Kini kita dihadapkan kepada situasi perdebatan publik yang buram dan belum ada titik persoalan utamanya. Sekaligus, argumentasi perdebatan tersebut sangat partisan dan tidak konsisten dalam membela iklim demokrasi negeri kita. Ada politisi semacamrat Fadli Zon yang kini seolah menjadi hero yang membela dengan lantang korban Pasal (karet) Penodaan Agama dan UU ITE seperti Ahmad Dhani dan Rocky Gerung.
Argumentasi pembelaan Fadli Zon di dalam konteks perdebatan sengkarut UU ITE dan Pasal (karet) Penodaan Agama, bukanlah memberi penerang dan memperjelas masalah yang kita hadapi sebagai masyarakat demokratis. Argumen Fadli hanya menampilkan sikap yang tak konsistennya terhadap memahami dan membela demokrasi kita. Ia dan bersama kawan-kawan partisannya hanya akan membela korban UU ITE dan Pasal (karet) Penodaan Agama jika hanya ia adalah kawan kepentingan politiknya saja.
Fadli dan kawan-kawan sejenisnya bukanlah politisi yang jernih dan jujur dalam membela hak-hak sipil dalam konteks masyarakat demokratis. Argumen dan pembelaannya selalu berubah-ubah, tergantung korban delik Penodaan Agama ataupun UU ITE itu siapa. Ia tentu hanya mempertimbangkan berdasarkan untung rugi baginya. Jika itu menimpa kawan politiknya, ia akan bela. Jika yang menjadi korban adalah musuh politiknya. Ia akan bersorak ria dan menambah-nambahi sekaligus memperkeruh permasalahan.
Tipe politisi seperti Fadli ini banyak. Ia kini seolah membela Ahmad Dhani dan Rocky Gerung terkait dengan delik Penodaan maupun ITE. Tapi mereka tak konsisten. Mereka pada kasus Ahok ataupun Ibu Melliana kemana? Apakah ikut membela para korban pasal karet tersebut?
Tidak, Fadli dan kawan-kawannya ada kasus Ahok malah ikut serta naik mobil orator utama yang mempropagandakan untuk membuikan Ahok. Kemudian, pada kasus Ibu Melliana, mereka posisinya dimana? Mereka tak membela. Kembali lagi kepada logika politik Fadli dan kawan-kawannya. “Ia akan membela jika dan hanya jika itu menimpa kawan mereka. Dan ia tidak akan membela jika korbannya adalah musuh mereka”.
Baiklah, supaya kita tidak bertabiat seperti politisi partisan semacam Fadli dan kawan-kawannya. Maka kita harus konsisten. Siapa pun yang hak-hak sipil, kebebasan berekspresinya dalam ruang demokratis direnggut dan dipidanakan dengan pasal yang tidak jelas dan tidak tegas kriteria pelanggarannya seperti Pasal (karet) penodaan Agama maupun UU ITE yang menghambat kebebasan publik kita. Maka kita akan selalu konsisten membela mereka.
Kita akan selalu membela para korban pasal yang menghambat demokrasi negeri kita. Siapapun dia, baik dari orang yang secara personal kita tak setuju dengan aspirasi maupun artikulasi politiknya.
Singkatnya, “kita harus adil sejak dalam pikiran” seperti kata Pram. Siapapun dia, Ahmad Dhani yang statementnya yang ngawur dan tak terdidik, Rocky Gerung seorang yang awalnya independen dan pro demokrasi yang kini semakin merapat ke kubu Prabowo. Bahkan, semisal Fadli Zon pun yang dipidanakan dengan delik Pasal (karet) Penodaan Agama dan UU ITE. Secara terang, kita katakana diawal. Kita akan konsisten membelanya.
Sikap yang konsisten dalam membela orang yang dirampas haknya tersebutlah kini yang sedang krisis. Kita, kini kehilangan sosok negarawan yang konsisten dengan ide-ide demokrasi yang ia perjuangkan. Kini yang ada kebanyakan adalah politisi oportunis dan pragmatis yang argumentasi dan posisi politiknya tergantung ia sedang mengekor dengan elit yang sebelah mana.
Kini kita krisis sosok negarawan semacam Gus Dur yang selalu teguh dan memiliki posisi politik yang konsisten. Menurut laporannya Tirto.Id Gus Dur adalah orang yang pertama kali meminta uji materi pada Pasal Penodaan Agama yang kini terbukti menjerat banyak korban.
Menurut Gus Dur, Pasal Penodaan Agama atau UU1/PNPS/1965 sangat riskkan untuk digunakan sebagai kepentingan politik. Lantas, menurut Gus Dur hal itu harus ditinjau ulang. Dan faktanya, kini terbukti kan bahwa pasal tersebut lebih banyak digunakan untuk motif politik daripada kepentingan keadilan (Tirto, 14/08/2018).
Teladan lain soal konsistensi, Gus Dur mencontohkan juga pada kasus yang menimpa Habib Rizieq. Terlepas ketidak setujuan Gus Dur dengan pikiran dan artikulasi politik Habib Rizieq. Gus Dur tetap membelanya. Saat itu Gus Dur membela Habib Rizieq saat memprotes penahanannya pada tahun 2002. Menurut Gus Dur, dengan menutip al-Qur’an “janganlah kebencian pada suatu kaum membuatmu tak mampu berlaku adil” (Islami.co, 03/12/2016).
Terakhir, untuk kasus Pasal (karet) Penodaan Agama dan UU ITE yang belakangan menelan banyak korban. Posisi kita jelas, konsisten membela siapapun mereka. Sebagaimana yang telah diteladankan Gus Dur. Sekaligus kita mengkritik keras sikap-sikap partisan dan tak konsisten politisi semacam Fadli Zon dan kawan-kawannya.