Menyambut hari lingkungan sedunia kita dihadapkan pada kerusakan lingkungan hidup yang semakin memburuk. Isu lingkungan merupakan isu yang harus selalu disuarakan, khususnya terkait kebijakan pemerintah untuk memberi izin tambang kepada ormas agama. Kebijakan tersebut disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama. Ia menyatakan bahwa pemerintah akan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Batu Bara kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pemerintah memberikan izin tambang kepada ormas sebagai tanda terima kasih karena sudah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Namun yang perlu diwaspadai adalah dampak buruk dari kebijakan tersebut. Semoga hal ini bisa menjadi pertimbangan bagi ormas keagamaan. Memang di satu sisi kebijakan ini akan memberikan keuntungan finansial terhadap ormas keagamaan. Mereka dalam mengelola tambang dan mengelola dana organisasi secara mandiri. Tapi di sisi lain, ormas tetap perlu hati-hati dalam menerima kebijakan tersebut mengingat masih banyaknya konflik agraria yang belum selesai.
Dikutip dari Mongabay.com (2024), sepanjang tahun 2023, tambang telah menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektar lahan, dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang. Konflik agraria telah merugikan masyarakat yang tinggal di lokasi tambang. Bukan hanya itu, dampak pembangunan tambang juga merusak lingkungan yang tidak akan bisa pulih dalam waktu singkat.
Dampak dari pertambangan bagi lingkungan akan mengubah keseimbangan ekologi, mencemari air, udara, serta buangan zat-zat beracun, gempa, tanah longsor, ledakan tambang, dan keruntuhan tambang. Pertambangan juga memiliki dampak bagi manusia, dari pencemaran lingkungan akan menimbulkan ancaman bagi kesehatan. Dampak lainnya merusak ekosistem dan mengancam kepunahan flora dan fauna.
Maraknya konflik agraria menjadi simbol ketidakberpihakan negara terhadap lingkungan sebagai tempat masyarakat tinggal. Ketidakberpihakan negara memberikan pandangan tendensius terhadap perangkat negara dengan menghalalkan pembangunan tambang. Kenyataannya hal ini merupakan bentuk penindasan agraria yang merusak lingkungan. Etika Eco Religion Culture sangat penting kehadirannya, untuk menggunakan hubungan diri dengan alam dengan pendekatan budaya dan nilai-nilai agama.
Alam merupakan sumber daya pemberian Allah SWT yang perlu dijaga kelestariannya seperti dalam penggalan ayat berikut:
وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Artinya:
“Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS: Al-Baqarah ayat 205).
Ibnu Abbas menafsirkan surat di atas bahwa Allah tidak meridhai orang-orang yang merusak alam, hewan, dan tumbuhan. Manusia yang merusak alam dan isinya dianggap telah melakukan kemaksiatan sosial. Eksploitasi alam merupakan bentuk keserakahan dan kezaliman kepada seluruh ciptaan Allah SWT.
Untuk mencegah adanya kerusakan yang akan terjadi kepada alam, maka dari itu saya menyajikan etika Eco Religion Culture. Dalam melihat kebijakan izin pertambangan bagi ormas keagamaan seharusnya surat Al-Baqarah ayat 205 menjadi acuan utama dalam mengambil keputusan. Ayat tersebut juga merujuk etika dasar bagi etika Eco Religion Culture yang menimbang dampak dari tindakan pertambangan.
Pada kacamata Eco Religion Culture, kita perlu mengedepankan etika terhadap alam dan sesama makhluk hidup lainnya. Saat ini yang penting dipikirkan bukan mengenai eksploitasi untuk meraup keuntungan semata, akan tetapi dampak apa saja yang bisa merusak ekosistem. Masyarakat umum sangat memerlukan ajaran dari ormas tentang bagaimana memperlakukan alam dengan baik.
Baca juga: Menimbang Risiko dan Kontroversi Kebijakan Tambang Jokowi dan Upaya Kooptasi Ormas Keagamaan
Saya berharap bahwa ormas keagamaan berpikir untuk mengubah cara pandang dari Antroposentris menjadi Ekosentris. Manusia bukanlah elemen paling penting di dunia (Antroposentris), saat ini dibutuhkan integrasi antara komunitas makhluk hidup dan makhluk tidak hidup (Ekosentris). Tidak melihat alam sebagai komoditas yang harus dieksploitasi akan tetapi melihat alam sebagai organ tubuh mereka.
Seperti yang kita ketahui ormas keagamaan memiliki dampak yang luar biasa bagi setiap jamaahnya. Dengan banyaknya jamaah mampu menggerakkan opini dan tindakan jamaahnya tergantung perintah dari ormas keagamaan. Sebaiknya ormas keagamaan bisa bijak dan tidak menggunakan Agama dalam membujuk masyarakat untuk mengelola pertambangan sebagai satu-satunya jalan untuk mensejahterakan masyarakat.
Alam tidak mampu memperbaiki dirinya sendiri, alam memerlukan kita sebagai makhluk hidup yang bisa memeliharanya. Semua agama pasti mengajarkan etika Eco Religion Culture tentang bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan alam. Karena kita masih membutuhkan air bersih sebagai alat menyucikan diri untuk beribadah dan kita juga masih membutuhkan bumi untuk kita tinggali.
Saya berharap penuh kepada para ormas keagamaan sebaiknya mempertimbangkan kembali mengenai penerimaan atas izin tambang kepada ormas. Pertambangan bukan satu-satunya jalan untuk mensejahterakan rakyat. Rawatlah alam sebagaimana sang pencipta Allah SWT memberikan amanatnya kepada manusia. Buatlah alam terpelihara hingga keturunan kita bisa menikmati keindahan alam yang masih tersisa ini.