Konflik Israel Palestina hingga kini belum usai. Bahkan, Israel tidak pernah menyurutkan serangan kepada Palestina. Beberapa tokoh seperti bintang sepak bola, penyanyi, artis film, dan aktivis perdamaian menentang tindakan agresi ini. Mereka bersimpatik atas konflik yang berkepanjangan itu. Hemat saya, konflik ini bukanlah perkara agama. Atau sekadar dikerdilkan perkara Islam versus Yahudi. Toh, di negara Israel juga banyak orang Islam, dan banyak orang Yahudi di sana yang juga menentang tindakan itu.
Konflik yang terjadi tentang kemanusiaan dan politik kekuasaan. Israel ingin merebut wilayah Palestina. Bahkan, status Yerussalem kini diklaim sebagai ibu kota Israel. Sementara akses warga Palestina yang ingin beribadah ke Masjidil Aqsha dibatasi. Belum pemberlakuan pajak berlebihan kepada warga Palestina. Sedikit demi sedikit Israel ingin mengusai daerah yang konon diberkahi (qudus) tersebut.
Pertanya selanjutnya, bisakah OKI (Organisasi Kerjasama Islam)—yang di dalamnya terdapat 56 negara yang usai mengadakan KTT Luar Biasa di Jakarta kemarin, termasuk di antaranya PBB ikut serta—mampu mewujudkan misi rekonsiliasi dan perdamaian antara Israel-Palestina? Atau, lebih sederhanannya, menjadikan Palestina negara merdeka dan berdaulat?
Indonesia dan Palestina
Semenjak era presiden Soekarno hingga Jokowi, para pemimpin kita berupaya untuk turut andil mewujudkan perdamaian Palestina-Israel. Setidaknya mereka menjadi penengah di tengah-tengah konflik kedua negara tersebut. Bahkan, di dalam pidato Jokowi di KTT kemarin, ia mengutip pernyataan Soekarno, yang dengan tegas menyatakan, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.
Di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun sama, beberapa lobi diupayakan olehnya, agar Israel menghentikan agresi militer ke wilayah jalur Ghaza dan mengakui kemerdekaan bangsa Palestina. Tetapi, upaya itu nampaknya belum menemukan titik temu, keberhasilan.
Di samping itu, upaya lain yang ditempuh Gus Dur seusai terpilih sebagai Presiden RI ke-4, Oktober 1999, adalah keinginannya membuka kerjasama ekonomi, hubungan diplomatik dengan Israel. Waktu itu, gagasan Gus Dur sempat menuai pro-kontra dan reaksi penolakan keras publik. Karena bangsa kita masih menganggap Israel adalah Yahudi. Dan Yahudi adalah musuh Islam. Sementara masyarakat Indonesia adalah kebanyakan Muslim.
Padahal, bila dicermati, apa yang ingin dilakukan oleh Gus Dur supaya Indonesia bisa menjadi mediator ‘perdamaian abadi’ di tengah-tengah konflik kedua negara di Jazirah Arab tersebut. Yang dilakukan dengan jalan damai, bukan perang yang memakan korban dan material yang tidak sedikit.
Jadi, sebelum aktivis Muslim akhi-ukhti berteriak-teriak ‘Save Palestine’, ‘Free Gaza’, ‘Boikot Israel’, serta mengadakan longmarch dalam setiap aksinya, sudah jauh-jauh hari pula para pemimpin kita mengupayakan itu. Perdamaian. Sehingga hemat saya, krisis Palestina dan Israel merupakan isu bersama, bukan milik umat Islam an sich, bukan pula milik negara yang tergabung dalam OKI semata, melainkan milik dunia.
Oleh karena itu, wajar jika Presiden Jokowi di dalam pidato KTT Luar Biasa kemarin menyatakan, “Apabila OKI tidak bisa menjadi bagian dari solusi Palestina, maka keberadaan OKI menjadi tidak relevan lagi. Sekali lagi menjadi tidak relevan lagi”.
Lalu, beliau juga menambahkan, “OKI dibentuk karena adanya kebutuhan mendukung perjuangan Palestina. Untuk itu, sesuai tema KTT United For A Just Solution, OKI harus menjadi bagian dari solusi, dan bukan bagian dari masalah.”
Sebagai warga dunia, seusai berakhirnya KTT Luar Biasa di Jakarta pada 6-7 Maret kemarin, negara yang tergabung di dalamnya tinggal mewujudkan langkah-langkah rekonsiliasi. Sehingga tema “United For A Just Solution” tidak hanya sekadar slogan yang nirmakna. Kemerdekaan dan kedaulatan adalah dua kata yang kini sudah dirindukan oleh bangsa Palestina puluhan tahun lamanya. Mungkin sudah sejak zaman nenek moyang bagi bayi yang lahir saat ini.
