I’tikaf dengan mendirikan tenda, ruang privasi maupun menggelar sajadah pribadi di masjid, apakah cara itu mengikuti tradisi i’tikaf pengikut Raja Namrud? Al-Quran menyebutkan ritual i’tikaf sudah dikenal dan dipraktekkan oleh penduduk Babilonia pada masa Raja Namrud. Gambaran itu tercantum dalam QS. al-Anbiya ayat 52. Allah Swt berfirman: “(ingatlah) ketika dia (Ibrahim) kepada ayahnya dan kaumnya; “patung-patung apa ini yang kalian tekun menyembahnya”.
Dalam ayat itu kata “akifuuna” yang seakar kata dengan lafal “i’tikaf” artinya “orang yang sembangyang”. Sementara dalam tafsir al-Munir lafal “wa antum laha ‘akifuun” ditafsirkan menjadi “mereka menyembahyangi tuhan-tuhan mereka berupa patung-patung di dalam kuil.”
Konon masyarakat Babilonia terbiasa meletakkan patung-patung kebanggaan mereka di dalam kuil. Mereka menjadikan bangunan kuil terpetak-petak berisi patung yang bentuk dan besarannya bervariasi. Hal itu bertujuan untuk membedakan kelas sosial para pihak yang meletakkan patung sebagai pemujaan.
Korelasinya dengan al-Qur’an yang menyebut aktivitas peribadatan masyarakat Babilonia dengan “wa antum laha ‘akifuun” adalah kebiasaan mereka menyembah patung yang disusun secara permanen dan terpetak-petak di dalam kuil. Hal ini menyebabkan akses setiap orang tidak leluasa dan terbatasi di dalam melakukan peribadatan dalam kuil.
Jadi, di luar kontek ketidaksenangan Nabi Ibrahim terhadap penyembahan berhala yang dilakukan pengikut Raja Namrud, QS. al-Anbiya’ ayat 52 juga mengandung pesan tersirat tentang ketidakpatutan mengkapling-kapling dan memetak-petakkan tempat peribadatan.
Oleh sebab itulah al-Quran kembali menggunakan lafal “aakif” (yang menetap). Dalam QS. al-Hajj ayat 25 Allah Swt berfirman: “Sungguh orang kafir dan yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan dari Masjidil Haram yang telah kami jadikan terbuka untuk semua manusia, baik yang menetap di sana maupun yang datang dari luar…”
Ayat ini menegaskan kebiasaan buruk orang-orang Jahiliyah yang merubah fungsi tempat peribadatan (Masjidil Haram) menjadi tertutup. Sebab mereka juga meletakkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah sehingga ruang peribadatan yang semula lega dan luas menjadi sempit.
Berdasarkan analisis ini, kita patut menyoroti kebiasaan kelompok muslim yang melakukan i’tikaf dengan mendirikan tenda, ruang pembatas, maupun meletakkan sajadah khusus di dalam mesjid. Betul bahwa dalam satu hadits yang diriwayatkan dari Siti Aisyah: “bahwa Rasulullah pada waktu i’tilaf merebahkan kepalanya ke pangkuanku. Beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan tertentu” (HR. Abu Dawud).
Akan tetapi perlu dipahami bahwa hal itu dilakukan Rasulullah dan Siti Aisyah melalui cela-cela diantara masjid Nabawi dengan kamar beliau yang terletak bersampingan. Bukan berarti Rasulullah mendirikan kemah khusus di dalam masjid.
Sesuai yang diajarkan Rasulullah Saw, i’tikaf disunnahkan di 10 hari terakhir Ramadhan dengan cara berdiam diri dalam kondisi suci di dalam masjid jami’. Mengingat status masjid jami’ sepatutnya kita memelihara kerapian, keindahan, dan kenyamanan masjid untuk jamaah secara umum.
Dus kalau kita menghalangi masyarakat untuk mengakses masjid karena “dipetak-petak” maka bukankah cara semacam itu meniru cara peribadatan masyarakat Babilonia dan kaum jahiliyah Mekkah? Wallahu a’lam