Hari ini 28 April 2016 sosok ini berpulang. Ia meninggalkan banyak jejak intelektual dan pengabdian.
Sosok yang penuh senyum dan tegas ini bernama Ali Mustafa Yaqub. Putra dari orang yang hanya mengenal pesantren sebagai satu-satunya lembaga pendidikan, Yaqub, ini memiliki seorang putra, Dhiyaul Haramain, setelah mempersunting putri Klaten, Nyai Ulfah. Sosok kiai aktivis ini pernah menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh, Sekretaris Jenderal PP Ittihadul Muballighin, dan anggota tanfidhiyah PBNU pada masa kepemimpinan Gus Dur serta Wakil Lajnah Bahtsul Masail PBNU pada masa kepemimpinan Hasyim Muzadi ini kini menjadi Pengasuh Pondok Darus-Sunnah.
Melacak Jejak dan Kiprahnya
Dilahirkan di Batang (saat itu termasuk wilayah Kabupaten Pekalongan) Jawa Tengah pada tahun 1952, Ali Mustafa kecil merampungkan pendidikan dasar dan menengahnya di tanah kelahirannya. Setelah belajar di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerahnya, ia berhasrat untuk memperoleh dan mendalami ilmu-ilmu agama. Pesantren Seblak, Jombang, menjadi pilihannya. Dari tahun 1966 hingga 1969 di Seblak dan menyelesaikan tingkat Tsanawiyah, ia melanjutkan studi di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang hingga menyelesaikan sarjana muda di Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy’ari. Hingga tahun 1976 nyantri di Tebuireng, akhirnya pada tahun yang sama, putra Kiai Yaqub ini melanjutkan studi ke Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh Saudi Arabia dan masuk tingkat I di Fakultas Syariah. Dan pada tahun 1980, ijazah Licance (Lc.) diperolehnya.
Masih di Saudi Arabia, ia melanjutkan pada program magister di Universitas King Saud. Berbeda dengan konsentrasi yang ditekuni semula, Syariah, di program magister ini ia memilih Departemen Studi Islam Jurusan Tafsir Hadis. Bukanlah kebetulan apabila Ali Mustafa Yaqub pada program magister ini memilih Jurusan Tafsir Hadis. Karena, sebagaimana dituturkannya, disiplin Tafsir Hadis relatif kering dari nuansa “debat” dan “tengkar argumen”. Tidak seperti Fakultas Syariah yang sarat perdebatan.
Pilihan untuk menekuni bidang (khususnya) Hadis ini sebenarnya bermula sejak ia belajar di Pesantren Tebuireng. Kiai Syamsuri yang sedikit banyak menumbuhkan benih-benih kecintaan pada Hadis. “Beliaulah yang “mendorong” saya untuk mencintai Hadis, karena beliau mengatakan bahwa belajar Hadis itu lain dari belajar fiqh, lebih nikmat belajar Hadis. Karena dalam belajar hadis itu banyak membaca shalawat, sementara fiqh tidak,” tuturnya sembari mengisahkan ihwal gurunya yang telah mendahuluinya.
Kecintaannya kepada Hadis semakin bertambah ketika ia belajar Hadis di Universitas King Saud. Ia menyadari bahwa apa yang diutarakan gurunya, Kiai Syamsuri Baidhawi (Allahummaghfir lahu), sangatlah tepat. “Bahkan saya mendapatkan kenikmatan ada dua: pertama, ketika membaca hadis, kita punya nuansa seperti kita sedang berada di hadapan Rasulullah. Kedua, dalam belajar hadis kita banyak mengucapkan salawat, dan itu suatu hal yang positif dan menyenangkan,” kisahnya.
Terlebih lagi, di Universitas King Saud ia berjumpa dengan Muhammad Musthafa Azami, seorang tokoh yang gigih membela Hadis, yang namanya ia kenal ketika di Tebuireng, tepatnya ketika pada tahun 1972 Gus Dur menyampaikan orasi ilmiyah yang berjudul “Sumbangan MM. Azami terhadap penyelidikan Hadis” dalam rangka Dies Natalis V Universitas Hasyim Asy’ari. Tokoh yang dikenalnya melalui kisah lisan itu ternyata menjadi gurunya di Universitas King Saud. Sejak saat itulah perkenalan dan pertemanan terus berlangsung, bahkan hingga saat ini. Kedekatan pertemanannya terlihat dari sejumlah karya Ali Mustafa Yaqub yang banyak menyebut dan mengutip karya MM. Azami. Misalnya, Kritik Hadis dan MM. Azami: Pembela Eksistensi Hadis, di samping karya terjemah atas karangan Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya.
Komitmennya dalam pengembangan studi hadis dibuktikan dengan pendirian Pondok Darus-Sunnah yang khusus bergiat dalam pengajaran Hadis, di samping perannya sebagai Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi) dan dosen Ilmu Hadis di beberapa perguruan tinggi Islam.
