Istilah ummi merujuk pada kondisi Nabi Muhammad saw yang tidak dapat membaca dan menulis. Kondisi Nabi tersebut diyakini sebagai legitimasi bahwa al-Qur’an bukan karangan Nabi, tetapi langsung diturunkan oleh Allah swt. Paham ini diperkuat dengan beberapa dalil, baik dari ayat al-Qur’an maupun dari hadis Nabi, seperti dalam surat al-A’raf ayat 157 :
ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِىَّ ٱلْأُمِّىَّ ٱلَّذِى يَجِدُونَهُۥ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ وَٱلْإِنجِيلِ
Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka”
Menurut Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar, gelar ummi yang diberikan kepada Nabi Muhammad bukan sebuah bentuk penghinaan, justru sebaliknya sebagai bentuk kemuliaan. Karena sebagaimana yang kita percaya Nabi Muhammad adalah pribadi yang cerdas dan bijaksana. Ditambah dengan gelar tersebut, maka semakin mengagumkanlah beliau. Hamka memberikan contoh seorang pemimpin di wilayah Hindustan yang bernama Sultan Akbar yang buta huruf, tapi terkenal sebagai sorang raja besar, dan juga filosof.
Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah, menjelaskan bahwa makna dari lafadh al-ummiy yaitu seseorang yang tidak pandai membaca dan menulis. Kondisi ke-ummi-an Nabi digambarkan oleh Shihab sama seperti keadaan ibunya yang juga tidak pandai membaca dan menulis. Shihab menegaskan pendapatnya dengan mengutip ayat surat al-Ankabut ayat 48 :
وَمَا كُنتَ تَتْلُوا۟ مِن قَبْلِهِۦ مِن كِتَٰبٍ وَلَا تَخُطُّهُۥ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لَّٱرْتَابَ ٱلْمُبْطِلُونَ
Artinya : “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Quran) sesuatu Kitab-pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).”
Dan juga hadis nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah tentang kronologi penurunan al-Quran pertama kali yang dikutip dari kitab Shahih Bukhari :
…وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فِيهِ فَقَالَ اقْرَأْ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدُ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدُ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدُ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ } حَتَّى بَلَغَ { عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ }…
Artinya : “…ketika beliau sedang berada di dalam goa Hira`, malaikat datang kepada beliau dan berujar; ‘bacalah! ‘ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya; “maka aku menjawab; ‘Saya tidak bisa membaca! ‘ Lalu dia mendekapku dan menutupiku hingga aku kepayahan. kemudian melepasku dan berkata; ‘Bacalah! ‘ aku menjawab; ‘Saya tidak bisa membaca! ‘ Ia mendekapku lagi dan menutupiku untuk kedua kalinya hingga aku kepayahan, kemudian melepasku lagi seraya mengatakan; ‘Bacalah! ‘ saya menjawab; ‘Saya tidak bisa membaca.’ Maka ia mendekapku dan menutupiku untuk kali ketiganya hingga aku kepayahan, kemudian melepasku lagi dan mengatakan; ‘Iqro’ Bismi Robbikal Ladzii Kholaqo sampai ayat ‘Allamal Insaana Maa Lam Ya’lam…”
Dari hadis diatas dapat dilihat bahwa Nabi menjawab perintah malaikat Jibril untuk membaca dengan menggunakan lafadh (مَا أَنَا بِقَارِئٍ) yang berarti saya tidak bisa membaca, karena jika diteliti dari struktur penggunaan kalimat, huruf مَاdi sini sebagai nafiyah atau untuk pengecualian.
Secara sekilas dua dalil diatas dapat menjadi dasar argumen bahwa Nabi Muhammad saw tidak dapat membaca dan menulis, tetapi pertanyaan kemudian muncul kenapa Nabi memerintahkan kepada umat Islam untuk menuntut ilmu bahkan hukumnya wajib, sedangkan Nabi sendiri tidak bisa membaca dan menulis ? ternyata ada beberapa pendapat berbeda yang memiliki argumen dan logika berpikir yang berbeda.
Perlu diketahui bahwa lafadh al-ummiy dalam al-Qur’an diulang sebanyak tujuh kali dalam tujuh ayat berbeda. Salah satunya terdapat pada ayat yang al-A’raf ayat 157 yang sudah dicantumkan diatas. Jika diperhatikan, lafadh al-ummiy di ayat ini memiliki makna orang Arab, bukan orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Menurut Ibnu Ashur ayat ini sebenarnya adalah berita gembira kepada Bani Israel tentang kedatangan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi akhir zaman, tetapi mereka ingkar karena bukan dari golongannya, tetapi dari kaum Arab.
Sedangkan untuk surat al-Ankabut ayat 4, Ibnu Katsir dalam tafsirnya al-Qur’an al-Adzhim menjelaskan bahwa ayat ini sama sekali tidak berbicara tentang Nabi Muhammad yang tidak dapat membaca dan menulis, tetapi ayat ini turun untuk membela Nabi yang dituduh mengarang al-Qur’an dengan meniru kitab-kitab suci terdahulu. Kalimat “tidak pernah membaca” dan “tidak pernah menulis” bukan secara hakikat Nabi tidak bisa membaca dan menulis, tetapi tidak pernah membaca isi kitab-kitab suci terdahulu dan menyalin isi kitab tersebut.
Dalam hal ini penulis lebih condong kepada pendapat kedua yang mengatakan bahwa konsep ummi diberikan kepada Nabi Muhammad lebih kepada bahwa Nabi tidak pernah membaca dan menulis isi kitab-kitab suci terdahulu. Pendapat ini walaupun secara lahiriah berbeda dengan pendapat pertama, tetapi sama-sama memiliki esensi yang sama yaitu bahwa penegasan bahwa al-Qur’an bukanlah karangan Nabi, karena tidak memiliki sumber daya yang mumpuni untuk melakukannya.
Dengan memiliki pemahaman seperti ini, maka tidak akan bertentangan dengan perintah Nabi bahwa umat Islam wajib untuk menuntut ilmu. Seperti dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ …
Artinya : “Dari Anas bin Malik(5) ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim...”
Yang bisa disimpulkan dari berbagai argument di atas adalah bahwa ke-ummi-an merupakan sebuah kemukjizatan dalam konteks menegaskan al-Qur’an sebagai kitab dari Allah, bukan karangan manusia. Yang perlu dipahami adalah, tidak bisa membaca atau menulis bukan berarti tidak berpendidikan. Kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh Nabi Muhammad sangatlah luar biasa, bahkan dibanding dengan sahabat-sahabat lainnya yang bisa membaca dan menulis.
Banyak sejarawan terkemuka dunia seperti Michael H. Hart dan Lemaitre misalnya, yang memuji Nabi Muhammad sebagai negarawan dan pemimpin terbaik dalam sejarah umat manusia. Michael H. Hart memberi gelar Nabi Muhammad sebagai orang paling berpengaruh di dunia. Maka ummi merupakan kebijaksanaan dari Allah kepada umat Islam, khususnya pada Nabi Muhammad. Kita sebagai umatnya tentu tidak mempunyai kredibilitas sehebat Rasulullah, maka kita tetap diwajibkan menuntut ilmu untuk kemajuan peradaban Islam.