Perceraian terkadang menjadi suatu hal yang tak terelakkan dalam sebuah pernikahan. Meskipun perceraian dibenci oleh Allah, namun jika sudah tak ada solusi lain maka perceraian pun menjadi solusi terbaik yang diambil oleh pasangan suami istri. Namun, perceraian juga akan memberikan dampak terutama bagi sang anak yang menjadi korban akibat perceraian orang tuanya. Sebab jika sang orang tua bercerai, maka anak pun akan kehilangan figur orang tua yang utuh.
Lalu pihak siapakah yang paling berhak mendapatkan hak pengasuhan anak? Dalam ilmu fiqih Islam, pengasuhan anak disebut dengan istilah hadhanah. Kata hadhanah berasal dari kata hadhnu ash-sahbiy atau hadhn yang memiliki makna mengasuh, merawat, dan memelihara anak. Secara terminologis, hadhanah adalah tindakan mengasuh anak yang masih kecil dan belum mummayiz atau yang usianya kurang dari 12 tahun sehingga masih belum bisa membedakan mana yang baik dan buruk serta belum bisa mengatur dirinya.
Dalam Islam, anak yang masih kecil ataupun belum mummayiz dan memiliki cacat fisik, paling berhak diasuh oleh sang ibu. Mengapa ibu yang paling diutamakan? Sebab ibu merupakan pihak yang paling terlihat sayang dan paling dekat dengan sang anak. Bahkan tak ada yang memiliki tingkatan kasih sayang yang menyamai dengan sang ibu.
Ibnu ‘Abbas RA membuat satu ungkapan, “Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya)”. Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah RA mengungkapkan bahwa ibu lebih berhak karena ibu lebih mengetahui cara menggendong, menidurkan, mengasuh, dan mengetahui kebutuhan makanan bagi sang anak. Sehingga lebih berpengalaman untuk mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari’at. (Majmu’ al Fatawa)
Namun hal tersebut tidak berlaku jika terjadi beberapa hal. Pertama, jika sang ibu merupakan seorang budak yang masih harus melayani majikannya. Kedua, jika sang ibu merupakan orang fasik yang sering mengerjakan maksiat sehingga dapat memberi pengaruh negatif kepada sang anak. Ketiga, jika sang ibu merupakan orang kafir yang kemungkinan bisa membuat sang anak keluar dari agama Islam. Keempat, apabila sang ibu telah menikah lagi dengan pria lain maka sang ibu tak berhak mendapatkan hak asuh anak.
Dikisahkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ada seorang wanita yang pernah mendatangi Rasulullah SAW dan mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku”.Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” (HR. Ahmad, Dawud dan Al-Hakim)
Sedangkan jika anak sudah besar, maka sang anak berhak memilih untuk ikut dengan sang ibu ataupun ikut dengan sang ayah. Abu Hurairah pernah berkata, “Sesungguhnya seorang perempuan berkata ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, padahal dia telah memberi manfaat bagi saya, sudah dapat mengambil air minum untuk saya dari sumur Abu Inabah.’ Setelah suaminya datang lalu nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak itu, ‘Wahai anak ini ibu dan ini ayahmu, peganglah tangan yang mana di antara keduanya yang kamu sukai, lalu anak itu memegang tangan ibunya dan wanita itu pergi bersama anaknya.” (HR Bukhari Muslim)
Dengan demikian, jika perceraian terjadi saat anak masih kecil dan belum mummayiz atau usianya kurang dari 12 tahun, maka sang anak tersebut berhak diasuh oleh sang ibu. Sebab ibu lebih paham bagaimana cara mengasuh dan memberi makan sang anak. Sedangkan jika sang anak sudah besar dan dewasa, maka sang anak boleh memilih ia akan ikut dengan sang ibu atau sang ayah.