi ekonomi tadi, bermetamorfosis menjadikan Joker seperti bom waktu.
Joaquin Phoenix terlihat mumpuni memerankan Joker. Tidak bisa dipungkiri mendiang Heath Ledger, si pemeran Joker terdahulu dalam The Dark Knight (2008), seolah kembali hadir dengan kesakitan yang sepertinya lebih brutal.
Totalitas peran gila dan kutipan-kutipannya, seperti hal yang otomatis saya tirukan saat menonton ulang The Dark Knight. Ledger, diganjar penghargaan Oscar sebagai aktor pendukung terbaik tahun 2009, tapi sebelum mendapatkan itu, ia meninggal karena overdosis obat tidur. Saya memiliki keyakinan, Joaquin Phoenix juga pantas diganjar Oscar.
Saya tidak tahu, apakah Joaquin Phoenix ada dalam bayang-bayang Ledger. Kabarnya, awalnya dia takut memerankan tokoh gila ini sebelum akhirnya menerimanya.
Kelahiran Joker(2019) seperti tergambarkan dengan puitis saat Arthur Fleck menyeka darah di mulutnya yang digoreskan di kanan kiri ujung mulutnya, menyerupai senyuman sekaligus kesedihan yang tragis.
Tidak bisa dipungkiri, lagi-lagi Joker-nya Heath Ledger seperti menitis dengan bekas luka itu, yang saat Joker menceritakannya dulu dengan dua versi.
Pertama; mengenai ayahnya yang pemabuk dan selalu melakukan kekejaman terhadap ibunya. Joker menyebutkan bahwa pada suatu malam, ayahnya sedang menyiksa ibunya. Joker yang masih bocah, duduk di sudut dan menyaksikan semuanya dengan ketakutan. Ayahnya melihat dia meringkuk dan bertanya,;
“mengapa begitu serius?”
Lantas setelahnya, ayahnya memotong bagian pinggir wajah Joker dalam bentuk senyuman, sehingga dia tidak akan pernah terlihat serius.
Kedua; saat dia menceritakan bekas lukanya kepada Rachel Dawes, tentang istrinya yang tidak dapat menjalani operasi karena masalah biaya. Pada akhirnya Joker mengambil pisau cukur dan memotong kedua sisi mulutnya untuk membuktikan kepada istrinya, bahwa dia tidak ingin terlihat sedih dan ingin melihat senyum istrinya lagi. Tapi, istrinya benci melihatnya, dan bekas luka itu adalah salah satu caranya dia merindukan istrinya.
Peran Joker seolah menjadi “sakral” sesudah Heath Ledger memerankannya, terbukti kemudian saat Jared Leto dengan buruk memerankan Joker dalam Suicide Squad. Dan kehadiran Joaquin Phoenix seperti kembali menyucikannya.
Gotham dan Joker memang fiksi, tapi batasan antara fakta dan fiksi yang semakin bias menjadikan kehidupan sekarang dengan sekian persoalannya menjadi sedemikian absurd. Saat dalam diri manusia kiwari, sisi-sisi Joker bisa tumbuh.
Joker juga tidak pernah bermimpi menjadi pahlawan, bahkan hal yang menakutkan dari dirinya adalah melakukan sekian hal kekejaman tanpa motivasi.
Saat ternyata masyarakat Gotham memakai topeng badut dan mengangkatnya ketika terluka dari dalam mobil polisi, Joker sudah seperti berubah menjadi spirit. Spirit kekecewaan dalam titik nadir. Joker yang sakit dalam satu hal dianggap sampah masyarakat, dan dalam sisi lain, bagi sebagian orang dianggap sebagai simbol perlawanan.
Tentang pertentangan kelas yang klasik, seperti pula menghadirkan kembali pesan dalam The Dark Knight Rises(2012), ketika Selina Kyle berpesan kepada Bruce Wayne;
“Badai akan menghantam Gotham tuan Wayne, seharusnya Anda dan golongan kaya tahu, kalian tidak bisa terus hidup berkecukupan dan menyisakan hanya sedikit saja buat orang lain.”
Setidaknya itu yang saya tangkap saat menonton Joker semalam, seperti naif ingin menghadirkan sedikit harapan dalam film yang sesuram itu, dan mungkin juga saya bisa salah. Karena sekali lagi Joker sudah memproklamirkan diri, tidak percaya apapun.
Persis, Joker seperti berpesan ulang;
“Orang-orang beradab itu akan saling memakan satu sama lain..”