CLEMENTIS
Bulan Februari 1948, bertempat di Istana Praha, adalah peristiwa dimana ratusan ribu rakyat Cekoslovakia beramai-ramai mendesaki jalan Old Town. Pemimpin Partai Komuni Cekolovakia, Klement Gottwald, berdiri gagah di balkon Istana, menyambut pendukungnya yang berdesak-desakan merayakan kemenangan partai mereka. Klement berdiri didampingi kamerad Clementis. Udara cukup dingin, salju pun turun. Clementis melepas topi dan memasangkannya di kepala Klement yang semakin basah diguyur salju. Jadilah Klement bertopi milik Clementis dan berbicara kepada warganya.
Foto Klement Gottwald yang berpidato didampingi Clementis di Istana Praha kemudian menyebar ke seluruh penjuru Cekolovakia; disebarkan melalui poster-poster, spanduk-spanduk, museum, dan dikisahkan dalam mata pelajaran sejarah di bangku sekolah.
Tahun 1952, Clementis dijatuhi hukuman gantung karena tuduhan berkhianat kepada negara. Seketika namanya dihapus dari sejarah kepartaian, termasuk fotonya yang mendampingi Klement di Istana Praha. Sejak saat itu pula, foto di Istana Praha hanya satu versi; Klement Gottwald yang berdiri sendiri, tanpa Clementis, dan yang tertinggal hanya topi Clementis yang dipakaikannya di kepala Klement, sampai sekarang (Milan Kundera: 1980).
Sedikit banyak, keberhasilan Partai Komunis Cekoslovakia ini menginspirasi gerakan Komunisme yang ingin mendirikan Negara Komunis di Indonesia.
TAN MALAKA
Selain Soeprijadi, Indonesia memiliki satu tokoh lain yang menemukan kuburannya adalah perkara yang merepotkan; ialah Tan Malaka. Bersama Haji Misbach, ia adalah generasi pertama Partai Komunis Indonesia. ia memang selalu menjadi musuh Muso dalam segala hal kebijakan kepartaian, jadi ia tidak terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1926 dan 1948.
“Bila saya punya kesempatan, hal pertama yang saya lakukan adalah menggantung Tan Malaka.” Demikian jawaban Muso, ketika pulang kembali ke Indonesia, menanggapi wartawan yang bertanya apakah ia akan bergabung dengan Tan Malaka.
Nama aslinya adalah Ibrahim, diangkat menjadi Datuk dari Suku Koto dengan gelar Tan Malaka. Selama 30 tahun pemuda Minang ini memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, selama itu pula ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang gemar menghilang dari jangkauan mata intel-intel Belanda.
Ia tewas tertembak pada tahun 1949 di kaki Gunung Wilis, Kediri, dalam keadaan masih melajang (tidak seperti Bung Hatta yang hanya melajang sampai Proklamasi 17 Agustus 1945), dan diangkat Soekarno menjadi pahlawan nasional pada tahun 1963. Sayangnya pencarian makamnya baru dilakukan 60 tahun kemudian, pada september 2009, dan pencariannya pun berangkat dari analisa Harry A. Poeze, penulis dari Belanda, dan bukan sejarawan Indonesia. Bagaimanapun, makan sang pahlawan ini harus diketahui secara pasti.
Gelar pahlawan adalah gelar nasional yang tidak boleh dicabut. Semenjak tahun 1966, ideologi kiri tidak lagi dipopulerkan, bahkan diberangus hingga ke akar. Tan Malaka adalah pahlawan nasional berideologi kiri yang tidak bisa dihapuskan gelarnya, sehingga jalan paling logis adalah menghapus namanya dalam pendidikan sejarah Indonesia, agar tiada yang mengetahui namanya.
Perlu diingat, Tan Malaka adalah salah satu tokoh pembentuk Persatuan Perjuangan di Purwokerto yang berhasil menghimpun 141 macam organisasi politik, laskar, dan lain sebagainya termasuk Masyumi dan PNI. Dalam sebuah pidatonya, ia lebih memilih Indonesia dihujani bom atom daripada tidak merdeka seratus persen.
Dalam tubuh Persatuan Perjuangan bentukan Tan Malaka ini terdapat tokoh perjuangan yang seratus persen mendukung gagasannya, duduk sebagai anggota sub-komite mewakili Tentara Keamaan Rakjat (TKR), ialah Jenderal Soedirman.
SOEDIRMAN
Ia adalah pejuang kemerdekaan yang meninggal dalam umur yang relatif muda, 34 tahun. Terpilih menjadi panglima Tentara Keamanan Rakjat (TKR) pada usianya yang 29 tahun. Sangat menarik, terpilihnya Soedirman begitu demokratis, sementara di tubuh komando angkatan bersenjata masih terjangkit sikap pilih-pilih komandan dari daerah-daerah tertentu. Ia berhasil mengusir tentara sekutu, pemenang Perang Dunia II yang bersenjata jauh lebih baik, angkat kaki dari Ambarawa dengan strategi perangnya: Supit Urang.
Soeharto, waktu itu masih berpangkat Letnan Kolonel, didampingi Frans Mendur dan Rosihan Anwar diperintahkan Soekarno untuk menjemput Soedirman yang masih bergerilya di Wonosari. Saat kembali, pusat pemerintahan Indonesia sudah berpindah ke Yogyakarta. Soekarno menunggui kedatangan Soedirman tepat di depan kediaman kepresidenannya. Soedirman berdiri kaku, dengan disangga tongkat di tangan kanannya. Soekarno menghambur, kemudian memeluk tubuh ringkih Sang Jendral yang hanya memiliki satu paru-paru.
“Momennya dapat, tidak?” tanya Soekarno kepada Frans Mendur, yang ditugasi memotret keduanya berpelukan. “Tidak dapat. Terlalu cepat.” jawab Frans Mendur, fotografer IPPHOS itu. “Kalau begitu adegan zoentjes-nya kita ulang.” Frans Mendur menurut, begitu pula Sang Jendral.
Sampai akhirnya, foto tersebut memang dimanfaatkan Soekarno untuk sebuah pencitraan ‘rangkulan’ antara sipil dan militer, antara pro-diplomasi dan gerilyawan. Sebenarnya tidak hanya Soekarno yang memanfaatkan Soedirman, bahkan Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono pun memanfaatkan namanya.
Tidak ada yang lebih dijelaskan dari sosok Soedirman selain: kurus dan lantang berjuang meski dengan paru-paru yang hanya sebelah. Beberapa patungnya pun dibuat dalam dimensi yang tak jauh beda dari kesan itu; bahkan sangat menyedihkan dan sangat jelata. Padahal, Soedirman adalah kepala sekolah, pendiri koperasi, pemain sandiwara, dan atlet sepakbola (Asvi Warman Adam: 2009).
Sebaiknya kita harus membantu pemikiran kita sendiri agar dapat keluar lebih dari foto, dan sosok yang digambarkan pada patung. Atau sebaiknya, berfikir motif dari sebuah kampanye.