Lantas, bisakah negara yang tergabung di dalam OKI menekan agresi Israel atas Palestina dan menyerahkan kemerdekaan Al-Quds Al-Sharif? Mampukah PBB dan Amerika membuka mata atas krisis berkepanjangan ini? Bukankah perdamaian dan keadilan adalah impian bagi setiap manusia yang hidup?
Satu hal pasti, sejak berdirinya OK pada 1969, upaya rekonsiliasi terus dilakukan. Selama 47 tahun itu pula, penindasan, perkosaan atas hak hidup, dan ketidakadilan menumpuk dalam deretan sejarah kemanusiaan. Sampai kapankah Israel sadar diri akan peristiwa yang tragis ini?
Perdamaian itu Ada di Tiap Agama
Salah satu fungsi diturunkannya Nabi dan Kitab suci tidak lain adalah mempunyai misi perdamaian. Alkitab, baik perjanjian lama maupun perjanjian baru, juga serupa. Misi sucinya adalah mewujudkan cinta kasih dan perdamaian. Apalagi kitab suci al-Qur’an, jelas, kata-kata tentang perdamaian sering di mensyen di dalamnya. Baik dengan redaksi rahmah (kasih sayang), salaam (keselamatan/kedamaian), al-afw (maaf), dan lain-lain.
Di dalam Lukas 6:32, diterangkan, “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Matius 19:19, pun sama, “Hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Sementara di dalam kitab suci al-Qur’an dijelaskan, QS. Al-Anbiya: 107, yang mana Nabi Muhammad diturunkan di bumi ini tidak lain atau tidak bukan kecuali untuk menebar kasih sayang. “Tidaklah Aku mengutus engkau (hai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Sementara di dalam ayat lain, Allah Swt berfirman, “Adapun hamba-hamba tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan salam”. (QS. Al-Furqan: 63).
Oleh karena itu, satu kata kunci yang menjadi solusi ditengah konflik kemanusiaan adalah perdamaian, rekonsiliasi. “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan,” begitu kata Gus Dur.
Dan, jika Israel, Palestina, dan 56 negara yang tergabung di dalam OKI, mengakui dan menyakini kitab sucinya masing-masing, hemat penulis, konfik Israel dan Palestina, akan selesai. Karena masing-masing kitab suci menyeru demikian. Namun rupanya hal itu tidak semudah membalik tapak tangan. Apalagi yang hanya menjadikan al-Qur’an dan al-Kitab hanya sebatas simbol, dan sekadar dibaca belaka. Faktanya, pertikaian dan penindasan dengan mengatasnamakan agama masih saja terjadi.
Satu hal yang mungkin terlupa, sebelum menyeru perdamaian Israel-Palestina, alangkah baiknya juga negara-negara yang tergabung di dalam OKI juga berdamai dengan dirinya sendiri. Iran dan Arab Saudi, misalnya. Masing-masing tidak lagi membuka luka lama, apalagi membawa isu sektarian antara Sunni-Syiah dan masih banyak hal lainnya.
Menanti Janji Kitab Suci
Pada akhirnya, mari kita tagih bersama janji kitab suci al-Qur’an, di mana al-Qur’an menyatakan terdapat keberkahan antara Masjidil Haram dan Masjidl Aqsha. Masjidil Haram mungkin iya, sekarang banyak investasi besar-besaran di negara tersebut. Bahkan, bangunannya kini menyerupai Las Vegas-Amerika Serikat. Sementara Masjidil Aqsha, kini tengah diperebutkan oleh kedua negara. Bahkan konflik di dalamnya tidak pernah surut, keberkahan seperti apa yang dimaksudkan oleh firman Tuhan?
QS. Al-Isra (17) ayat 1, dijelaskan, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah “Kami berkahi sekelilingnya”agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Betul. Keberkahan itu adalah perdamaian. Dalam bahasa pesantren, barokah atau berkah adalah ziyadatul khoir wassa’adah (tambahnya kebaikan dan kebahagiaan). Di dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Nabi Saw bisa dibilang melaluinya dalam jangka waktu yang sekejap. Semalam. Hal ini menandakan bahwa mencapai dunia langit itu mudah, ditempuh dalam waktu satu malam. Tetapi, setelah itu, misi membuminya—menyampaikan wahyu—ditempuh hingga akhir hayat.
Akankah mewujudkan perdamaian Israel Palestina batas akhirnya adalah kematian dan atau kiamat? Ketika semua manusia sudah tidak bisa lagi serakah, tidak lagi berpikir untung rugi, serta berbuat angkuh.
Paus Yohannes Paulus II pernah menyatakan ‘No peace without justice, no justice without forgivness’ Perdamaian erat terkait dengan keadilan, keadilan erat terkait dengan pengampunan. Mampukah kedua negara berjiwa besar, saling mengampuni dan menciptakan keadilan? Wallahhua’lam. []
Muhammad Autad An Nasher, aktif di Jaringan Gusdurian. Bisa dijumpai di akun twitter @autad