Sebenarnya taktik-taktik ini sudah dipakai pada saat Pilpres kemarin. Waktu itu pihak kampanyenye Jokowi menakut-nakuti bahwa kalau memilih lawannya maka Indonesia akan dikuasai oleh Islam radikal.
Sementara kubu lawannya juga tidak segan-segan memakai mantel yang dituduhkan. Tanpa tedeng aling-aling kubu Prabowo mengenakan baju Islam. Dia tahu persis bahwa Jokowi bisa dikalahkan dengan memakai isu Islam.
Kampanye ini sangat efektif. Untuk kedua belah pihak. Pihak minoritas ketakutan seperti orang berak dicelana. Pastur-pastur Katolik tanpa tahu malu mengkotbahkan kehancuran umat Katolik kalau memilih Prabowo. Pendeta-pendeta Protestan idem ditto. Di Bali isu identitas Hindu diteriakkan sedemikian rupa.
Suara kaum minoritas 90% lari ke Jokowi. Demikian pula dengan Prabowo. Dia sangat efektif memainkan isu identitas ini. Islam akan jaya dibawah kepresidenannya. Dukungan kaum Islam konservatif kepada Prabowo hampir sama seperti dukungan Kristen fundamentalis di Amerika terhadap Trump.
Saya perlu mengingatkan ini kembali karena kampanye model ini dipakai kembali. Terutama oleh pihak yang menang pemilu. Terutama untuk meloloskan agenda mereka yang dulunya mereka sembunyikan dari pemilih.
Apa yang kita lihat dalam beberapa minggu terakhir ini adalah sebuah pertunjukan dari sebuah taktik politik yang sama. Ini sama sekali tidak mengejutkan untuk saya. Belajar dari pengalaman, saya yakin seyakin-yakinnya periode kedua dari sebuah kepresidenan akan dipenuhi oleh korupsi. Presiden tidak akan menghadapi pemilihan lagi. Baik dia maupun pendukungnya tahu persis itu. Ini adalah periode berpesta tanpa perlu harus mencuci piring sesudahnya dan menghitung beaya-beaya pesta.
Sama seperti pada saat Pilpres, taktik awalnya adalah mengeruhkan air. Orang-orang sederhana tidak disodorkan rasional-rasional yang jernih. Sebaliknya mereka disodorkan fakta-fakta yang sudah sangat terdistorsi. Saya mendapat banyak pertanyaan dari kolega dan sahabat saya. Sesungguhnya debat KPK itu bagaimana sih? Katanya KPK dikuasai oleh Taliban ya?
Cara para pendukung Jokowi mengeruhkan air ini sungguh efektif. Ketika kebingungan itu semakin mendalam, mereka keluar dengan solusi bahwa KPK harus diawasi. Bahkan saya melihat satu spanduk besar di sebuah stasiun kereta di Senayan yang berbunyi kira-kira, “KPK ternyata tidak bersih-bersih amat. Audit KPK lolos dengan wajar dengan pengecualian.”
Ada sebagian pendukung Jokowi dulunya adalah aktivis-aktivis anti-korupsi juga. Mereka pun sesungguhnya kebingungan juga. Namun, alih-alih menunjuk dengan tegas bahwa Jokowi ada dalam persekutuan untuk melemahkan pemberantasan korupsi, mereka menunjuk pada ‘pembisik’ atau ‘para pembantu yang tidak becus.’
Seolah-olah Jokowi adalah presiden yang tidak berdaya. Dia orang baik yang dikelilingi oleh para penjahat. Dia adalah tawanan. Jadi selama ini kita memilih tawanan? Pada 2014 lawannya pernah menuduh Jokowi hanyalah wayang (puppet). Agaknya pendukung-pendukung fanatik Jokowi yang tidak mau presidennya salah malah mengamini tuduhan itu.
Jokowi adalah Presiden Republik ini. Dia bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi di Republik ini. Itulah sebabnya dia dimuliakan dengan segala macam. Dia tidak bisa hanya mengambil kemuliaannya saja tanpa menyelesaikan kerumitan yang terjadi di Republik ini.
Tanggungjawabnya berat. Dia harus menghadapi pejabat-pejabat yang korup; pembantu yang ABS (Asal Bapak Senang); para peniilat di setiap tikungan; para bawahan yang membangkang, para politisi yang berusaha menjebak di setiap tikungan, dan lawan-lawan politik yang berusaha menjatuhkannya.
Itu adalah bagian dari kepresidennya. Untuk itulah dia dibekali dengan beberapa istana yang megah; dia dikawal dengan ribuan prajurit terbaik, dilayani dengan segala hal terbaik yang ada di negeri ini. Dia bahkan dibekali dengan satu pesawat khusus.
Saya teringat pada sebuah interview dengan presiden AS Barack Obama. Dia ditanya apa yang paling penting dari tugasnya sebagai presiden? Jawabnya adalah dia membuat keputusan yang menyangkut hidup orang banyak. Dia sadar sekali bahwa keputusannya tidak hanya dirasakan dinegaranya. Tapi juga di luar negeri. Namun, yang ironis adalah bahwa dia sama sekali tidak berdaulat atas keputusan-keputusan pribadinya. Dia tidak lagi menentukan apa yang dia makan. Bahkan pakaiannya pun dipilihkan orang lain. Dia tinggal memakai.
Jadi, berhentilah memaklumi Jokowi dan mendudukkan dia hanya sebagai tawanan yang tidak berdaya. Dia presiden. Titik. Dia adalah orang yang harus diminta pertanggungjawaban mulai dari kebakaran hutan, gejolak politik di Papua, pelemahan KPK dan penguatan para politisi dan konglomerat hitam di negeri ini.
Melihat taktik politik yang dimainkan, saya tidak sedikitpun meragukan bahwa Jokowi harus bertanggungjawab atas semua ini.
Dia presiden. Dia bukan boneka Pinokio!