Meraba Masa Depan Dunia Pasca Pandemi Corona

Meraba Masa Depan Dunia Pasca Pandemi Corona

Apa yang terjadi di masa depan? Apakah manusia bisa memprediksi dan memproyeksikan masa depan, atau bahkan ‘mungkin’ mengendalikan dunia pasca pandemi?

Meraba Masa Depan Dunia Pasca Pandemi Corona

Pandemi Covid-19 perlahan mengubah tatanan dunia. Polusi global menurun, work from home (WFH) merebak, pembelajaran via online, prioritas terhadap higienitas,  pembatasan perjalanan antar daerah dan negara, penutupan rumah ibadah, bahkan penggunaan teknologi untuk pengawasan. Selanjutnya, apa yang terjadi di masa depan? Apakah manusia bisa memprediksi dan memproyeksikan masa depan, atau bahkan ‘mungkin’ mengendalikan dunia?

Begitu banyak pertanyaan menggelitik terkait dengan pandemi virus corona yang merebak sejak akhir Desember 2019 ini di Wuhan, Cina. Termasuk polemik apakah wabah penyakit ini diciptakan atau memang alamiah terjadi? Semua ini masih menimbulkan tanda tanya, entah akan terjawab atau menjadi misteri.

Terhitung 14 April 2020 ini, kasus Covid-19 di seluruh dunia mencapai 1.924.677, dengan jumlah kematian 119. 692 jiwa. Adapun total yang sembuh 445.005 orang, membuat kita optimis bahwa dunia mampu menghadapi pandemi ini.

Berkenaan dengan wabah penyakit, sesungguhnya fenomena ini sudah ada sejak masa lalu. Salah satu pandemi yang mengguncang dunia ialah Black Death atau Tragedi Maut Hitam pada 1330 M. Dilaporkan terdapat 75-200 juta orang meninggal di wilayah Asia Timur dan Tengah. Eropa, Afrika Utara, hingga pesisir Samudera Atlantik.

Begitu pun pandemi dalam dunia Islam, Ibn Hajar al-Asqalani (773-852 H) pernah menulis buku perihal wabah tha’un dalam karyanya “Badzlul Ma’un fi Fadhlit Tha’un”. Setidaknya disebutkan bahwa wabah sudah ada sejak masa Rasulullah dan Khalifah Umar.

Sejumlah scholars merespons fenomena pandemi di era kontemporer ini. Salah satunya kosmolog Inggris, Sir Martin Rees, yang mengungkapkan adanya pesimisme dan optimisme terkait pandemi. Rees pesimis karena kejadian semacam ini bisa terulang yang mana ‘aktor jahat’ bisa merekayasa pandemi baru yang lebih ganas dan menular.

Lenih jauh dalam karyanya “2018’s On the Future”, Rees menekankan ekonomi global akan runtuh. Di sisi lain, ia optimis karena krisis yang muncul dan hilang, memberi kesempatan situasi pulih. Menurutnya, kita bisa belajar jangan tergantung pada rantai suplai panjang yang rentan dan pekerja bisa melakukan WFH.

Bahkan, telah hadir sebuah buku karya Slavoj Žižek, filsuf psikoanalitik Slovenia, yang mengupas fenomena Covid-19 berjudul “Pan(dem)ic: Covid-19 Shakes the World”. Žižek menilai kepanikan dalam menghadapi Covid-19 menunjukkan bahwa wabah ini tidak dianggap sebagai ancaman serius.

Panik, demikian Žižek, merupakan ancaman bagi pasar, karena kepanikan membunyikan lonceng kematian bagi imperium bisnis. Menurutnya, sistem pasar benar-benar tidak siap menghadapi pandemi. Sehingga, sebagai sarjana Marxis, ia berpandangan bahwa masyarakat tanpa kelas merupakan solusi yang tepat untuk mencegah kehancuran dunia karena barbarisme sistem pasar. Kritik Žižek dengan menggunakan perspektif kritis ini membongkar relasi berkelindan antara kekuasaan dan pasar.

Selain itu, ada pula Yuval Noah Harari dalam sebuah artikel pada Financial Times yang berjudul Yuval Noah Harari: the World after Coronavirus”, edisi 20 Maret 2020Sejarawan Israel tersebut menyebutkan bahwa Virus Corona adalah “Krisis Global”.

