Air Mata Ustad Yusuf Mansur

Air Mata Ustad Yusuf Mansur

Air Mata Ustad Yusuf Mansur

Derai air mata Ustaz Yusuf Mansur belakangan heboh menghiasai tembok-tembok media sosial yang di sana-sini masih sibuk mendiskusikan surat al-Maidah dan prahara yang menerpa Gubernur Ibu Kota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.

Saya tak tahu persis apakah raut wajah sedih dari sang ustaz itu memang sengaja merespon sikap salah satu intelektual muda NU atau tidak. Karena sejauh yang saya teroka, dalam video berdurasi singkat itu sang ustaz hanya memberi arahan kepada anak-anak remaja untuk menghormati para ulama, tapi tak menyebutkan nama.

Namun, meski tak menyebut nama, publik sudah mengira bahwa video tersebut sengaja di-upload untuk merespon Nusron Wahid yang pada malam harinya berdialog dengan beberapa “ulama berjubah malaikat” dengan memasang mata drakula.

Sang ustaz tampaknya sedih dengan kelakuannya. Karena itu dia berharap kepada anak-anak muda yang lain untuk tak mengikuti cara bicara seperti dia dan yang lebih buruk darinya.

Sebab, sesalah-salahnya ulama, kata ustaz, itu sebenar-benarnya kita. Jadi perlulah kiranya menjaga etika dan tatakrama. Karena dibandingkan mereka, ilmu kita tidak ada apa-apanya.

Pada titik ini tentu saja saya setuju dengan dia. Karena guru saya sendiri—Syekh Yusri—pernah memberi nasihat yang tak jauh berbeda. Bahwa kepada ulama kita harus menjaga etika dan tatakrama.

Kepada ulama kita harus rendah hati dan menundukan kepala karena mereka adalah waratsat al-Anbiya (pewaris para Nabi) yang memiliki kedudukan tinggi di hadapan Yang MahaKuasa.

Tapi saya bertanya-tanya: kira-kira “ulama” berjubah malaikat yang menjadi pembicara dalam acara ILC itu layak dikatakan sebagai ulama atau tidak ya? Itulah, saya kira, pertanyaan penting yang harus kita jawab bersama.

Orang yang bisa merasakan kesejukan ajaran Islam, saya kira, sudah tahu jawabannya. Saya tak tega untuk berkata tidak, karena saya takut menyinggung perasaannya jika tulisan saya ini dia baca. Bisa-bisa dia nanti upload video yang sama.

Apalagi saya bukan ulama. Paling-paling kalaupun saya berkata tidak, orang akan berkata: emang ente siapa? Ilmu ente sudah setara dengan dia sehingga berani meragukan keulamaannya? Begitu kan biasanya kalau ada orang yang mengkritik manusia setengah ulama?

Well, ketimbang saya harus secara terang-terangan berkata tidak, lebih baik kita pikirkan bersama.

Saya hanya heran saja. Potret keulamaan di Indonesia dengan negeri yang kini menjadi tempat tinggal saya rasanya sangat jauh berbeda.

Ulama-ulama di sini senantiasa mengajarkan kesantunan kepada orang yang berbeda, menghormati orang yang berbeda Agama, tak mudah memutuskan sesuatu yang belum teruji kebenarannya, selalu menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin tanpa emosi apalagi berdasarkan rasa curiga, tak mudah menyalahkan perkataan orang kecuali setelah berdialog dengan orang yang mengatakannya.

Tak mudah marah seperti anak Tk, selalu menganjurkan untuk memaafkan orang-orang yang bersalah dan berdosa, dan yang terpenting, mereka senantiasa menjadi payung keteduhan yang menaungi keragaman dan perbedaan yang terjadi di antara kita. Inilah cerminan ulama yang sesungguhnya.

