Dalam artikel “Isu Tambang, Antara Ideologi dan Fikih” (terbit di harian Kompas, 20/6), sebagai analis politik, Ulil Abshar Abdalla berusaha menguraikan kontroversi seputar konsesi tambang untuk ormas keagamaan.
Ia melihat kedua kelompok yang pro dan kontra terhadap kebijakan itu dengan perbandingan antara ideologi dan fikih. Walaupun analisis ini menawarkan sudut pandang menarik, ada beberapa alasan mengapa perbandingan antara ideologi dan fikih dalam konteks ini tidak relevan dan berpeluang menyesatkan pemahaman publik awam.
Dalam artikelnya, Ulil menggambarkan mereka yang menolak kebijakan konsesi tambang untuk ormas keagamaan sebagai kelompok yang memandang isu tambang melalui kacamata ideologis yang kaku dan hitam putih. Sebaliknya, ia memosisikan komunitas (PB)NU sebagai kelompok yang menggunakan pendekatan fikih yang lebih terbuka dan fleksibel.
Pandangan itu tidak sepenuhnya tepat. Ideologi lingkungan bukanlah dogma yang kaku dan sempit. Ideologi lingkungan didasari prinsip-prinsip ilmiah yang telah terbukti tentang dampak eksploitasi alam terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Dengan mengabaikan basis ilmu pengetahuan ini, Ulil justru mereduksi kompleksitas masalah lingkungan menjadi sekadar isu ideologis yang sempit.
Pendekatan fikih yang digunakan para kiai NU, menurut Ulil, memperhitungkan maslahat dan mafsadat—kebaikan dan kerusakan. Jika demikian, bisa dikatakan kalkulasi fikih telah keliru memperhitungkan maslahat dan mafsadat konsesi tambang.
Sebab, terbukti secara luas bahwa tambang berkontribusi besar terhadap mafsadat atau kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat (adat). Fikih mungkin menawarkan fleksibilitas dalam menghadapi situasi kompleks, tetapi apakah dengan demikian Ulil sedang mengatakan bahwa fikih telah gagal menggunakan data ilmiah dan ekologi yang kritis dalam pengambilan keputusan?
Perlu Analisis Mendalam
Masalah lingkungan memerlukan analisis mendalam dan berbasis bukti, mengatasi pertimbangan maslahat yang mungkin subjektif dan terikat oleh kepentingan jangka pendek. Aspek maslahat harus didukung data yang bisa dipertanggungjawabkan, dan maslahat bisa dikaji kembali, kepada siapa kelompok atau pihak yang paling diuntungkan? Apakah selama ini warga yang terdampak secara langsung mendapat maslahat lebih besar, atau sebaliknya?
Ulil mencoba memisahkan masalah lingkungan dari konteks global dan eksistensial dengan menganggapnya sebagai masalah khilafiah yang terbuka perbedaan pandangan.
Padahal, isu lingkungan seperti perubahan iklim dan kerusakan ekosistem adalah masalah yang melampaui batas-batas nasional dan agama. Ia adalah ancaman eksistensial yang memerlukan tindakan kolektif dan terpadu berdasarkan konsensus ilmiah global.
Dalam Perjanjian Paris (2015), misalnya, Indonesia menjadi salah satu penandatangannya. Perjanjian itu berisi, salah satunya, batasan kenaikan suhu global hingga di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Dan, dengan membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius Negara para peserta harus mengurangi emisi gas rumah kaca, yang mencakup pengurangan penggunaan batu bara sebagai sumber energi.
Atau pada COP26 dan COP27. Dalam konferensi-konferensi ini, ada dorongan kuat negara-negara, termasuk Indonesia, mempercepat transisi dari penggunaan batu bara ke energi terbarukan.
Pada COP26 di Glasgow, Indonesia juga menyatakan komitmen menghapuskan penggunaan PLTU batu bara secara bertahap mulai tahun 2040 dengan dukungan keuangan dan teknis internasional.
Juga, dalam pertemuan G20, termasuk yang diadakan di Italia 2021 dan di Indonesia pada 2022, terdapat tekanan bagi negara-negara anggota mengurangi subsidi bahan bakar fosil dan mempercepat transisi energi bersih yang mengikat secara etik.
Terakhir dalam Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). ASEAN telah mengembangkan rencana aksi energi mencakup peningkatan penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi, secara tidak langsung dapat mengurangi ketergantungan batu bara di negara-negara anggota, termasuk Indonesia.
Maka, menyederhanakan masalah ini menjadi seolah perdebatan fikih domestik justru bisa mengalihkan pandangan publik terhadap pokok, urgensi, dan skala masalah yang sebenarnya.
Kepentingan Ekonomi-Politik
Dalam tulisannya, Ulil juga sangat jelas mengabaikan kepentingan ekonomi dan politik yang tersembunyi di balik kebijakan tambang. Padahal, tulisannya di harian Kompas jelas mendaku sebagai analis politik namun tidak menyentuh aspek tersebut.
Penerimaan (PB)NU terhadap kebijakan tambang pemerintah mungkin tidak sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan fikih, tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti keuntungan ekonomi dan hubungan politik yang seharusnya bisa dieksplorasi.
Dengan memfokuskan perdebatan pada ideologi versus fikih, Ulil gagal mengkritisi aspek-aspek tersebut yang sejatinya sangat relevan dalam memahami mengapa sebuah kebijakan diambil dan didukung oleh ormas keagamaan tertentu.
Dan, yang tidak kalah serius adalah Ulil menggunakan (PB)NU untuk menuduh para pihak yang melakukan kritik sebagai vilifikasi (mempersetankan) dengan pendekatan ideologis.
Padahal, kritik terhadap kebijakan tambang NU bukan semata-mata tentang perbedaan ideologi, tetapi juga upaya pencegahan atas serangkaian peristiwa faktual terhadap dampak lingkungan dan sosial yang merugikan. Menyederhanakan kritik ini sebagai serangan ideologis justru merupakan upaya pengabaian validitas data dan urgensi dari kekhawatiran tersebut.
Lebih dari itu, membandingkan ideologi dan fikih dalam konteks isu tambang, seperti yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla, adalah pendekatan yang tidak relevan dan berpotensi menyesatkan.
Pandangan Ulil mengabaikan kompleksitas dampak dan masalah lingkungan, mereduksi pentingnya data ilmiah, dan mengabaikan kepentingan ekonomi dan politik yang tersembunyi.
Isu tambang adalah masalah global yang membutuhkan analisis kritis dan berbasis bukti, lebih dari perdebatan fikih yang berpotensi subyektif. Dengan demikian, perbandingan ini gagal memberikan pemahaman mendalam dan holistik mengenai kontroversi kebijakan tambang di Indonesia. Semoga bermanfaat dan selamat dunia akhirat.