Beberapa waktu yang lalu saya menonton film “Brexit: The Uncivil War”. Film berdurasi 92 menit tersebut menceritakan kondisi politik di Inggris pada saat Referendum “Brexit” di tahun 2016. Di film itu, pesan dan pengaruh utama adalah proses kampanye kelompok “Leave”. Titik krusialnya adalah cara mereka kampanye politik di media sosial, atau lebih tepatnya penggunaan Data Mining, yang diawaki oleh AggregateIQ dan Cambridge Analytica menjadi modal besar dari kemenangan kelompok “Leave” di Referendum tersebut.
Benedict Cumberbatch, pemeran Dominic Cummings yaitu pemimpin tim dan otak gerakan kelompok “Leave”, bahkan harus menawarkan dua kali pesan utama kampanye mereka. Arkian, dipilihlah slogan “Take Back Control” sebagai jargon dalam gerakan kelompok “Leave” karena memiliki kemampuan menangkap emosi dan mimpi rakyat Inggris saat itu.
Dari cerita film tersebut, saya tersadarkan permasalahan yang mungkin jadi penyebab kegagalan kampanye “Islam Moderat” menjadi arus besar di masyarakat. Kampanye itu, salah satunya, adalah perang terhadap terorisme yang dikedepankan oleh Pemerintah. Faktanya, kampanye itu tidak menjadi perhatian utama di masyarakat Indonesia. Buktinya, kampanye tersebut masih sering gagal menghentikan persoalan kebencian terhadap agama lain di media sosial, dengan menumbuhkan imunitas dalam masyarakat digital di Indonesia.
Kegagalan Negara mengarusutamakan diksi “Moderat” di masyarakat merupakan tumpukan besar dari berbagai masalah. Faktor media sosial adalah satu dari berbagai motif dasar yang harus diperhatikan, karena keberhasilan dan kegagalan menanamkan pesan tersebut dalam imaji rakyat cukup bergantung pada hal ini. Media sosial memang cukup dibanjiri pesan tentang “Islam Moderat”, tapi pernahkah kita mengecek apakah hal tersebut yang diinginkan oleh masyarakat?
Ada pelajaran penting dari kemenangan tim “Leave” dalam Referendum Brexit, sebagaimana cerita di atas, pesan pendek yang bisa menggerakkan masyarakat Inggris saat itu adalah poin paling penting, karena mampu menangkap hati dan keinginan mereka. Di sini kita bisa melihat bagaimana pesan “Moderat” jelas kalah telak dibanding dengan tema “Hijrah”, yang lebih diminati dan berpengaruh di masyarakat.
Kita bisa melihat dari model, bingkai, kreativitas hingga jumlah persebaran isu “Hijrah” justru lebih mendominasi di masyarakat ketimbang isu “moderat”. Kondisi tersebut memang hanya dilihat dari pertarungan di media sosial saja, tapi sedikit banyak cukup berpengaruh di lingkungan keberagamaan kita di dunia nyata, tentu tidak sedikit fakta yang menegaskan hal ini.
Mengapa tema “hijrah” bisa lebih diminati di masyarakat sekarang? Jelas pertanyaan ini pernah terbersit di benak kita. Untuk menjawab soal ini dalam waktu singkat, mungkin bisa dimulai dari membaca apa yang ditulis oleh Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi dalam buku “Wajah Muslim Indonesia”. Mereka menegaskan bahwa tiga tema utama dalam kajian keislaman saat ini, yaitu kelas menengah muslim, kelompok milenial dan masyarakat urban.
Tiga kelompok masyarakat ini adalah golongan secara jumlah memang tidak dominan, tapi memiliki pengaruh besar di masyarakat. Hal ini pernah ditulis oleh Yanwar Pribadi, yang menyebutkan bahwa kelompok-kelompok tersebut sedang berkembang pesat juga terus berusaha untuk meraih identitas Islam yang “sesungguhnya”. Di saat yang sama, kelompok tersebut juga menghendaki pengakuan identitas mereka sebagai identitas yang paling tepat, sekaligus mempromosikannya sebagai identitas sosial-budaya yang ideal untuk seluruh bangsa Indonesia.
