Suatu ketika Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah Saw. “Ya Rasulullah, amalan apa yang paling utama? Rasulullah Saw menjawab “Iman kepada Allah dan jihad di jalan-Nya”.
Jihad merupakan salah satu perintah Allah Swt kepada hambanya, kata jihad berkali-kali disebutkan di dalam Al-Qur’an, yakni sebanyak 41 kali. Di antaranya ada yang bermakna perang, ada pula yang tidak.
Jihad secara bahasa bermakna kesungguhan. Sedangkan secara istilah berarti mencurahkan segala kesungguhan untuk mencapai tujuan tertentu.
Jihad memiliki makna yang sangat beragam dan tidak bermakna sempit. Pemaknaan jihad melalui perang baru muncul setelah turun ayat mengenai kebolehan berperang jika dizalimi.
Di zaman Rasulullah Saw, perempuan tidak berjihad langsung dengan pedang. Meskipun demikian, para perempuan tetap ikut ke medan perang untuk menyiapkan makanan dan mengobati pasukan yang terluka.
Rubai’ binti Muawwidz pernah bercerita bahwa para perempuan dahulu ikut berjihad bersama Rasulullah Saw. Mereka memberi minum, mengobati orang yang terluka dan mengurusi jenazah untuk dipulangkan ke Madinah.
Perempuan tidak diwajibkan berjihad dengan makna khusus pada saat itu, yakni berperang. Karena sebagian besar perempuan pada saat itu tidak memiliki keahlian untuk berperang dan menghadapi musuh. Oleh karena itu, pelaksanaan jihad lebih identik dilaksanakan oleh laki-laki.
Meskipun demikian, bukan berarti perempuan tidak dapat berjihad. Perempuan diberikan medan tersendiri untuk berjihad, yaitu melalui haji dan umrah.
Aisyah Ra. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw “Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi perempuan?” Beliau menjawab, “Ya, Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah.”
Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda “Haji adalah jihad, dan umrah adalah anjuran”
Haji dan umroh disebut sebagai jihad karena untuk melaksanakannya dibutuhkan usaha, baik melalui usaha fisik maupun harta. Haji juga merupakan ibadah wajib yang tidak mudah dilaksanakan.
Penyetaraan pahala haji dan umroh dengan jihad mengandung motivasi bagi setiap muslim untuk tidak melewatkan ibadah haji dan umroh pada saat itu, di mana haji dan umrah merupakan sebuah ibadah yang cukup menyita banyak bekal, mental dan tenaga.
Dan juga kondisi saat itu, jamaah haji tidak sebanyak sekarang. Sehingga kewajiban haji hanya bisa dilaksanakan oleh orang yang mampu, baik secara biaya, tenaga, maupun mental. Maklum saja jika pada saat itu Rasul menyebutnya juga sebagai jihad.
Lalu bagaimana jika seorang perempuan masih belum memiliki kemampuan untuk melakukan haji?
Dalam kitab Kanzul Ummal ada sebuah hadis riwayat Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menegaskan bahwa jihadnya seorang perempuan adalah bersikap baik dengan suami.
Walaupun status hadis ini dhaif, namun ada beberapa hadis sahih lain sebagai penguat yang menganjurkan demikian. Misalkan dalam hadis lain dijelaskan bahwa jika Rasulullah Saw. (diperbolehkan) memerintah seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka Rasulullah akan memerintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya.
Dari beberapa penjelasan di atas bisa kita simpulkan bahwa jihad tidak hanya melulu dengan perang. Sehingga bagi perempuan yang ingin berjihad, tak perlu jauh-jauh datang ke wilayah konflik atau melakukan bom bunuh diri dengan mengatasnamakan jihad. Perempuan bisa berjihad dengan cara lain, yakni berhaji (haji wajib) jika mampu dan jika tidak mampu, maka cukup berbuat baik dengan suaminya.
Dua hal tersebut adalah sebagian contoh (amtsal) jihad yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan. Tentunya masih banyak jihad-jihad lain yang bisa dilakukan oleh perempuan selain kedua hal itu.
Wallahu A’lam.