Pesantren Lahirkan Kiai Penuh Dedikasi
Sebagai orang yang lahir di lingkungan kaum santri, tentu Ali oleh orang tuanya dikirim ke pesantren. Bermula di Pesantren Seblak dan kemudian Pesantren Tebuireng, Kiai Ali Mustafa menghabiskan hampir 10 tahun bergelut dengan kitab kuning yang menjadi ciri utama pesantren. Dengan mengalami pendidikan non-pesantren semisal SD dan SMP, Kiai Ali Mustafa menyadari betul kekurangan pendidikan non-pesantren sekaligus mengenali betul kelebihan-kelebihan pendidikan pesantren. Nilai terpenting yang tidak dimiliki lembaga pendidikan lain selain pesantren, tandasnya, adalah penanaman moralitas.
“Di pesantren, pendidikan moralitas lebih diprioritaskan,” katanya lebih lanjut. Bagaimana santri bertingkah dan bersikap merupakan nilai-nilai yang selalu diajarkan di pesantren.
Belum lagi nuansa kebersamaan, kemandirian, dan kesederhanaan yang menjadi potret unik pesantren. Santri dididik untuk tidak selalu menjadi beban orang lain, dan pada saat yang sama santri juga diajari untuk selalu menanamkan kebersamaan dan keserhanaan.
“Makanya di pesantren yang klasik itu masih masak sendiri,” ia mencontohkan. Ini jelas menunjukkan kemandirian yang sejak dini dipaksaterapkan pada para santri. Selain itu, dalam makan misalnya, anak-anak pesantren makan bersama-sama dengan satu talam.
“Walaupun terkesan ketinggalan zaman, di sini sebenarnya ingin menanamkan rasa kebersamaan,” kisah Kiai Ali mengenang. “Termasuk tidur satu tikar dua orang, misalnya, dan segala macem itu,” tambahnya. Kebiasaan semacam itu, meskipun dinilai kolot, menjadi nilai lebih tradisi pesantren.
Selain nilai-nilai tersebut, keunikan terpenting pesantren adalah perhatian yang demikian besar dari kiai. Sebut saja misalnya, setiap saat kiai selalu mendoakan para santrinya. “Di sekolah non pesantren, apalagi sekolah umum itu gak ada,” tuturnya penuh semangat.
“Saya dulu waktu di Tebuireng, Kiai Idris, guru saya, setiap habis mengajar mesti berdoa. kemudian Kiai Adlan juga demikian,” kisah Kiai Ali sembari mengenang ketulusan guru-gurunya. Hingga kini, kebiasaan semacam itu terus dipertahankan oleh Kiai Ali setiap kali habis mengajar para santrinya di pesantren yang kini ia asuh. “Habis mengajar saya mendoakan santri,” kisah pengasuh Pesantren Darus-Sunnah ini.
Dalam kondisi demikian, terbentuklah kedekatan psikologis dan emosional antara kiai di satu pihak dan para santri di pihak yang lain. Belum lagi dedikasi kiai yang luar biasa untuk terus mendidik dan membina para santri agar kelak bisa mewarisi keilmuannya, dan kelak bisa merintis pesantren di wilayah lainnya. Inilah yang saat ini dialami Kiai Ali setelah mendirikan Pesantren Darus-Sunnah.Pesantren yang diilhami sistem pesantren tradisional sekaligus dipadukan dengan sistem pendidikan perguruan tinggi setara S1 ini pun menerapkan sistem pendidikan tradisional, yaitu sorogan, di samping diskusi yang menjadi ciri sistem perguruan tinggi.
Untuk mencapai efektivitas pengajaran, Kiai Ali melalui pesantren ini membatasi jumlah santri sebanyak 60 orang yang masing-masing laki-laki 40 orang dan perempun 20 orang. Berbeda dengan ciri pesantren salaf, pesantren yang didirikan Kiai Ali ini menjadikan rentang waktu belajar di pesantren maksimal selama empat tahun. “Meskipun disini pesantren, gak bisa terus ngendok disini. Empat tahun harus keluar, ” paparnya.
Man Proposes But God Disposes
“Yang penting hidup itu diisi dengan pengabdian kepada Allah sebanyak-banyaknya, baik dengan tenaga, dengan pikiran, maupun dengan harta kalau kita mampu,” begitulah Kiai Ali Mustafa Yaqub lakoni hidup ini. Memang, hidup ini patut diisi dengan aktivitas bermakna. Masa depan pun patut direncanakan. Dan kepada Allah sepenuhnya kita serahkan.
Kiai Ali Mustafa menyadari bahwa dalam hidup bukan tanpa rencana. Ia yakin betul bahwa dalam hidup segalanya patut direncanakan. “Terus terang saya ini juga bukan orang yang tidak punya rencana, tapi rencana saya itu banyak yang tidak berhasil,” begitu tuturnya sembari mengenang cita-cita besarnya yang tak menjadi nyata.
