Dalam kondisi seseorang merasa terancam dan tertekan secara naluri kemanusiaannya pasti ia akan cemas, gelisah bahkan panik terlebih itu menyangkut nasib dan nyawa manusia . Begitu pun dalam menyikapi Covid-19 dengan resiko ancaman nasib dan nyawa manusia yang cukup besar. Seorang Dokter senior mengatakan, saya setiap malam susah untuk tidur memikirkan ancaman virus ini karena menyangkut nyawa dan nasib manusia dengan resiko ancaman yang sangat besar terlebih vaksinnya belum ditemukan.
Karena itu, ada kondisi seseorang tak akan merasa cemas, gelisah atau justru ia merasa aman, biasa biasa saja jika yang mengancam dan tekanan hidupnya belum ia rasakan dan saksikan. Kondisi ini akan sangat terbantahkan jika Covid-19 dipahami sebagai resiko dan ancaman yang tak hanya secara individu tapi juga menyangkut semua orang.
Pertanyaannya, apakah setiap orang dengan kondisi saat ini ia akan selalu merasa aman dari ancaman Covid-19 atau sebuah wilayah akan aman dari ancaman ini? Lalu apa jaminan bahwa wilayah itu masih aman? Bukankah virus ini menularkan atau tertularkan hingga seluruh dunia? Yang sama sekali tak terduga, terlihat dan tercium secara kasa mata? tak seperti musuh bersenjata ia bisa kita lihat kapan ia harus dilawan dan didiamkan?
Tentu perasaan resah atau gelisah bukan panik harus berbarengan dengan optimisme, harapan, kesadaran dan ikhtiar bersama-sama, bukan perindividu, agar kita semua ada di posisi aman. Paling tidak ada tiga hal yang perlu kita upayakan bersama:
Pertama, patuhi dan jangan dianggap enteng, apalagi mengabaikan imbauan pemerintah tentang social distancing (pembatasan jarak) atau physical distancing (pembatasan kontak fisik), karena itu kurangi aktivitas apapun termasuk kegiatan keagamaan, nongkrong atau acara hiburan. Mengapa mesti dipatuhi? Ada dua alasan yang mengikat pada diri kita masing-masing, yaitu kewajiban sebagai warga negara yang harus tunduk pada aturan yang berlaku dan kewajiban sebagai orang beragama taat pada pemimpin (ulil amri) setelah kepada Tuhan dan Nabi-Nya.
Oleh sebab itu, tak hanya sebagai sebuah imbauan, tapi juga tuntutan agama. Menurut Imam al-Mawardi ketika menafsirkan ulil amri (QS : al Nisa ayat 59), kepatuhan terhadap pemimpin, dalam hal ini bisa Presiden, Gubernur, dan dokter yang lebih paham soal kesehatan, tidak boleh diabaikan. Prof. Quraish Shihab mengatakan, kewajiban taat pada pemerintah tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul. Karena itu, jika perintahnya bergandengan tangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka ketaatan itu berlaku.
Imbauan untuk mengurangi aktivitas, mengumpulkan massa bahkan acara keagamaan wujud dari menyelematkan harapan manusia untuk melawan dan memutus mata rantai virus yang mengancam nyawa manusia. Tentu perlu dilakukan secara bersama terkhusus figur, tokoh masyarakat, penggiat sosial media, terlebih agamawan untuk memberikan ketaladanan ini, bukan justru diri kita sendiri yang melanggar, masih aktif dengan rutinitas masyarakat.
Kedua, ikhtiar bersama untuk menyayangi dan menjaga diri masing masing. Tak ada alasan dan tak dibenarkan jika diri kita masih selalu merasa aman, sehat-sehat saja dan rasa kepercayaan diri yang tinggi. Covid 19 tak mengenal dan memilah siapa korbannya, di mana lokasinya dan apa kampungnya. Sebab itu, ada hak tubuh yang harus dijaga tak sekedar pada diri tapi tanggung jawab pada Tuhan atas karunianya. Nabi SAW tegaskan pada tubuhmu punya hak atas dirimu. Artinya masih sibuk dengan aktivitas luar, ngumpul bersama apapun kegiatannya bagian dari mengindahkan hak tubuh. Mengapa? Semakin sering duduk, ngumpul dan diskusi bersama itu cukup membahayakan atas hak dirimu sebab virus ini bermulai dari penularan.
Ketiga, komitmen bersama ada orang lain yang harus dijaga keselamatannya. Berusaha menjaga diri, waspada dan taat imbauan sesunguhnya kita sedang menjaga keselamatan orang lain. Islam itu suara dan kicauannya selalu bicara keselamatan dan perlindungan pada manusia. Mengapa sementara waktu tak usah bersalaman padahal itu sangat baik? Karena itu cara kita menjaga diri dan orang lain agar tidak tertular dan menularkan. Karena itu, ego beragama atau ego sosial dengan menyamakan kondisi normal bahkan merasa aman ditengah ancaman virus tersebut sejatinya kita sedang mengancam dan tak menjaga keselamatan manusia.
Terakhir, mari kita menjadi masyarakat atau warga yang saling menyelematkan dan memahami, ada tetangga kita, sahabat bahkan keluarga kita masing msing yang harus dijaga dan dlindungi, semuanya harus dilindungi dan jangan menunggu korban (na’udzubillah) baru kita menyadari dan bukan lagi masanya untuk debat. Seperti seduran FirmanNya, Quw anfusakum wa ahlikum naara (jaga dirimu dan keluargamu dari api neraka), jika tak dianggap cocoklogi maka NARA (api atau sesuatu yang tak menyenangkan) mari jaga diri, keluarga dan orang lain dari NAARA (ancaman Corona). Jika tiga poin di atas sudah dilakukan (patuh, jaga diri dan orang lain) berarti kita sedang berjihad dalam kemanusiaan dan disisi Tuhan itu sangat mulia.