Ali bin Husain, atau biasa dipanggil As-Sajjad, anak buyut Nabi Muhammad saw rutin memanjatkan doa untuk orang yang pernah menyiksanya, mencaci maki kakeknya Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar Jumat
Bahkan Ia juga memohonkan maaf dan ampunan bagi orang-orang yang telah membunuh dan mengeroyok ayahnya dengan keji di Karbala , juga menyiksa para keluarga Nabi dan pengikutnya dengan kejam menyeretnya dalam rangkaian rantai besi dari Karbala, Kufah, sampai ke Damaskus.
Pasca-Karbala, tahun 61 Hijriah, As-Sajjad diseret beserta keluarganya menempuh sahara panjang dalam keadaan terbelenggu. Perjalanan panjang itu ditempuh penuh penderitaan, kelaparan, dan kehausan.
Kira-kira lima tahun kemudian, adalah seorang Mukhtar Al-Tsaqafi memimpin gerakan rakyat untuk menggulingkan para tiran. Ia memburu pasukan yang dahulu terlibat dalam pembantaian Karbala.
Dalam kepanikan mencari perlindungan terdekat, salah seorang di antara mereka mengetuk pintu rumah As-Sajjad. Ia membuka pintu dan segera mengenalinya. Inilah orang yang dahulu menahan air darinya, menendang cawan air dari hadapannya.
Ia mempersilakannya masuk. Tidak seperti sikap mereka ketika ia meminta air minum karena kehausan yang mencekiknya, As-Sajjad melayaninya dengan baik. Orang itu tidak mengenali tuan rumah karena sorban menutup mukanya. Ia bertanya, “Siapakah engkau? Begitu baik melayaniku!”
Ali menjawab, “Lupakah engkau kepadaku.” Ia singkapkan lengan bajunya dan menampakkan bekas belenggu di pergelangan tangannya, “Akulah Ali bin Husain”
As-Sajjad telah memberi contoh bagaimana jalan maaf itu telah menyembuhkan.