Ia mengisahkan bahwa sepulang menuntut ilmu ke Saudi Arabia, cita-citanya yang hendak menetap di salah satu dua tempat, yaitu Irian Jaya atau Timor Timur, tak berakhir nyata. Ia begitu berhasrat untuk merintis lahan baru di sana sambil siang hari bertani dengan menanam singkong atau ubi dan sore menularkan pendidikan agama bagi masyarakat sekitar. Namun apa daya, cita-cita besar itu harus kandas setelah beberapa koleganya, termasuk Bapak Syaikhu dan Bapak Ibrahim Hosen, mendesak untuk tetap dan terus berkiprah di Jakarta.
Memang ini bukanlah kegagalan yang sesungguhnya, karena dibalik kandasnya keinginan untuk menetap di salah satu dua tempat, Irian Jaya dan Timor Timur, Kiai Ali berhasil merintis dan mendirikan pesantren. Kalaupun keberhasilan ini bukanlah sesuai dengan apa yang ia rencanakan. “Tapi yang berhasil di sini sebenarnya di luar rencana saya, kalau ini disebut berhasil. Karena saya bikin pesantren di sini gak ada rencana sama sekali,” kisahnya.
Memang, selalu saja ada hikmah dibalik kegagalan melapangkan cita-cita. Manusia boleh berencana, namun Tuhanlah yang menentukan, man proposes but God disposes. Selalu saja ada kejutan-kejutan dalam hidup, betapapun itu di luar perencanaan kita. Kejutan-kejutan inilah yang juga menimpa orang semisal Kiai Ali Mustafa Yaqub.
Tak Lelah Berkarya
Dapat dikatakan bahwa Kiai Ali Mustafa Yaquf adalah figur kiai prolifik yang telah melahirkan sejumlah karya. Ia bukanlah orang yang tidak sibuk, namun kesibukannya tak membuat kegemarannya dalam menulis terhambat. Aktivitasnya di Majelis Ulama Indonesia sebagai Anggota Komisi Fatwa dan Anggota Dewan Komisi Syariah Nasional, Dewan Pengawas Syariah di beberapa lembaga semisal Bank Syariah Bukopin, Asuransi Jasindo Takaful, Asuransi Beringin Life Syariah, dosen di Institut Ilmu Qur’an (IIQ), dan mendidik para santri menunjukkan kepadatan aktivitas sehari-harinya.
Lagi-lagi itu bukanlah hambatan yang membuatnya menyerah untuk berkarya. Bagi bapak satu putra ini, motivasi untuk menulis sangat berkaitan dengan spesialisasi bidang yang sedang ia tekuni, Hadis. “Dalam Ilmu Hadis,”jelas Kiai Ali Mustafa,” ada suatu anjuran untuk menulis apabila sudah cukup belajar Hadis.” Aktifitas sahabat dan generasi perawi Hadis dan mencatat dan menghimpun Hadis patut dijadikan teladan dalam hal ini.
“Poin ini tidak terdapat dalam disiplin ilmu Islam yang lain,” tambahnya.
Ia juga mengisahkan bahwa motivasi untuk menulis juga diilhami pengalamannya ketika sedang menyusun tesis masternya. Ia menguliti sejumlah karya ulama “tak populer”. “Para ulama itu sudah meninggal, tapi mereka mendapatkan pahala lantara saya membaca bukunya. Ini selama buku karangan mereka itu ada di perpustakaan dan selama buku-buku itu dibaca, maka selama itu pula mereka mendapat kiriman pahala karena ada orang yang membacanya,” kata Kiai Ali Mustafa mengisahkan.
“Karya-karya tulis akan kekal sepanjang masa, sementara penulisnya hancur terkubur di bawah tanah (al-Khaththu yabqâ zamânan ba’da shâhibihî, wa kâtibu al-khaththi tahta al-ardhi madfûnu),” begitu motto yang kerap kita jumpai di sebagian karya-karyanya.
Kekekalan karya tulis inilah yang menjadi pemicu utama geliatnya untuk terus menyuguhkan karya pada umat. Dan sejak saat itulah ia bertekad kalau pulang ke tanah air, ia akan terus menulis, baik artikel maupun buku.
Bukannya slogan kosong, kesungguhan tekadnya ternyata membuktikan kepada kita dengan hadirnya tujuh belas buku dan delapan buku suntingan plus kata pengantar. Di antara karya-karyanya adalah Nasihat Nabi kepada Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dakam Ilmu Hadis, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, Islam Masa Kini, Fatwa-fatwa Kontemporer, dan yang terakhir adalah Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan.
Tradisi tulis-menulis semacam ini ditularkan pada para santrinya, dan berkat motivasi yang intens, di antaranya santrinya pun mulai melahirkan karya. Inilah tekad yang ia yakini sebagai bentuk dakwah Islam. Sebagaimana dikatakan Kiai Ali Mustafa Yaqub, dakwah bukanlah semata-mata penyampaian, tetapi juga akhlak dan perilaku.
“Al-Da’watu laysat mujarradu tablîghin, wa lâkin akhlâqun wa sulûkun,” ucapnya. Dan benar, Kiai Ali tidak hanya menyuruh, tetapi ia bertindak, dan karya-karya menjadi saksi tindakan dakwahnya yang utama. []
Ahmad Fawaid Sjadzili adalah dosen STAIN Pemekasan.