Tak bisa dipungkiri ada gelombang kebencian kepada Islam (Islamophobia) di Barat. Kini gelombang itu mulai menerpa sebagian non-Muslim yang diekspresikan secara intensif dalam banyak produk media digital di media sosial secara implisit maupun eksplisit, juga berupa tulisan atau konten yang memuat pandangan negatif maupun comment vulgar yang menyemburkan kebencian luar biasa dalam cemooh dan caci maki.
Kebencian terhadap Islam atau islamophobia merupakan akibat salah satu dari dua faktor, yaitu: (1) ekstetnal; dan (2) internal.
Faktor eksternal adalah kebencian karena intoleransi dan tendensi geopolitik. Inilah yang biasanya dikaitkan dengan konspirasi dan hegemoni global. Faktor internal adalah kebencian karena kesalahpahaman.
Dalam konteks ini, kesalahpahaman dapat dibagi dua bagian, pertama, kesalahpahaman sebagai respon terhadap sepak terjang sebagian kelompok Islam yang intoleran terutama dalam masyarakat yang mayoritasnya menganut Islam.
Kesalahpahaman ini bersumber dari falasi menjadikan fakta partikular dan fenomenal perilaku kontra etika kemanusiaan sejumlah pemuka Islam dan para penganut Islam sebagai dasar generalisasi dan totalisasi negatif.
Kedua, kesalahpahaman sebagai respon terhadap sejumlah doktrin yang ditafsirkan sebagai ajaran yang menganjurkan kekerasan dan pemaksaan dalam menjalankan agama.
Kesalahpahaman ini bersumber dari sejumlah ajaran yang terkesan kontra logika, yang diklaim oleh banyak individu berpredikat ulama sebagai ajaran Islam dan bersumber dari Al-Quran dan hadis.
Sulit untuk dipungkiri pula, bahwa salah satu penyebab tidak hadirnya umat Islam dalam satu pandangan keislaman hingga mengakibatkan terbentuknya dua arus besar adalah perbedaan standar identifikasi otentisitas hadis, dan sumber periwayatannya.
Perbedaan ini bersumber dari satu isu yang disengketakan, yaitu otoritas. Sayangnya, sebagian non-Muslim mengira Islam hanya direpresentasi oleh satu model dan arus pemahaman juga satu tipe penganut. Padahal sejak terbentuk, umat ini terbagi dua, antara golongan yang didukung para penguasa temurun, termasuk dalam literasi dan golongan yang terpinggirkan dan diimtimidasi karena kritis. Banyak filosof dan mistikus menjadi korban pembunuhan, pemenjaraan dan perburuan.
Sejak dahulu dusta merupakan bahan favorit dalam arena perebutan kekuasaan. Dalam sejarah Islam hadis-hadis maudhu’ alias teks-teks palsu (yang mencatut nama mulia Nabi Muhammad) telah menciptakan petaka besar, membunuh karakter para pemikir kritis dan pejuang tulus, menewaskan ribuan umat Islam yang dikafirkan hanya karena berbeda haluan dengan para tiran dinasti-dinasti korup dan mewariskan ketegangan sektarian hingga detik ini.
Sabda-sabda hoaks dicetak secara massif dan sistematis hingga jumlahnya melebihi sabda-sabda asli yang merupakan sumber kedua agama, sehingga umat pun tak mampu memilah dan membedakannya.
Industri hadis maudhu’ telah berkembang pesat hingga tak hanya mencetak teks palsu dengan konten pesanan berupa penganugerahan hak istimewa kepada pihak-pihak tertentu dan penyebaran ujaran kebencian dengan pengkafiran, serta vonis zindiq, namun juga menciptakan sederet perawi fiktif dalam semua urutan masa.
Dusta yang disakralkan dengan label hadis bersanad abal-abal, karena didistribusikan oleh sentra-sentra yang menjadi BUMN dinasti-dinasti, mengakar kuat menjadi doktrin final yang menciptakan teologi fatalisme dan fanatisme sektarian. Selanjutnya seiring bergulirnya masa, teks-teks abal-abal berhasil menggusur prinsip-prinsip rasional yang merupakan jantung ajaran suci agama.
Tak hanya teks ucapan dan perawi fiktif diciptakan, industri hoaks juga menghadirkan fragmen-fragmen sejarah fiktif dan kisah heroik imajinal yang dilekatkan pada tokoh-tokoh elit tanpa jejak jasa dan prestasi nyata.
Industri hoaks tak hanya mencetak teks buatan, perawi fiktif dan aneka peristiwa palsu serta mengubah karakter faktual para pelaku sejarah, namun juga menjamah keagungan Nabi Muhammad dengan aneka dongeng tak logis dan tak selaras dengan kesuciannya seperti kisah sihir, gosip bermuka masam, dan puluhan sejenisnya.
Teks-teks palsu yang bertebaran dalam banyak manuskrip dan kitab-kitab referensial riwayat dan sejarah telah memberi secara gratis bahan mencemooh dan menghina ajaran suci ini kepada para pembenci. Salah satunya adalah Salman Rushdie yang menggunakan dongeng “Gharaniq” sebagai dasar dan membuatnya mendapatkan banyak kecaman.
Hadis-hadis maudhu’ yang kadang disebut “Isra’iliyyat” juga “Umawiyyat” bukan isu ekslusif dan tak identik dengan sebuah mazhab atau kelompok tertentu. Para ahli hadis dan analis “Rijal” (ilmu untuk mengetahui seorang perawi tergolong kredibel atau tidak) telah bersepakat tentang faktanya, seraya berupaya dengan ragam metode sesuai pandangannya masing-masing menangkal serta mensortirnya.
Dahulu hoaks yang dibungkus dengan sanad dan dianggap hadis bisa memfaktualkan yang fiktif dan memfiktifkan yang faktual sepanjang masa, karena mempertanyakannya bisa dituduh oleh dinasti-dinasti despotik sebagai penodaan dan mendustakan Sunnah atau anti Salaf. Namun kini, kesadaran tentang pentingnya peran akal dalam memfilter info-info seputar agama telah merata dalam masyarakat dengan ragam mazhab dan cenderungannya.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa hoax bukan hasil kreasi manusia modern dan bukan salah satu produk “peradaban” zaman now, tapi seusia sejarah manusia. Kita juga bisa tahu bahwa islamophobia tak hanya akibat tendensi geopolitik dan hegemoni Barat, namun karena sejumlah doktrin dan teks buatan tak logis juga tak etis yang kini dianggap teks sakral dan bagian dari ajaran agama.
Oleh karenanya, penting kiranya saat ini untuk menelaah kembali beberapa pemahaman kelompok yang sebenarnya menciderai ajaran Islam yang penuh sopan santun dan ramah. Hal ini tidak lain sebagai upaya untuk mengembalikan Islam pada ajaran sesungguhnya, yaitu “rahmatan lil ‘alamin.” (AN)