Israel: Antara Shakespeare dan Chekov

Israel: Antara Shakespeare dan Chekov

Konflik Israel-Palestina telah berlangsung puluhan tahun. Akankah semua berujung saling menghabisi a la drama Shakespeare atau kompromi a la Chekov?

Israel: Antara Shakespeare dan Chekov

Konflik antara Israel dan Palestina, kata sastrawan Israel Amos Oz, adalah tragedi setragis-tragisnya. Karena yang menyulut konflik tersebut adalah benturan dua klaim yang sama-sama tidak mau mengalah. Lantas bagaimana mungkin tragedi semacam ini bisa disudahi? Amos Oz menyebutkan dua pilihan cara penyelesaian: model Shakespeare atau model Chekov.

Pada model Shakespeare, konflik berakhir ketika semua pihak yang terlibat saling menghabisi satu sama lain, sehingga pada akhir cerita semua mati terbunuh. Lihatlah misalnya babak akhir lakon Hamlet. Duel antara Hamlet dan Laertes tidak hanya berujung pada kematian keduanya, melainkan juga menyeret ibunda Hamlet, Gertrude, dan raja Claudius ke liang lahat.

Sebaliknya, pada model Chekov, konflik diselesaikan melalui resolusi yang sama sekali jauh dari memuaskan siapapun, mengecewakan, dan bahkan mungkin menyisakan luka. Namun, masing-masing pihak tetap hidup.

Oz sendiri menaruh harapan agar negaranya memilih model Chekov dan bukan Shakespeare dalam menangani perseturuannya dengan Palestina. Artinya, jalan perundingan, bukan jalan militer. Sebab menurutnya, sejelek-jeleknya kompromi tetap lebih baik daripada perang habis-habisan a la duel Hamlet.

Harapan yang masuk akal, mengingat Amos Oz adalah pendiri gerakan Shalom Achshav (Peace Now Movement) yang gencar menentang kebijakan pemerintahnya menyangkut West Bank dan Gaza. Namun harapan novelis Israel itu tampaknya hanya menjadi suara sayup yang melemah, ketika politik Israel semakin diwarnai oleh menguatnya kelompok sayap kanan, yang dibarengi dengan merosotnya kekuatan gerakan kiri.

Harap diingat, dikotomi “kanan-kiri” dalam nomenklatur politik Israel lebih banyak terkait dengan isu keamanan nasional ketimbang ekonomi. “Kanan” di sini bukan berarti liberalisme, melainkan sikap hawkish yang mengandalkan jalan militer dan anti kompromi menyangkut tanah pendudukan. Sedangkan “kiri” tidak mengacu pada sosialisme, tapi pada sikap dovish yang mengutamakan negosiasi, dan juga kesediaan melepas Gaza dan Tepi Barat kepada rakyat Palestina demi tercapainya solusi damai antara Israel dan Palestina (land for peace).

Gejala ini secara nyata tercermin dalam kepemimpinan politik di Israel saat ini. Fakta bahwa tokoh seperti Netanyahu meroket popularitasnya menujukkan betapa sikap hawkish sedang laku keras di Israel.

Netanyahu jelas-jelas menyatakan hendak mempertahankan wilayah pendudukan. Sedangkan Lieberman, pemimpin partai baru Yisra’eli Beininu, merupakan politisi ultranasionalis yang dikenal rasis terhadap warga negara Israel keturunan Arab, yang jumlahnya hampir mencapai 20 persen dari total populasi negeri itu. Ia bahkan menuduh mereka sebagai musuh dalam selimut, yang lebih loyal terhadap Palestina dibanding kepada negerinya sendiri.

Pada tingkat tertentu, penguatan kubu hawkish di Israel ini dipicu oleh supremasi Hamas di Gaza yang bertekad menghancurkan Israel. Begitu juga sebaliknya. Naiknya pamor Hamas tak bisa dilepaskan dari menguatnya kelompok kanan di Israel, yang terdiri dari para pemilih dan simpatisan partai Likud, kaum Yahudi ultra-Orthodox, dan mayoritas imigran dari Rusia pasca tumbangnya Soviet.

Kita sering mendengar alasan membela diri sebagai faktor yang mendorong Israel menyerang Gaza. Tapi tunggu dulu. Hamas pun bisa mengklaim hal yang sama, misalnya dengan berdalih serangan roketnya ke Israel juga demi membela diri dari blokade ekonomi dan sosial yang diberlakukan Israel atas Gaza. Dengan kata lain, yag sesungguhnya terjadi adalah ini: kedua belah pihak mengalami militansinya masing-masing.

Bagaimana kita memahami fenomena itu? Sejauh menyangkut Israel, akar masalahnya sebenarnya sudah muncul jauh sebelum Hamas lahir. Tepatnya setelah Israel berhasil meluluhlantakkan, dalam waktu singkat, kekuatan bersenjata gabungan Mesir, Jordan, dan Syiria pada peperangan tahun 1967, yang lazim dikenal sebagai “Perang Enam Hari.”

Sebelum tahun 1967, sikap Israel terhadap Arab secara umum mengacu pada konsep “tembok besi” yang dirumuskan oleh Vladimir Jabotinsky. Nama ini memang sering diasosiasikan dengan Zionisme revisionis yang menjadi sumber inspirasi partai sayap kanan Likud. Tapi esainya berjudul “Tembok Besi: Kita dan Arab” yang terbit pada 1920-an menunjukkan bahwa pandangan Zionis kelahiran Odessa ini sejatinya mengandung muatan yang tak bisa begitu saja dinisbatkan ke ideologi hawkish Partai Likud.

