Setiap agama mengajarkan kebaikan pada penganut-penganutnya. Itu realitas yang tidak dapat dibantah kebenarannya. Namun, adalah suatu realitas pula bahwa di antara ajaran kebaikan tersebut, terselip ajaran yang nampaknya berkebalikan dengan nilai kebaikan tersebut. Salah satunya adalah paham radikalisme dan ekstremisme, tak jarang diikuti dengan kekerasan.
Dalam tulisan kali ini, saya akan mengambil beberapa contoh bahwa dalam sejarahnya, selalu ada paham ini yang berkembang dalam suatu agama dan tidak hanya melekat pada satu agama saja. saya akan mulai bicara dari kasus-kasus radikalisme dan ekstrimisme dalam sejarah perkembangan agama Kristen, secara khusus Kristen Katolik.
Ada dua jenis fundamentalisme dan radikalisme, yakni ke dalam dan ke luar. “Fundamentalisme ke dalam” secara sederhana berarti menganggap ‘kafir’ aliran yang berbeda dalam agama yang sama. Sementara “fundamentalisme ke luar” berarti meng’kafir’kan orang yang menganut agama dan kepercayaan yang berbeda dengannya.
“Fundamentalisme ke dalam” pada agama Kristen terjadi paling banyak pada masa Abad Pertengahan (sekitar abad ke-5 s.d. 15 Masehi). Pada waktu itu Kekristenan mengalami masa puncak kekuasaan di dunia sekaligus masa kekelaman. Ada banyak permasalahan yang terjadi pada kurun waktu tersebut. Salah satunya adalah perlakuan Gereja terhadap para dukun, tukang sihir, dan peramal.
Gereja memandang para dukun, tukang sihir, dan peramal sebagai sekutu iblis. Kendati mereka juga menganut iman Kristen, keterlibatan mereka dalam praktik sihir membuat mereka dianggap tidak beriman secara murni. Sebagai reaksi atas praktik sihir tersebut, Gereja membentuk lembaga bernama Inkuisisi. Inkuisisi ini bertugas menyelidiki dan menginterogasi orang-orang yang diduga menjalankan praktik sihir. Bila ketahuan dan terbukti, Inkuisisi diberi kekuasaan untuk menjatuhkan dan menjalankan hukuman siksa hingga mati.
Cukup banyak “penyihir” Kristen yang ditangkap, diselidiki, hingga akhirnya dihukum mati oleh Gereja lewat Inkuisisi. Ada sebagian yang memang benar-benar penyihir, tetapi ada pula yang dituduh penyihir karena pelbagai macam alasan. Apapun itu, Gereja pada waktu itu telah membiarkan dan bahkan menganjurkan “pemurnian” iman Kristen dari praktik sihir dan magis yang dianggap merusak kemurnian iman. Caranya tidak tanggung-tanggung, dengan membunuh.
Kendati demikian, ada beberapa pastor yang tidak menyetujui kebijakan Gereja tersebut. Salah satunya, Pastor Friedrich Spee, SJ, seorang pastor berkebangsaan Jerman dari ordo Serikat Jesus. Ia aktif membela para tersangka penyihir dan berjuang menghapuskan hukuman mati bagi mereka. Ia percaya bahwa soal hidup dan mati hanya boleh ditentukan oleh Tuhan sendiri. Manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia lain apapun alasannya, termasuk karena sihir sekalipun. Di samping itu, ia juga mendampingi para penyihir yang akan dihukum mati supaya kuat dan tabah.
Sementara, “fundamentalisme ke luar” lebih mudah dicari contohnya. Perang Salib merupakan realitas historis paling jelas dari “fundamentalisme ke luar” Kristen. Lepas dari faktor politik yang melatarbelakanginya, yakni perebutan wilayah dengan orang Yahudi dan Islam, unsur-unsur keagamaan seringkali digunakan untuk menumbuhkan kebencian terhadap orang non-Kristen. Paus Urbanus II, misalnya, pernah menyatakan perang terhadap orang Islam adalah perang yang suci. Mereka yang terbunuh dalam perang dijanjikan pengampunan dosa dan surga. Tak heran jika banyak orang Kristen dengan penuh semangat turut serta berperang.
Ketika Perang Salib berakhir, masih ada sisa-sisa kebencian pada Yahudi dan Islam. Pada 1492, ketika daerah Granada, Spanyol yang dulunya di bawah kekuasaan Islam direbut pasukan Kristen, orang Islam dan Yahudi dipersekusi. Mereka bahkan harus berpura-pura menjadi Kristen agar hidupnya selamat. Orang-orang Kristen yang dulunya beragama ataupun keturuan Yahudi atau Islam kerapkali dianggap sebagai umat Kristen nomor dua.
Sebagaimana dalam kasus “fundamentalisme ke dalam”, ada pula pihak-pihak yang mengimbangi “fundamentalisme ke luar” dengan kepedulian pada kesejahteraan dan keselamatan orang Yahudi dan Muslim. Ignatius Loyola, pendiri Ordo Serikat Jesus, tercatat pernah mendirikan rumah aman (safe house) bagi orang Yahudi dan Muslim. Bagi mereka yang ingin masuk Kristen, Ignatius menyelenggarakan pendampingan supaya mereka aman dari persekusi.
Menurut JB. Heru Prakosa, SJ, ada tiga faktor fundamentalisme agama. Pertama, prasangka terhadap aliran atau golongan lain. Kedua, standar ganda. Maksudnya kita cenderung melihat pihak lain serba ‘buruk’ dan pihak kita sendiri serba ‘baik’. Ketiga, keengganan melihat fakta bahwa hal-hal negatif yang ada pada pihak lain ternyata ada pula pada pihak kita sendiri.
Praktik fundamentalisme memang selalu dapat dilacak keberadaannya dalam sejarah. Namun, pihak-pihak yang dengan tekun mendorong toleransi dan sikap inklusif pun selalu ada. Kita pun bagian dari sejarah tersebut. Islam pun demikian, ada potensi ke sana dan tidak bisa kita pungkiri. Misalnya, dalam sejarah islam ada peristiwa pembunuhan Sayyidina Ali oleh seorang bernama Ibnu Muljam hanya karena berbeda faham keagamaan.
Di agama-agama lain juga serupa, tinggal kita melihat ke sisi mana kita arahkan. Tentu saja, dalam sejarah manusia kita tidak akan lupa bagaimana perang salib atau semacamnnya yang memakan jutaan jiwa, serta tak jarang menggunakkan instrumen keagamaan sebagai legitimasi peperangan. Hal itu, harusnya, membuat kita mulai berpikir bahwa ekstrimisme ini bukanlah milik satu agama belaka. Jutaan jiwa melayang karena sisi ‘setan’ ini yang diambil dan agama seakan hanya menjadi instrumen kebencian belaka. Tidakkah hal itu membuat kita berpikir?
Kini, bola ada di tangan kita. Ke sisi sebelah mana kita hendak berpihak? Saya memilih untuk melihat ke sisi kebaikan.