Beredar video tiga ibu-ibu yang melakukan kampanye dengan dalih, jika Jokowi terpilih nanti dalam Pilpres, maka islam di Indonesia akan terpinggirkan, bahkan menurut ketiga perempuan ini, adzan akan dilenyapkan dan tidak akan lagi berjumpa dengan suara anak ngaji. Masuk akal?
Sebentar, sebelum kita berbicara soal masuk akal atau tidak, kita harus melihat konteks peristiwa ini. Dalam video berdurasi 1 menit dan tersebar di media sosial tersebut, tiga orang ’emak-emak’ tampak sedang mendatangi sebuah rumah dan ada pria sepuh yang bergelondotan di pintu. Mereka pun bercakap dengan Bahasa Sunda dengan penuh semangat.
Tolong ada yg bisa terjemahkan, saya ga ngerti bahasa Sunda.
Seperti ibu2 ini sedang memberikan opini menyesatkan. 🤔 pic.twitter.com/8C7IBGJ4AQ
— narkosun (@narkosun) February 24, 2019
“2019 kalau dua periode tidak akan ada azan, suara anak ngaji, nggak akan ada yang pakai kerudung, perempuan dengan perempuan boleh kawin, laki-laki dengan laki-laki boleh kawin.”
Kira-kira begitulah bunyi dialog yang terjadi dan membuat kita bertanya-tanya. Benarkah Jokowi dan rezim ini jika nanti berkuasa kembali dan memenangkan Pilpres 19 April mendatang akan membuat islam menjadi agama pesakitan dan melarang segala hal?
Korban Narasi Anti Islam
Sebenarnya, jika mau menelaah lebih lanjut, Emak-emak ini bisa jadi adalah korban dari sebuah kampanye yang terus-terusan beberapa tahun belakangan, khususnya pasca pertarungan Pilpres 2014 lalu antara Prabowo-Jokowi dan efeknya masih terasa hingga sekarang. Narasi itu berupa sentimen bahwa rezim pemenang pilpres merupakan rezim yang sangat tidak pro terhadap islam. Dalam bahasa mereka: Jokowi anti islam.
Isu dan sentimen anti islam ini dapat Anda dengan mudah lacak. Misalnya, dengan mengetik kata kunci ‘Jokowi Anti Islam’ atau ‘Rezim Anti Islam’ dan semacamnya. Belum lagi terkait Aksi Bela Islam yang berhasil menjatuhkan Ahok sebagai Gubernur DKI beberapa waktu lalu. Dan, Ahok hampir sama dengan Jokowi, menurut mereka. Anti islam. Bedanya, Ahok Kristen dan Jokowi islam.
Belum lagi Jokowi dianggap melemahkan Islam dengan membuatkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang ormas. padahal, salah satu inti dari PERPPU ini adalah adanya pengukuhan kewenangan pemerintah membubarkan ormas anti Pancasila, anti UUD 1945 dan ormas yang mengancam keutuhan NKRI. Hasilnya, berdasarkan PERPPU tersebut, pemerintah telah membubakarkan partai Hizbut Tahrir Indonesia karena dianggap anti Pancasila. Tapi, hal ini dianggap anti islam.
Baca juga: Kata Siapa Jokowi anti islam dan Anti Ulama?
Hal itu belum termasuk kampanye kriminalisasi ulama dan sentimen Jokowi yang dianggap PKI, padahal faktanya bukan. Isu ini pula yang membedakan Jokowi dan SBY sebagai pemimpin terkait isu. Tentu saja SBY tidak akan dianggap anti islam padahal di masanya memimpin Habib Rizieq juga dipenjara. Anda bisa mudah melacak ini di google. Tapi, lagi-lagi Jokowi bukanlah SBY, sang menantu Sarwo Edhi yang dianggap pahlawan karena menumbangkan PKI di peristiwa 65-66.
Isu Anti Islam, Pro Asing-Aseng dan keturunan PKI inilah tampaknya yang membuat emak-emak berpikir demikian. narasi itu ternyata ampuh di daerah-daerah. Kebetulan saja hari ini di Jawa Barat yang memang terkenal bukan sebagai basis Ormas NU atau Muhammadiyah yang dianggap dekat dengan Jokowi. Dan, menjelang pilpres, bisa jadi akan sering terjadi ‘kampanye hitam’ seperti ini.
Kita patut bertanya, masak iya, kalau Jokowi anti islam ia mau meresmikan Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada tanggal 24 Maret 2017 lalu. Belum lagi Jokowi yang keliling ke pesantren-pesantren dan berjumpa dengan banyak ulama. Nah, jika Jokowi akan melenyapkan islam, bagaimana bisa ia menggandeng Ulama, KH Maruf Amin, sebagai Cawapres?