Suatu petang di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan. Roni berdiri di bawah pohon tak jauh dari jembatan penyeberangan jalan. Menunggu bus kota. Saya berdiri semeter di sebelah kiri Roni.
Saya dan Roni terikat obrolan lantaran ulah pengendara motor. Ups, ini bukan soal cara pengendara mengemudikan motornya yang ugal-ugalan. Tapi karena jaket yang dia pakai.
Jaket hitam itu tertulis di bagian punggung “Calon Jenazah”. Busyet…, mungkin itu komentar orang yang baru melihat jaket itu. Tapi Roni, tidak berkata demikian. Dia tak kaget tapi salut.
“Hebat juga die, hanya dengan jaket bisa (melakukan) kampanye penyadaran teologis,” ucap Roni dengan lentong Betawinya. Ujaran itulah yang membuat saya ingin berkenalan dengan dia. Kami bertegur sapa, saling bertanya nama. Roni melanjutkan gerundelannya tentang jaket si pengendara. “Semoga orang-orang yang melihat jaket itu sadar bahwa kita manusia adalah calon jenazah,” ceplos Roni enteng.
Saya bertanya kepada Roni. “Abang yakin orang akan tersentuh hatinya saat menoleh ke arah bacaan tadi?” Roni berharap demikian. Dia terus nyerocos bak seorang sufi yang meratapi kehidupan manusia era kini. Menurut pendapat dia, zaman sekarang orang semakin sibuk dengan urusan duniawi hingga lupa Tuhan, abai batas usia.
Saya meneruskan pertanyaan. “Bang Roni yakin si pengendara tadi betul-betul sadar akan kematian?”
“Inilah Bang…,” kata Roni, “Ane khawatir jangan-jangan tuh orang cuma ingin tampil beda. Supaya dilihat keren oleh orang.” Wah, ujar Roni kemudian, kalo niatnya kayak gitu boro-boro kampanye teologis, malah bisa-bisa nyumpahin diri sendiri cepet mati.