Dalam dunia tasawuf jamak dikenal paham Manunggaling kawula gusti (wahdat al-wujud). Paham ini pada hakikatnya sudah dikenal sejak awal mula evolusi tasawuf di permulaan abad kedua Hijriyah. Namun menurut Syed Hossen Nasr dalam Islamic Philosophy from its Origin to the Present paham wahdat al-wujud mencapai kematangan teorinya di masa Abu Hamid al-Ghazali, Ibn Sab’in dan Ibn ‘Arabi.
Al-Ghazali? Ya.
Memang banyak kalangan mempertanyakan totalitas al-Ghazali dalam tasawuf khususnya secara teosofis. Banyak yang beranggapan bahwa al-Ghazali masih cenderung mempertahankan ortodoksinya sebagai ahli fikih ketimbang kapasitasnya sebagai sufi falsafi.
Al-Ghazali seringkali dianggap berusaha mengotentifikasi tasawuf dengan ashl al-syariat sehingga harus mengorbankan doktrin sentral tasawuf. Sehingga seringkali ia masih digolongkan sebagai kaum ‘otentik’ sebagaimana dikatakan Abu al-Wafa al-Taftazani dalam Al-Madkhal ila al-Tasawuf al-Islami. Akan tetapi kajian yang mendalam terhadap karya beliau sebenarnya akan membenarkan anggapan Syed Hossen bahwa al-Ghazali sebenarnya lebih dekat dengan tasawuf falsafi.
Istilah wahdatul wujud secara persis sebenarnya tidak pernah digunakan oleh para ahli tasawuf, termasuk Ibn ‘Arabi. Barangkali para sufi menggunakan kata ini akan tetapi mereka tidak memaksudkannya sebagai istilah. Istilah persis seperti ini dimunculkan pertama kali justru oleh Ibn Taymiyyah, seperti dikemukakan oleh Yusuf Zaidan dalam Al-Fikr Al-Shufi ‘Inda al-Jily.
Para sufi cenderung tidak memberi istilah khusus pada paham ini. Mereka hanya menggunakan definisi paham ini dengan isyarat-isyarat semacam ‘derajat tauhid tertinggi’, ‘keimanan yang sempurna’, atau ‘perjumpaan dengan Allah’.
Dalam menggambarkan pengertian wahdat al-wujud, Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam memberikan contoh yang ia adopsi dari syair-syair tasawuf di masa berikutnya. Contoh itu adalah air dan es; keduanya berasal dari satu elemen namun hanya berbeda dari segi penampakannya. Begitupula wahdat al-wujud antara makhluk dan Khalik. Makhluk adalah penampakan Sang Khalik, karenanya makhluk tidak ada, yang ada hanya Khalik.
Paham persis seperti ini bisa kita lacak dalam karya al-Ghazali. Salah satunya dalam Ihya’ Ulum al-Din ia berkata, “Derajat tasawuf yang keempat (tertinggi) adalah tidak melihat apa pun di dunia ini kecuali ketunggalan. Ini adalah persaksian orang yang bersungguh-sungguh. Para sufi menamakan ini dengan fana’ dalam ketauhidan. Seorang sufi tidak melihat apa pun kecuali keesaan, bahkan ia tidak mampu melihat dirinya sendiri karena tenggelam dalam lautan tauhid,” demikian termaktub dalam Ihya’ jilid delapan halaman 202-203 terbitan Dar al-Minhaj.
Di halaman berikutnya beliau menjelaskan bahwa pluralitas eksistensi pada hakikatnya berasal dari Yang Esa. Selengkapnya beliau berkata:
فلا يرى الكل من حيث إنه كثير بل من حيث إنه واحد
“Ia (muwahhid tertinggi) tidak bisa melihat segalanya sebagai hal yang banyak, tetapi sebagai hal yang satu.”
Dari sini terlihat dengan jelas bahwa al-Ghazali masih melanjutkan tradisi tasawuf teosofis di masa sebelumnya. Bahkan secara periodik tidak berlebihan jika dikatakan bahwa al-Ghazali adalah yang pertama kali menjelaskan paham ini secara teoritis.
Transmisi paham ini didapat al-Ghazali karena jalinan yang kuat antara ia dan para penganut tasawuf di masanya. Seperti para sufi sebelumnya, ia meyakini bahwa tauhid yang mendalam bisa mengantarkan salik kepada keesaan. “Tauhid semacam ini,” ujarnya, “adalah tauhid yang dimaksud oleh Abu Manshur al-Hallaj.”
“Lantas,” ujar al-Ghazali, “Bagaimana bisa kita melihat segala hal sebagai sesuatu yang tunggal padahal kita tahu ada bumi, langit dan benda-benda objek indra lainnya?”
“Sesungguhnya,” jawab al-Ghazali dalam kitab dan jilid yang sama pada halaman 206, “hal ini adalah ujung ilmu mukasyafah. Rahasia ilmu ini tidak boleh ditulis di kitab.”
Meski tidak boleh disebarluaskan, namun beberapa ulama tetap saja berani menjelaskan hal ini meskipun hanya sekedarnya saja. Salah satunya ialah Syekh Ihsan Jampes. Beliau menjelaskan bagaimana kondisi seorang sufi mengenai wahdat al-wujud padahal ia tahu banyak makhluk selain Khalik di sekitarnya.
“Andai seseorang tidak melihat apa pun kecuali matahari dan cahayanya yang menyebar di seluruh ufuk, maka sah-sah saja dia berkata ‘aku tidak melihat apa pun kecuali matahari’,” jelasnya.
Jadi seorang sufi yang mengalami kondisi ecstatic sebenarnya dikarenakan ia ‘terlalu silau’ melihat penampakan Khalik sehingga ia mengaku melihat Khalik.
Kondisi ini terjadi karena jiwanya, masih menurut Syekh Ihsan, sampai di mamlakah al-fardaniyah (kerajaan keesaan). Di tempat itu tidak ada lagi jalan ke atas dan tidak pula jalan ke bawah. Tempat ini adalah hakikat keesaan yang mana di sana tidak bersemayam bilangan.
Oleh karena itu dia hanya bisa mengucap ‘tidak ada Dia kecuali Dia’ disebabkan ia tak mampu untuk melakukan apa pun bahkan untuk sekedar menyebutnya. Demikian kira-kira ringkasan penjelasan Syekh Ihsan dalam Siraj al-Thalibin jilid satu halaman 47 mengenai maksud al-Ghazali soal ketunggalan eksisten.
Demikianlah jejak manunggaling kawula gusti dalam karya Imam al-Ghazali yang diafirmasi oleh Syekh Ihsan.
Wallahu a’lam.