Akhlak semacam ini saya pelajari dari orang-orang seperti Syekh Ahmad al-Thayyib, Grand Syekh al-Azhar, Syekh ‘Ali Gom’a, Mantan Mufti Mesir, Syekh Yusri, Ahli Tasawuf al-Azhar, Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Ahli Filsafat dan Anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar, Muhyiddin ‘Afifi, Ketua Lembaga Riset Keislaman al-Azhar, Syekh Usamah Sayyid al-Azhari, Ulama Muda al-Azhar, Habib ‘Ali, Dai terkemuka asal Yaman, dan ulama-ulama besar lainnya yang betul-betul menerjemahkan ajaran Islam dengan sejuk dan menentramkan rasa.

Kalau dalam konteks Indonesia, sosok-sosok semacam itu bisa kita temukan pada tokoh-tokoh besar seperti yang mulia Prof. Dr. Quraish Shihab, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, KH. Maimoen Zubair, KH Musthafa Bishri, KH. Said ‘Aqil Siradj, Habib Luthfi bin Yahya, dan ulama-ulama lainnya.

Merekalah orang-orang yang, dalam pandangan saya, layak dan pantas untuk dikatakan sebagai ulama. Meskipun, saya yakin, mereka tak akan suka disebut sebagai ulama. Karena seorang ulama yang benar-benar ulama biasanya memiliki ketawaduan yang luar biasa.

Mungkin anda bingung untuk menentukan mana yang ulama dan mana yang bukan ulama. Hmm, oke. Sekarang begini saja. Coba basuh muka anda dan perhatikan, ada tidak dari nama-nama besar yang saya sebutkan di atas yang berfatwa bahwa dalam hukum Islam Ahok itu harus dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya, dan keluarkan dari bumi Indonesia sebagai tempat dia lahir dan tempat dia dibesarkan oleh ayah dan ibunya?

Ada tidak di antara mereka yang melarang Ahok untuk memimpin Ibu Kota Jakarta? Ada tidak di antara mereka yang berani berkata bahwa Ahok telah menghina dan menistakan kitab suci kita? Ada tidak di antara mereka yang marah-marah dan bermain kata nista?

Ada tidak di antara mereka yang tetap bersikeras bahwa Ahok harus tetap dihukum meskipun dia sudah meminta maaf kepada umat Islam Indonesia? Ada tidak di antara mereka yang berkoar-koar mewaspadai umat Islam bahwa Ahok adalah orang Cina yang bisa menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia? Ada tidak? Ada tidak yang melakukan itu semua?

Saya sih sejauh ini belum menemukan tuh. Dan ini semakin menunjukan bahwa mereka benar-benar ulama, yang harus kita hormati dan kita muliakan karena mereka memiliki kedudukan yang mulia di mata Allah dan Rasul-Nya, seperti nasihat ustaz kita.

Nah, kepada Ustaz Yusuf Mansur, yang saya hormati. Saya ingin menyampaikan beberapa catatan atas sikap ustaz yang kemarin sempat meng-upload video singkat di sosial media. Mungkin videonya sudah dihapus, tapi dampaknya sampai sekarang masih terasa.

Ustaz, sekiranya yang ustaz tangisi itu adalah anak muda yang kurang ajar kepada orang-orang yang benar-benar layak dikatakan sebagai ulama, seperti mereka, tangisan ustaz itu sungguh akan sangat bermakna dan menjadi pelajaran penting bagi kita.

Dan bukan hanya ustaz, saya dan yang lain pun juga bisa sedih dan berderai air mata. Karena kalau itu terjadi, ustaz, tentu hal itu menjadi pertanda bahwa generasi muda kita haus akan tuntunan etika.

Tapi ya insya Allah lah, saya tidak akan upload video ke facebook, instagram dan media sosialnya sejenisnya. Lebih baik saya menumpahkan air mata di atas sajadah ketimbang harus mempublikasi air mata dengan raut wajah sedih di hadapan saudara-saudara kita.

Maklum, ustaz, iman saya tak sekuat ustaz. Saya tahu betul kesalehan ustaz dan tidak mungkin orang seperti ustaz terjangkit perasaan riya dan sejenisnya. Kalau saya yang keimanannya masih setipis kaca ini ya mungkin bisa saja.