Harari mempertanyakan, “How the Current Scenario Will Affect Us?” Menurutnya ada beberapa aspek yang berubah pasca pandemi Covid-19, yakni sistem kesehatan, ekonomi, politik, kebudayaan, dan pendidikan. Perubahan tersebut mengharuskan dunia menghadapi berbagai pilihan. Pilihan pertama yaitu, pengawasan totaliter dan pemberdayaan sipil. Sedangkan pilihan kedua yakni, isolasi nasional dan solidaritas global. Pada akhirnya, ia menyebutkan “Will Orwellian Surveillance Become a Norm!”; bahwa tindakan darurat jangka pendek akan dijadikan pengaturan hidup berkelanjutan.

Penunggangan Elit Global?

Sejumlah teori konspirasi beredar tentang aktor di balik penyebaran virus corona, entah Cina atau Amerika Serikat. Terlepas dari benar atau tidaknya, saya memandang bahwa kalangan elit global atau bankster bermaksud menunggangi pandemi Covid-19, salah satunya dengan menciptakan panik global yang disebarkan melalui media agar terjadi chaos dan bergantung pada injeksi dana mereka. Faktanya, kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia di bawah kendali lembaga donor.

World Bank merupakan salah satu yang concern terhadap pemberian pinjaman untuk menghadapi wabah virus corona. Dalam website resmi World Bank, terdapat salah satu artikel yang berjudul “World Bank Group Launches Emergency Corona Virus Support for Developing Countries”.

Selain itu, IMF (International Monetary Fund) memprediksikan pertumbuhan ekonomi global akan terjun ke level minus pada 2020. Lembaga tersebut telah mempersiapkan pinjaman utang kepada negara anggotanya, sebagaimana terdapat pada artikel di websitenya, “IMF Makes Available $50 Billion to Help Address Corona Virus”.

Adapun elit global yang posisinya disebut Dina Sulaeman, pengkaji Hubungan Internasional, setara dengan negara. Bill Gates pengaruhnya besar terhadap dunia. Sebagai informasi, ia merupakan donatur terbesar kedua di WHO. Adapun yang pertama ialah AS, ketiga ialah Inggris.

Gates bukan dokter, tapi sejak Covid 19 merebak, ia kerap diwawancarai soal penanganan pandemi ini. Gates acap kali menganjurkan agar negara yang terjangkit virus corona untuk lockdown, dalam istilahnya “strong isolation measures on a countrywide”.

Selain menciptakan kebergantungan ekonomi, fakta menarik lainnya ialah pada 19-25 November 2019, Aliansi ID2020 mengadakan Konferensi tentang dampak Pembangunan Berkelanjutan bertema “Rising to the Good ID Challenge” di New York. Setelah itu berlanjut pada Januari 2020 di Davos, Swiss, yang mana ID2020 sepakat membuat program “identitas digital” ke penjuru dunia.

Sebagaimana dalam laman website Aliansi ID2020 terdapat slogan “We need to get Digital ID Right”. Dalam sub-fitur Programs tertera: “Bringing privacy-protecting, portable and user-centric digital identity to life.” Adapun negara yang akan menjadi proyek pertama ialah Bangladesh.

Terkait dengan wabah virus Corona, semakin mengindikasikan adanya upaya segelintir elit untuk memberlakukan proyek, sebagaimana disebut Harari, “Transition from ‘over the skin’; Surveillance to ‘under the skin’”. Berbagai pengamat semakin meyakini adanya upaya penanaman Microchip pada tubuh manusia oleh segelintir elit. Ini sebagai penanda digital dari sistem biometrik. Adapun tujuannya bisa positif maupun negatif. Microchip dapat mengendalikan data pribadi orang di dunia, monopoli uang digital, serta bisa bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan dan psikologis seseorang.

Berkenaan dengan microchip implant pada tubuh manusia, sudah banyak artikel yang membahas tentang ini, salah satunya diterbitkan Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences yang berjudul “Nanotechnology Use in Medicine” karya N. Gopal Reddy. Hal ini bisa saja diterapkan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kita bisa merujuk pada program E-KTP dengan menggunakan retina dan sidik jari; secara otomatis identitas kita sudah satu paket dengan diri kita, semua itu tersimpan dalam “big data”.

