Beberapa menit saja setelah Ustadz Yusuf Mansur (YM) mengunggah video tangisan ke media sosial, orang-orang ramai menyampaikan komentar. Konten video tersebut merupakan keprihatinan YM yang merujuk kepada aksi Nusron Wahid (NW) saat meyampaikan komentar perihal tafsir surat Al Maidah ayat 51 dalam acara ILC TV One. Orang-orang ramai menyampaikan simpati, tetapi tidak sedikit pula yang menganggap aksi YM itu laiknya parodi. Tiga seleb media sosial (Kang Hasan, Denny Siregar, Amy Rangkuti) bahkan membuat video parodi menanggapi aksi YM yang mereka anggap “lebay” atau berlebihan.
“Jangan ditiru ya. Ingat jangan ditiru ya, Adik-adik.” Begitu bunyi teks yang ada dalam banyak meme yang beredar.
Lupakan YM. Lupakan NW. Mereka sesungguhnya tidak terlalu penting untuk dibahas terkait situasi pemilihan Gubernur Jakarta yang sedang dan akan berlangsung sebab hari berikutnya, ada gelombang massa yang lebih besar menggulung Jakarta. Aksi perdana itu kemudian disambung dengan longmarch yang dinamai Aksi bela Islam yang berlangsung 4 November 2016 lalu.
Akan tetapi, saya tak hendak kembali menganalisis aksi 411. Jutaan massa itu barangkali akan menarik jika saja hadir ke Ibukota untuk memikirkan perkara-perkara keumatan yang lebih progresif seperti bagaimana menghasilkan petisi kesepakatan untuk menuntaskan kesenjangan sosial, mencari solusi gejala perubahan iklim serta ketahanan Sumber Daya Alam.
Kenyataannya, segala ocehan perihal aksi 411 telah terlampau bising dan membikin habis enerji. Tulisan ini hanya hendak mempertanyakan dari mana seseorang memiliki enerji yang melimpah untuk saling ejek dan membully?
Maaf, saya bukannya simpatik pada aksi Ustadz Yusuf Mansur dalam dokumentasi videonya, tetapi kali ini saya mengambil sikap untuk mengkritik seleb-seleb seperti Kang Hasan, Denny Siregar serta Amy Rangkuti. Sikap yang sama, nanti juga saya ambil untuk gerah pada anak-anak muda yang berkata “hidayah memang suka lompat-lompat” sambil melabeli Buya Syafii Maarif sebagai sesat.
Pertanyaan itu penting, sebab sikap-sikap reaktif tersebut nyatanya juga berkaitan erat dengan tradisi berprasangka buruk, merasa benar sendiri, menghukumi orang lain, dan lebih-lebih, menganggap orang lain liberal, kafir dan sesat.
Bayangkan posisi anda yang telah lama mengikuti cuitan seseorang di linimasa media sosial. Anda menganggap cuitan-cuitan itu seringkali tidak dalam, provokatif, dan memiliki muatan liberal. Kadang-kadang, anda juga gemas pada perilaku reaktifnya atas isu apapun, seakan-akan orang itu terlalu banyak bicara dan tidak pernah istirahat berkomentar pada apapun. Lebih-lebih, orang yang anda tidak sukai ini mengaku beridentitas santri, membawa kehormatan pondok pesantren, termasuk nama guru-guru serta nasabnya.
Suatu kali anda melaporkan keresahan tersebut ketika berkunjung kepada seorang ulama sepuh.
“Menurut pendapat Kiai, si Fulan itu bagaimana? Kok dia…”
Belum selesai hasrat anda mengeja keburukan-keburukan santri termaksud, Kiai berujar,”Oh. Si Fulan. Masya Allah betul itu si Fulan. Dia adalah santri yang begitu alim. Sholat tepat waktu. Menjaga sunnah. Menjaga wudhu. Maniak puasa.”
Bagaimana kira-kira respon anda sesudah situasi semacam itu?
Ketika itu, saya tercekat. Saya memilih diam dan menunduk, kemudian mengajukan umpatan untuk diri sendiri. Seandainya ada cermin di hadapan, mungkin saya tak kuasa untuk mengangkat kepala. Malu.
Peristiwa semacam itu saya alami berkali-kali, dan sayangnya, saya tak kunjung belajar. Tak terhitung sudah berapa orang yang slengekan di linimasa, ia adalah sosok yang begitu alim: menegakkan ibadah dan menggerakkan komunitas-komunitas filantropi untuk masyarakat sekitar. Mereka adalah sosok teladan yang dihormati oleh kehidupan nyata.
Kita layak salah sangka kepada sosok fiktif yang kita lihat sekilas pandang hanya lewat sosial media. Namun, sampai kapan kita bertindak dungu dengan merasa lebih berilmu juga beradab dari sosok-sosok seperti Gusdur, Nurcholish Madjid, Gus Mus, Habib Quraish Shihab, Habib Maulana Luthfi Bin Yahya, Cak Nun, dan yang sedang ramai orang-orang bicarakan: Buya Syafii Maarif? Seringkali, ucapan-ucapan mereka memang baru dapat dipahami bertahun-tahun kemudian setelah fakta terbukti, itupun sebab saking bodoh dan terbatasnya pemahaman kita dibanding luasnya samudera pandang alam pikir mereka. Setidaknya, kita mengakui itu untuk capaian kebijakan Gus Dur atas konflik Aceh serta etnis Tionghoa Indonesia, pemikiran Nurcholish Madjid tentang politik Islam, misalnya.
Seleb-seleb sosial media fiktif itu barangkali masih sah anda prasangkai sebab anda tidak memiliki informasi apapun dan sayangnya tidak ingin melakukan tabayyun atau verifikasi, akan tetapi, untuk mereka-mereka para guru bangsa yang telah terbukti lewat kiprah serta karya yang masih dapat kita baca, atas nama apa kita tanpa malu melayangkan tuduhan macam-macam?
Hari ini, anak-anak muda yang baru tuntas ngaji di emperan kampus dan forum diskusi yang dapat dihitung jari, merasa lebih berpengetahuan atas orang-orang tua yang berpuluh-puluh tahun bergulung buku serta pengalaman. Anak-anak muda itu akan kembali membela diri dengan berkata,”hidayah tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan.” Dan masya Allah, jika saja hidayah dapat kita raih dengan kedunguan, alangkah lebih mengerikannya semesta ini.
Kita terlambat memberikan pendidikan dan pemahaman agama yang baik, benar dan memadai kepada umat. Meskipun demikian, rasa-rasanya belum terlambat dan masih ada harapan. Jika pesantren yang demikian bekerja keras tidak cukup, barangkali kita butuh gerakan mengakar door to door. Jikalau panggung ceramah tidak lagi memadai, barangkali tepat sudah apa yang Cak Nun lakukan puluhan tahun: kiai dan ustadz tidak bisa menunggu jamaah datang, mereka mesti menghampiri!
Doa saya: semoga kita semua mampu menjadi anak muda yang lebih tahu diri.