Bahkan nangis pun saya belum tentu bisa. Karena hati saya masih keruh dan bergelimang dosa. Apalagi amalan saya, yang kalau dibandingkan dengan amalan-amalan ustaz jelas tak akan ada artinya.

Dan satu lagi, ustaz, maaf, junjungan kita, Rasulullah Saw, senantiasa mengajarkan kita untuk berbaik sangka kepada sesama. Dan mas Nusron itu adalah saudara kita juga yang kehormatannya tak kalah terhormat ketimbang kehormatan orang-orang yang ustaz pandang sebagai ulama. Kalau kita ingin mentaati ajaran Nabi kita, kita harus berbaik sangka kepada dia ustaz.

Matanya tampak seperti drakula, tapi bisa jadi hatinya lembut selembut kain sutera.

Matanya melotot seperti orang murka, tapi bisa jadi dia murka karena merasa bahwa tenunan NKRI akan terancam dengan ulah orang-orang yang antum pandang sebagai ulama.

Cara bicaranya mungkin tampak tak beretika, tapi bisa jadi di luar acara dia takzim kepada ulama.

Apalagi mas Nusron sendiri sudah berterus terang bahwa dia tak bermaksud kurang ajar kepada “ulama” (Saya kasih dua tanda petik loh ustaz karena hati saya masih berat untuk mengakui keulamaan mereka), tapi karena memang begitulah kodratnya.

Coba bayangkan, ustaz, dengan cara meng-upload video ke media sosial, seperti facebook, instagram dan sejenisnya, para pengikut ustaz akan semakin kagum kepada ustaz yang di mata mereka ustaz dipandang sebagai ulama yang betul-betul prihatin kepada nasib generasi anak muda.

Tapi tahu tidak, ustaz, akibatnya apa? Antum dipandang mulia di mata mereka, tapi saudara kita, mas Nusron, dipandang sebagai orang yang beretika. Padahal, dia memang begitu raut wajahnya kalau bicara. Bukan bermaksud kurang ajar kepada ulama.

Tapi karena setelah melihat video ustaz, opini publik menjadi buruk; mereka memandang bahwa mas Nusron adalah orang yang tak beretika.

Ya memang ustaz tak secara tegas menyebutkan nama. Tapi video ustaz kebetulan di-upload setelah mas Nusron tampil di acara. Akhirnya apa? Orang jadi berburuk sangka kepada dia. Dan saya tak tega. Meskipun mas Nusron mungkin santai-santai saja.

Sedih tidak ustaz melihat saudara kita, mas Nusron, dianggap sebagai orang yang tak beretika kepada ulama, padahal dia sendiri tak bermaksud demikian kepada mereka?

Sedih tidak ustaz melihat salah seorang “ulama” dengan jubah dewa dan mengatas-namakan hukum Agama kita berkata bahwa Ahok—yang juga ciptaan Allah Swt—harus disalib, dipotong tangan dan kakinya, bahkan diusir dari bumi Indonesia, padahal dia sudah minta maaf kepada kepada kita?

Sedih tidak ustaz melihat sebagian saudara-saudara kita yang mudah marah dan mudah menistakan orang yang berbeda Agama?

Sedih tidak ustaz melihat sebagian saudara-saudara kita yang suka menggunakan ayat-ayat suci untuk bertahta dan berkuasa?

Saya bukan sedih ustaz. Saya pengen marah.

Saya muak melihat ajaran yang penuh dengan kebencian dan kata-kata nista.

Saya tak rela ajaran Rasulullah Saw yang mulia dinodai oleh keluncas-pahaman orang-orang yang berthata di Majlis Ulama Indonesia.

Ajarkanlah mereka akan pentingnya berbaik sangka kepada sesama. Dan ajarkanlah mereka kedewasaan dalam menerima perbedaan tafsir yang terjadi di lingkungan kita. Semoga Allah Swt mengampuni semua dosa-dosa kita. []

Muhammad Nuruddin, Mahasiswa Ushuluddin, Dept. Akidah-Filsafat, Univ. Al-Azhar, Kairo, Mesir