Pernyataan Harari, yang merupakan anak emas elit global, dalam artikelnya tampak terkait dengan adanya pemberlakuan big data. Ia menegaskan bahwa pada akhirnya, pasca pandemi Covid-19, kita harus memilih antara “Privacy and Health”. Saat seseorang dituntut untuk memilih antara privasi dan kesehatan, mereka pada umumnya akan memilih kesehatan. Meskipun ia mengakui bahwa ini merupakan akar permasalahan yang ada. Harari pun menyarankan agar kita pun dapat memilih untuk melindungi kesehatan kita dengan tidak melembagakan rezim pengawasan totaliter, namun dengan memberdayakan warga.

Namun, bagaimana mungkin kita sebagai masyarakat biasa memiliki kekuatan untuk mengawasi pemerintah atau bahkan elit global, sementara merekalah yang menguasai informasi dan segala aspek dengan senjata neo-liberalisme?

Adakah Secercah Harapan?

Setidaknya kita bisa memproyeksikan masa depan, pasca Covid-19, beberapa hal yang diprediksi akan terjadi. Penguatan infrastruktur digital akan semakin masif. Segala informasi dapat dipantau melalui Internet of Things (IoT). Interaksi dan relasi via online untuk meminimalisir kontak. Pengembangan dunia medis melalui Artificial Intelligence (AI). Ketergantungan pada robot akan meningkat. Bahkan, penanaman microchip di dalam tubuh manusia.

Meskipun demikian, tidak ada yang mampu memprediksi masa depan; kita memang bisa menganalisa, tapi masa depan tidaklah linear. Akankah masa depan kita berada pada kekuasaan pemerintah ataukah di tangan elit global?

Satu hal yang niscaya dalam falsafah Islam ialah hadirnya Imam Mahdi sebagai juru selamat. Konsep Mesiah ini juga diyakini agama samawi lainnya, yaitu Nasrani dan Yahudi. Di masa mendatang, Mahdiisme akan menjadi sebuah sistem yang mampu menegakkan keadilan di dunia. Dengan kata lain, pertempuran antara Mahdiisme dan Dataisme akan berlangsung.

Murtadha Mutahhari, ulama dan filosof Islam kontemporer, dalam Manusia dan Alam Semesta mengungkapkan mengenai masa depan masyarakat manusia. Ini bergantung pada semangat individual dan semangat kolektif dalam mencapai kesempurnaan yang merupakan ‘fitrah manusia’. Masyarakat dari berbagai budaya dan peradaban dalam proses penyatuan. Kelak masa depan umat manusia mengalami perkembangan dengan merealisasikan nilai-nilai manusiawi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebajikan aktual.

Senada dengan Mutahhari, Allamah Thabataba’i dalam Tafsir al-Mizan mengatakan bahwa di masa depan, manusia dan dunia akan mencapai kesempurnaannya. Al-Qur’an menegaskan mengenai tujuan alam semesta dan bagaimana puncak takdir manusia (al-Mizan, Jilid 4, hal. 106). Fitrah manusia hidup sebagai satu kesatuan yang akan kembali kepada kebenaran. Sebagaimana termaktub dalam QS 30:41:

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ini merupakan  filosofi Mahdiisme, sebagaimana konsepsi masa depan manusia dan dunia di dalam ajaran Islam yang penuh dengan harapan.

Dunia hari ini mengarah pada hegemoni dataisme yang menekankan pada proyek ‘big data’. Dataisme kelak menjadi ideologi baru dimana arus informasi menjadi nilai tertinggi. Agaknya adagium yang mengatakan “Barang siapa yang memiliki perekonomian kuat, merekalah yang menguasai dunia” akan mengalami penambahan redaksi.

Namun, akankah penyatuan umat manusia berada di bawah panji elit global, hanya karena mereka menguasai informasi dan perekonomian dunia? Akankah kedigdayaan itu diruntuhkan oleh Sang Juru Selamat? Wallahu a’lam bish-shawab

BACA JUGA Artikel-artikel Menarik Lainnya di Rubrik Kolom