Apa itu strategi “tembok besi’? Menurut Jabotinsky, Israel harus mengakui adanya pertautan alamiah antara bangsa Palestina dengan tanah kelahiran mereka, “seperti halnya pertautan bangsa Aztecs pada Mexico atau suku Sioux pada tanah rerumputan mereka.” Karena itu bisa dimaklumi kalau mereka menentang berdirinya negara Yahudi di Palestina, yang mereka anggap sebagai kolonisasi. Kata Jabotinsky, “seandainya kita Arab, kita akan menentangnya juga.”

Dari situ ia kemudian menegaskan bahwa bangsa Arab tidak akan dengan sukarela mengakui kehadiran negara Yahudi di Palestina. Karena itu menurutnya, untuk merealisasikan proyek Zionisme, kaum Yahudi mesti membangun kekuatan militer yang betul-betul kokoh laksana tembok besi, sehingga setiap usaha bangsa Arab untuk menghancurkannya akan berakhir dengan sia-sia

Jabotinsky meyakini kegagalan terus menerus yang diderita bangsa Arab akan membuat mereka lambat laun menjadi kompromistis, dan akhirnya menerima kehadiran Israel. Dengan kata lain, buat Jabotinsky, kekuatan militer bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sarana pemaksa agar pihak Arab bersedia berunding dengan Israel.

Tapi setelah berhasil menduduki Gaza, Tepi Barat, dan wilayah Arab lain menyusul kemenangannya pada perang 1967, Israel seperti terpukau dengan kedigdayaannya sendiri. Strategi tembok besi ala Jabotinsky lantas ditinggalkan. Israel tidak lagi menempatkan kompromi sebagai tujuan akhir dari kebijakan politik mereka.

Sikap anti kompromi ini menjadi semakin mengeras dengan adanya dukungan dari kelompok yang senantiasa bersinergi.

Pertama kelompok fundamentalis Yahudi yang tergabung dalam Gush Emunim, yang meyakini Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem sebagai anugerah Tuhan kepada bangsa Yahudi di Israel, dan karena itu “haram” hukumnya dikembalikan ke bangsa Arab. Kedua adalah partai Likud yang sejak awal getol memperjuangkan gagasan tentang “Israel Raya” yang mencakup keseluruhan wilayah Israel dan Palestina.

Sikap anti kompromi yang ditampilkan Israel inilah yang terbukti selalu menjadi batu sandungan bagi setiap pembicaraan damai dengan pihak Arab. Sampai sekarang.

Pada 2002, misalnya, Liga Arab dengan juru bicara Pangeran Abdullah dari Arab Saudi menawarkan hubungan penuh dengan Israel asalkan Israel mau kembali ke wilayahnya sebelum perang 1967. Tapi dengan ketus Israel menolaknya. Bahkan Hamas juga pernah menawarkan gencatan senjata 30-40 tahun dengan catatan Israel menarik diri dari pendudukan. Israel lagi-lagi menampiknya.

Artinya apa? Kalau kita kembali kepada Amos Oz, Israel menempuh jalan Chekov ketimbang Shakespeare bukan karena semata-mata pengaruh faktor luar (Hamas), melainkan terutama justru akibat dari dinamika internalnya sendiri.

Ironisnya, Israel juga didera oleh rasa terkepung yang akut sehingga senantiasa melihat sekelilingnya sebagai ancaman. Setidaknya itu terlihat pada serangan mereka ke Gaza. Rasa terkepung ini muncul karena Israel selalu melihat dirinya sebagai korban anti semitisme berabad-abad yang berpuncak pada Holocaust, dan pada saat yang sama punya kekuatan militer yang tak tertandingi di Timur Tengah, plus dukungan yang hampir total dari Amerika.

Nah, kombinasi antara kekuatan yang tak tepermanai yang dimiliki Israel plus persepsi diri sebagai korban pada akhirnya menyebabkan Israel selalu merasa terancam. Ungkapan “Jika yang anda punya hanya palu, dunia sekitar akan tampak seperti paku” rasanya tepat sekali melukiskan tabiat Israel.

Apa yang terjadi pada Israel saat ini sungguh terasa absurd, bahkan kalau hal itu dilihat dari perspektif zionisme.

Ketika bapak zionisme Theodor Herzl mencetuskan ide negara Yahudi pada akhir abad 19, bapak Zionisme itu mendambakan agar dengan mempunyai Negara sendiri, bangsa Yahudi bisa hidup normal seperti bangsa-bangsa lain. Menurut Herzl, dua ribu tahun lamanya bangsa Yahudi hidup abnormal, yakni terpencar dalam diaspora tanpa negara. Oleh karena itu mereka rentan menjadi target serangan antisemitisme di Eropa . Berdirinya Negara Israel oleh Herzl dimaksudkan agar bangsa Yahudi bisa keluar dari abnormalitas tersebut. Harapannya adalah agar ancaman antisemitisme lenyap.

Tapi setelah lebih enam dasawarsa berdiri, Israel mengidap sindrom mentalitas terkepung dan antisemitisme justru juga semakin meluas. Apakah kehidupan semacam ini yang dibayangkan oleh Herzl sebagai “normal” sebagaimana bangsa-bangsa lain?

Entahlah. Yang pasti, mentalitas terkepung semacam inilah yang menyebabkan harapan Amos Oz terhadap negerinya tidak tercapai. Karena terbukti Israel condong kepada model Shakespeare dan menjauhi model Chekov. []

*) Akhmad Sahal