Politik itu dinamis, begitu kata Zulkifli Hasan saat ngacir dari kediaman Prabowo Subianto setelah membahas koalisi bersama antara PAN, Gerindra, dan PKS. Saking dinamisnya, maka ‘suara Tuhan’ pun boleh diabaikan. Apa maksudnya ‘suara Tuhan?’. Ya karena kelompok koalisi tersebut melibatkan sebuah peristiwa sakral dalam penentuan hukum Islam: ijtima’ ulama, kesepakatan para ulama.
Jika pernah belajar kitab-kitab turots (kitab kuning) akan banyak dijumpai literatur-literatur tentang ‘ulama’ waratsatul anbiya’, ulama itu pewaris para Nabi. Sementara Nabi adalah penyampai kalam ilahi. Kalau fatwa (pendapat pribadi) biasanya ‘hanya’ dijadikan bahan pertimbangan, namun ijtima’ berkekuatan hukum kuat, terutama bagi umat yang awam. Makanya banyak sekali orang-orang yang sebenarnya layak disebut ulama tidak berani menyebut dirinya sebagai seorang alim.
Kitab-kitab karangan pesantren tak pernah mencantumkan penulisnya sebagai al-‘alim al-‘alamah melainkan al-faqir (orang yang membutuhkan (pertolongan dari Allah)). Kata al-‘alim adalah pemberian para murid, pengakuan masyarakat, bukan ketamakan sosok panutan. Contoh saja Gus Mus dan Gus Dur yang tetap diminta dipanggil ‘gus’ saja.
Gus dalam kebudayaan Islam Jawa adalah nama panggilan untuk anaknya kiai. Sementara ada banyak orang yang baru sekelas da’i dan bisa membaca beberapa kitab sudah minta diakui sebagai ulama.
Ijtima ulama merekomendasikan Salim Jufri Assegaf dan Ustad Abdus Somad sebagai kandidat. Hanya dua nama. Ya, dua nama itu saja. Kedua nama itu dipersiapkan untuk mendampingi Prabowo Subianto yang oleh sebagian ulama itu tadi disebut bukan muslim taat tetapi bagian dari sosok yang mau berjuang jiwa raga untuk negara ini.
Katanya, sosok nasionalis seperti Prabowo patut disandingkan dengan kalangan ulama seperti Ustad Somad dan Habib Salim Segaf Jufri. Tapi, faktanya dalam politik berbeda.
Branding persatuan antara nasionalis-agamis menguat dan dikampanyekan dengan penuh semangat. Sampai-sampai elit partai yang di kampungku terkenal anti tahlil dan ziarah kubur serta suka membid’ahkan tradisi mengutip quote Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri ormas yang menganjurkan tahlilan dan ziarah kubur, sebagai penguat narasinya. Politik memang dinamis dan penuh humor tingkat tinggi.
Akan tetapi berselang beberapa hari, ijtima ini tidak begitu terdengar. Apalagi ketika Prabowo datang ke Cikeas dan pertemuan dua jendral itu disebut-sebut akan membangun sebuah koalisi dahsyat untuk mengobrak-abrik kekuatan petahana. Sehari berselang di TVOne terdapat acara ‘Orasi AHY’ yang diindikasikan sebagai media self-branding putra mahkota candi Hambalang.
Tegas dan tangkas, begitu gambaran para pendukung Prabowo-AHY ribut di media sosial. Sementara lawan politik mereka hanya melihat seorang jendral gagal dan mantan prajurit yang tak tahan godaan kekuasaan.
Tak lama kemudian pertunangan dua jendral itu kandas. Seorang elit Demokrat sampai bersuara keras, menyebut Prabowo mata duitan, tak punya komitmen, dan bermental kardus. Dia diberi julukan jendral kardus yang langsung disambut sorak sorai pendukung Jokowi.
Tagar #jendralkardus menjadi trending topic yang membuat situasi politik semakin lucu aduhai. Pasalnya, tanpa ada hujan dan panas, nama Sandiaga Uno muncul menjadi cawapres Prabowo.
Nama ini baru seminggu kencang masuk dalam bursa pendamping politisi yang sudah 3 kali tempur di gelanggang pemilu. Elit PD menyebut Sandi membayar PAN dan PKS masing-masing 500 milyar, nilai yang cukup untuk membangun 2000 unit rumah layak bagi warga miskin papa. Sayangnya, kegaduhan itu justru menutup duka saudara-saudara di Lombok sana yang terkena bencana gempa.
Selain dinamis, politik juga terbukti menutup mata hati. Semua bisa terjadi dalam dunia politik kecuali satu hal: KEMANUSIAAN.