Salah satu berita yang sempat viral selain riuh rendah seputar reuni 212 dan Gus Muwafiq yang dituduh melecehkan Nabi adalah dugaan radikalisme kepada salah satu direksi BUMN. Kementerian yang dipimpin oleh Erick Tohir tersebut kembali menjadi perhatian publik. Bukan lagi soal otak-atik direkturnya, sabab musababnya tak lain karena salah satu direkturnya diduga terpapar radikalisme. Adalah Hirwandi Gafar direktur PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN yang jejak digitalnya di facebook ramai menjadi perbincangan netizen di sejumlah platform media sosial.
Di Twitter tersebar potongan gambar dari laman akun Facebook yang diduga milik Hirwandi Gafar pada 23 Mei 2017. Dalam status facebooknya, sang pemilik akun mengunggah postingan “Gerakan 7 juta status. Kami percaya Ulama dan mendukung perjuangannya. Jangan dishare tapi di copy, agar tembus 7 jt. VIRALKAN !!! #Gerakan7jutastatus”
Tak lupa, dalam postingannya pemilik akun menyertakan foto Habib Rizieq dengan tulisan, “Kami Percaya Ulama, Habib Rizieq dan Mendukung Perjuangannya.” Potongan gambar status Facebook yang diduga milik Hirwandi Gafar tersebut oleh netizen disandingkan dengan curriculum vitae-nya sebagai Direktur Consumer and Commercial Lending BTN. CV Hirwandi dengan logo BTN di sebelah kanan atas yang menjadi viral tersebut di antaranya berisi informasi tempat dan tanggal lahir, pendidikan, dan pengalaman kerjanya. Postingan di Twitter itu pun menjadi viral sejak jumat kemarin hingga kini.
Kementerian BUMN merespon informasi tersebut dengan cepat. Arya Sinulingga Staff khusus Kementerian BUMN menyatakan bahwasannya berita tersebut tidak benar. Hirwandi Gafar masih setia dengan Pancasila lanjutya. Terlepas apakah informasi tersebut benar atau salah, diksi radikalisme yang akhir-akhir ini cukup sering digunakan dalam ranah percakapan publik di Indonesia menarik untuk ditinjau ulang.
Banyak fihak mengidentikkan radikalisme dengan Islam meskipun sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak tepat, mengingat Islam adalah agama yang membawa pesan perdamaian, jauh dari orientasi gerakan radikal yang menggunakan pendekatan kekerasan dan frontal untuk mencapai tujuan. Lalu pertanyaannya benarkah radikalisme identik dengan Islam, ataukah sebenarnya ia lebih identik dengan Islamisme. Jika begitu, lalu apa sebenarnya perbedaan Islam dengan Islamisme?
Sebelum mengurai lebih jauh persoalan tersebut penting bagi kita untuk memahami secara clear and distinct tiga istilah kunci di atas (Islam, Islamisme, radikalisme). Bassam Tibi dalam bukunya Islamism and Islam dengan tegas menarik garis pemisah antara ketiganya.
Islam berkaitan dengan kepercayaan baik pada Allah maupun rasulnya tentu dengan berbagai rukun dan amaliah turunannya. Sebagai kredo keimanan, cara beribadah dan kerangka etis, meskipun Islam menyiratkan nilai-nilai politis tertentu namun Islam samasekali tidak mensyaratkan suatu tatanan pemerintahan khusus.
Sementara Islamisme, meskipun tampak religius, akan tetapi ia lebih terkait dengan tatanan politik, dan bukan semata Iman, lebih tepatnya politik yang diagamaisasikan. Agamaisasi politik di sini berarti promosi atas suatu tatanan politik yang dipercaya beremanasi dari kehendak Allah dan bukan kedaulatan rakyat.
Islamisme lanjutnya, selain merupakan respons politik-budaya terhadap krisis atas kegagalan pembangunan pascakolonial di berbagai masyarakat Islam yang berada di bawah kondisi globalisasi, juga sebagai tanggapan atas degradasi moral masyarakat yang mereka tuding sebagai dampak dari globalisasi. Singkatnya, menurut Tibi, Islamisme bisa diidentifikasi sebagai sebuah ideologi yang menghubungkan antara din (agama) dan daulah (negara).
Adapun radikalisme yang sering dikaitkan dengan Islam memiliki irisan definisi yang berbeda lagi, bahkan dengan Islamisme sekalipun. Oleh karena itu, istilah “Islam radikal” yang memberi kesan untuk makna Islamisme, adalah menyesatkan. Islamisme punya irisan simpatisan yang sama dengan radikalisme, namun Islamisme tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan radikalisme (baca: menggunakan pendekatan kekerasan fisik). Sama juga dengan penggunaan istilah “Islam moderat” untuk mengidentifikasi para Islamis yang tidak menggunakan pendekatan kekerasan dalam mengejar cita-citanya (negara Islam).
Bassam Tibi mengajukan dua istilah yang berbeda dalam konteks pengertian Islamisme tersebut. Yang pertama ia sebut sebagai golongan “Islamis institusional”. Kelompok yang pertama ini memiliki keyakinan bahwa Islam datang dengan membawa perangkat bernegara yang Islami (baca: Khilafah) sehingga mereka pun memiliki komitmen kolektif untuk menciptakan tatanan dunia baru dengan sistem pemerintahan Islam dan di saat yang sama menolak sistem pemerintahan non Islam termasuk demokrasi.
Hanya saja kelompok yang pertama ini tidak menggunakan pendekatan radikal. Mereka lebih banyak bertindak selaku simpatisan dan biasanya menyamarkan identitasnya secara publik, meskipun banyak juga yang meluapkan emosionalitas gerakannya yang tak terbendung melalui media sosial.
Yang kedua adalah “Islamis Jihadis”. Kelompok yang kedua ini dapat dikatakan sebagai kantung-kantung jihadi-takfiri. Sama dengan kelompok yang pertama, “Islamis Jihadis” juga mengusung agenda politik tatanan dunia baru dengan sistem pemerintahan Islam, namun dengan pergerakan yang lebih ekstrem dan radikal. Gerakannya biasanya menuduh kafir terhadap muslim lainnya yang tidak sepergerakan dan sepandangan dengan mereka. Tidak cukup sampai di situ, kelompok yang kedua ini, menurut Tibi, juga memiliki doktrinasi kekerasan fisik disertai dengan legitimasi teologis atas aksinya.
Munculnya gerakan Islamic State Iraq Syiria (ISIS) yang memakai bendera bertuliskan kalimat tauhid adalah salah satu contoh bagaimana Islamisme sebenarnya hanyalah politik yang diagamakan dengan simbol Islam. Jika kita amati secara sekilas berdasarkan berita dan informasi mengenai kelompok ini, maka secara cepat bisa kita kategorikan sebagai kelompok “jihadi-takfiri” yang “Islamis-institusional”.
Pertanyaannya, Hirwandi Ghafar masuk pada tipologi yang mana, radikalisme kah atau Islamisme? Jawaban pertanyaan tersebut tidak bisa didapat hanya dengan melihat postingan status facebook yang bersangkutan. Pemerintah sudah semestinya memiliki kapling yang jelas utamanya untuk mengkategorikan apakah seseorang terpapar radikalisme ataukah Islamisme. Sekali lagi Meskipun keduanya memiliki irisan simpatisan dan pengikut yang sama, namun strategi yang digunakan untuk melakukan treatment pencegahan dan penindakan akan jauh berbeda. (AN)
Wallahu A’lam.