Keberadaan media-media Islam garis keras membuat resah masyarakat yang menjujung tinggi perdamaian. Energi mereka untuk menyebarkan tulisan-tulisan yang provokatif-agresif dan kadang menyesatkan seolah tidak ada habisnya.
Beberapa tema yang cukup intes mereka garap adalah seputar Syiah, Ahmadiyah, LGBT, jihad. Tema-tema yang memang kerap menimbulkan perdebatan di masyarakat. Sayangnya, mereka tidak memandang suatu permasalahan dari kacamata seorang arif, tidak mendudukkannya di tengah-tengah dan mengutamakan kemaslahatan umat. Mereka cenderung memihak, sering menyerang secara membabi buta pihak yang dianggap lawan dan tak segan menyebarluaskan berita palsu.
Asrori S. Karni, jurnalis senior, melihat ada beberapa faktor mengapa media Islam radikal lebih vulgar dalam setiap tulisan-tulisannya. Pertama, mereka belum puas dengan sumber-sumber berita mainstream yang telah menyajikan sebuah kasus. Kedua, cara mereka itu juga bagian dari strategi kompetisi dalam bermedia.
Rumusnya, kata Asrori, agar bisa masuk dan diterima pasar harus ungggul dan tampil beda. Asrori menyakini para pembaca yang disajikan corak keagamaan yang bernuansa kebencian, suatu saat akan jenuh dengan sendirinya. Sebab, karakter masyarakat Indonesia sebenarnya memang seperti tidak suka ekstremisme. Karena itu, media-media yang menjual kekerasan dan kebencian tidak akan berusia lama.
Hari ini, sejatinya yang dibutuhkan umat Islam adalah media-media Islam damai semacam islami.co, muslimmedianews.com, islamindonesia.id, hikmahislam.com, arrahmah.co.id, nu.or.id, muhammadiyah.or.id dan masih banyak media sejenis, yang cenderung tidak memakai bahasa yang vulgar dan lebih arif dalam bertutur. Media-media tersebut terbukti memiliki jejak rekam yang bisa dipertanggungjawabkan. Juga tidak pernah memuat tulisan-tulisan provokatif, tidak menebar kebencian, tidak menyebar hoax, tidak pula menghasut dan mengadu domba. Selain itu, yang terpenting, mereka selaras dengan nilai-nilai kebhinekaan yang menjadi ruh bangsa ini.
Media-media Islam moderat akan lebih kuat jika ditopang pula tokoh-tokoh Islam (ulama, ustad, dosen, peneliti dll) yang getol menyuarakan perdamaian. Para tokoh Islam tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara konvensional dalam mendakwahkan Islam. Mereka harus membuka mata bahwa internet telah digunakan secara masif oleh masyarakat.
Gagasan Islam garis keras perlu diimbangi oleh pemikiran-pemikiran Islam ramah terutama di dunia maya. Konten-konten keislaman mestinya hadir dari orang-orang yang benar-benar mengerti Islam, bukan dari mereka yang belum lama belajar Islam tapi sudah merasa paling mengerti Islam.
Salah satu contoh terbaik tokoh Islam yang memanfaatkan internet adalah Gus Mus. Ulama kharismatik asal Rembang itu aktif menggunakan media sosial (Twitter dan Facebook). Pesan-pesan perdamaian dan ajaran Islam yang menyejukkan dapat kita temui di akun @gusmusgusmu.
Tidak akan kita temui seruan untuk memusuhi, menyerang (apalagi membunuh) kelompok Ahmadiyah/Syiah/LGBT dari beliau. Kiranya, kedalaman ilmulah yang membuat seseorang berlaku rendah hati. Seorang suhu, pelatih bela diri, tak akan petentang-petenteng memamerkan jurus-jurusnya di jalanan dan sembarangan menyerang orang.
Kita membayangkan dan menginginkan lebih banyak lagi sosok seperti Gus Mus: memiliki keluasan ilmu, tawadhu’, dan peka zaman. Hanya saja, dengan segala keterbatasan, mereka yang luas ilmunya, yang seharusnya dapat diakses oleh banyak orang, tidak hadir di dunia maya. Untungnya, anak-anak muda yang peduli dengan kelangsungan Islam di dunia digital membuat terobosan-terobosan. Salah satu yang perlu dipresiasi adalah kehadiran Nutizen. Media ini menyuguhkan berita, audio dan lebih penting adalah ragam video dan pengajian dari kiai dan ulama yang sudah terbukti jenjang keilmuannya dan arif, semisal Habib Luthfi bin Yahya, KH. Maimoen Zubair, Gus Mus dan lain-lain, serta menggunakan teknologi sebagai basisnya.
Bagi penulis, hadirnya media model ini dan semoga disusul dengan media serupa menumbuhkan optimisme kita. Andi Faisal Bakti, guru besar UIN Jakarta, menyoroti pertautan antara Islam dan media. Menurutnya di masa kini, Islam sudah selayaknya mampu memainkan peran penting dalam pemanfaatan media, baik untuk dakwah ataupun pendidikan.
Konten-konten keislaman (mulai dari seni, filsafat, hukum, hingga perkembangan Islam kekinian) seyogyanya dikemas dan ditampilkan secara menarik, atraktif, dan menghadirkan informasi yang komprehensif. Tidak sebatas media cetak belaka, namun juga merambah ke film, musik, serta online. Media penting sebagai saluran untuk memberi pemahaman yang baik perihal Islam kepada khalayak luas.
Sesuatu yang diidealkan Andi Faisal Bakti di atas hari ini sudah mulai mewujud. Dan tampaknya yang menjadi ujung tombak dan tulang punggungnya adalah anak muda. Utamanya mereka yang bergelut di dunia kreatif, lebih khususnya yang berbasis digital. Tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain mendukung mereka. (HABIS)
A. Zakky Zulhazmi adalah peneliti dan penulis buku Jihad dan Propaganda Islam Radikal di Media Siber (2015). Alumnus pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*Baca juga: Jihad dan Propaganda Islam Radikal (Bag-1) Jihad dan Propaganda Islam Radikal (Bag-2) dan Jihad dan Propaganda Islam Radikal (Bag-3)