Suatu ketika KH. Hasyim Asy’ari melakukan strategi diplomasi dengan Jepang, padahal sebelumnya ia sempat ditawan dan disiksa oleh militer negara samurai itu. Bahkan kemudian Hadratussyaikh diangkat menjadi kepala Shumubu (semacam departemen agama). Langkah itu, dinilai oleh banyak kalangan, bahkan dari internal umat sendiri, sebagai bentuk ketundukan terhadap Jepang si Penjajah, beliau dikecam di sana-sini oleh mereka yang tak memiliki strategi perjuangan yang visioner, karena cara pandang yang hitam-putih.
KH. Hasyim Asy’ari yang berhati besar, rela menjadi bulan-bulanan, demi memenangkan perjuangan yang akhirnya berhasil diraih kemudian; kemerdekaan sebagai hasil perjuangan bersama. Beliau sendiri wafat selang beberapa saat setelah Indonesia merdeka.
Dalam kasus konflik Israel-Palestina, Gus Dur yang giat terlibat dalam upaya menuju rekonsiliasi dua negara itu, juga melakukan strategi diplomasi. Beliau beberapa kali berkunjung ke Israel dan pernah didaulat menjadi pembicara di Kongres Yahudi. Karena langkahnya itu, Ia dikecam oleh saudara-saudara seagamanya sendiri, dan bahkan dituduh sebagai antek-antek Yahudi. Lalu setelah itu, sebuah jalan baru terkait relasi Islam-Yahudi terbentang, beberapa tokoh Islam Indonesia seperti Din Syamsuddin dan Imam Shamsi Ali (New York) turut menjadi bagian dari ikhtiar perdamaian itu. Hasilnya, sangat positif!
Kemarin, KH. Yahya Cholil Staquf (Khatib ‘Aam Syuriah PBNU), diundang untuk berbicara dalam forum yang diselenggarakan American Jewish Committee (AJC), beliau menyampaikan pentingnya mengarusutamakan upaya-upaya damai (dialog) dalam penyelesaian konflik. Beliau lalu memberi kata kunci “Rahmah”, sebagai hal yang harus dimiliki oleh semua orang untuk meniti jalan menuju keadilan dan perdamaian.
Apakah Kiai Yahya luput dari kecaman karena menjadi pembicara tamu dalam acara orang-orang Yahudi itu? Silahkan melihat respons dan reaksi netizen di medsos. Yang pasti, signifikansi upaya-upaya diplomasi dan dialog dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina akan kita saksikan di tahun-tahun mendatang.
Ikhtiar menuju penyelesaian konflik Israel-Palestina dan krisis kemanusiaan di sana, tentu bukanlah pekerjaan mudah, bahkan hal itu teramat sulit. Mengingat peliknya persolan karena konstalasi politik di ke dua belah pihak. Tidak sedikit (untuk tidak mengatakan kebanyakan) orang, dalam hal ini umat Islam, atas dasar solidaritas keagamaan (ukhuwah Islamiyah), menyerukan cara-cara penyelesaian dengan perang terbuka, menyetir potongan ayat Al-Qur’an yang mengabarkan “takdir” permusuhan Yahudi dan Islam.
Strategi diplomasi yang telah dititi oleh Gus Dur dan kini Kiai Yahya, memang adalah jalan sunyi. Apalagi di era menguatnya politik identitas, suara-suara anti yang menegasi dan aspirasi-aspirasi reaktif yang kontra-produktif akan lebih dipilih. Tinggal bagaimana kita tak berhenti untuk terus belajar dari pengalaman-sejarah, turut menyuarakan aspirasi-aspirasi untuk rekonsiliasi, semasif yang kita bisa. Agar yang tampak ke dunia bukan hanya wajah Islam yang marah, tetapi juga wajah Islam yang rahmah. Kita marah atas tragedi kemanusiaan di Palestina, namun apakah upaya penyelesaiannya harus juga dengan marah-marah?
“Gus Dur telah membuka jalan, kini saatnya kita melanjutkan”.