Media sosial yang memiliki peran penting untuk mengamplifikasi keinginan kelompok tersebut. Kemampuan media sosial melintasi atau menabrak batas-batas primordial, seperti daerah, suku, ras, hingga organisasi sangat membantu memperbesar suara keinginan tersebut. Tiga kelompok tersebut tidak hanya mengandaikan sebagai identitas ideal dalam keislaman dalam versi masing-masing, tapi juga di sisi lain mempromosikan model tersebut sebagai solusi utama dalam kehidupan modern yang sinis dan dangkal akan moral.
Titik solusi tersebut yang menjadikan isu “Islam Moderat” kalah langkah dibanding “Hijrah”, sebab diksi itu dengan tepat menangkap ketakutan dan keraguan masyarakat modern, yang kita ketahui bersama didominasi oleh tiga kelompok di atas. Narasi Islam sebagai solusi utama dalam kehidupan manusia kemudian dirasa lebih tepat diterjemahkan pada “Hijrah” ketimbang “Moderat”.
Tawaran-tawaran pendakwah yang mengusung “Hijrah” akhirnya lebih diminati masyarakat karena memenuhi dari keinginan akan solusi dari persoalan utama kehidupan modern, sekarang ketimbang “Islam Moderat” yang lebih abstrak. Kondisi ini tentu bisa diperdebatkan, tapi jika “Islam Moderat” terus menjadi narasi elitis dan abstrak dalam merespon kondisi masyarakat sekarang akan semakin ditinggalkan atau tidak laku.
Mempersoalkan narasi-narasi yang dikembangkan oleh pengusung “Hijrah” dalam mengartikulasikan Islam, seperti soal kedangkalan, relasi keilmuan, hingga komodifikasi, oleh beberapa penyokong “Islam Moderat” adalah langkah yang tidak bijak. Kemudian cenderung membawa dampak negatif, justru itu dalam persoalan tersebut harus dihadapi dengan lebih hati-hati ketimbang hanya melempar ketidaksetujuan belaka.
Dukungan masyarakat yang tidak sedikit terhadap narasi “Hijrah” dan penguasaan terhadap media sosial oleh para pengusungnya, tentu bisa berdampak pada narasi “Islam Moderat” yang semakin dijauhi dan ditinggalkan. Jadi alangkah lebih baik penyokong “Islam Moderat” mulai memikirkan bagaimana menjadikan tema tersebut bisa menjawab dari permasalahan yang dihadapi masyarakat modern.
Selain itu, mereka juga harus mulai memikirkan cara untuk membingkai, menarasikan dan mengarusutamakan narasi tersebut, dengan berbagai melakukan perbaikan agar bisa menjadikannya sebagai semangat zaman. Tentu hal ini bisa terwujud dengan kesatuan dalam gerak dan saling dukung dari berbagai pihak.
Beberapa hari yang lalu, saya mendapati fakta bahwa ada seorang pengajar di Universitas Negeri yang sedang mengadakan agenda belajar bersama bersama satu aliran agama besar, yang dianggap “sempalan”. Dalam kegiatan tersebut, sang pengajar juga mengajak anak muridnya ke acara tahunan aliran tersebut, tapi dia malah menegaskan kelompok yang mereka datangi tersebut sebagai aliran sesat, dengan menampilkan beberapa fakta, dalam opininya. Yang lebih membuat saya miris, dia melakukannya saat masih dalam forum tersebut.
Dari cerita pendidik di atas, digambarkan jelas betapa narasi moderatisme Islam belum menjadi pemahaman bersama dalam membingkai keislaman di Indonesia. Pengajar di universitas Negeri saja masih bisa mempropaganda kesesatan pada kelompok lain pada anak didiknya, di saat pembelajaran berlangsung. Pekerjaan rumah soal menarasikan “Islam Moderat” di masyarakat Indonesia tentu masih banyak, dan jelas membangun terowongan atau prasasti bukan solusi instan yang diperlukan sekarang.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin