M.C Ricklefs dalam “Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang” ( Serambi, 2012) menuliskan demikian :
“Pada tahun 1633, Sultan Agung berziarah ke Tembayat, di mana ditemukan makam Sunan Bayat, yang dipandang sebagai Wali yang memperkenalkan Islam di wilayah kerajaan (seharusnya : kesultanan) Mataram dan yang kompleks makamnya telah menjadi pusat perlawanan terhadap pemerintahannya, yang kemudian dia tumpas.”
Kemudian Ricklefs melanjutkan, dan ini adalah poin yang hendak disasarnya :
“Sultan Agung dikisahkan berjumpa dengan roh orang suci tersebut yang mengajarinya ilmu-ilmu mistik rahasia.”
Kisah peziarahah Sultan Agung ke Tembayat ini diulang-ulang oleh Ricklefs di hampir seluruh bukunya tentang Islam di Indonesia. Misalnya, dalam bukunya yang lain,“Yogyakarta Di Bawah Sultan Mangkubumi: 1749-1792” ( Matabangsa, 2002), Ricklefs mengisahkan kisah yang sama :
“… Dia juga melakukan beberapa hal untuk meningkatkan spritualnya. Sebuah naskah Jawa mengisahkan bagaimana dia belajar rahasia ilmu-ilmu mistis (ngelmu gaib) dari ruh Sunan Bayat, dan dalam tahun 1633 dia mengungjungi Tembayat, yang baru saja memberontak, dan membangun gapura pada makam suci di situ “
Alasan pengulangan dari kisah peziarahan Sultan Agung karena Riclefs ingin menekankan tentang pembedaan, pemilahan, dan pemisahannya (Ricklefs) terhadap Islam dengan Jawa, yang keduanya adalah dua entitas yang tidak mungkin menjadi satu. Sultan Agung dianggap oleh Ricklefs memiliki ambisi yang sangat sulit diwujudkan, yakni menggabungkan otoritas Islam dan otoritas Jawa dalam dirinya untuk merengkuh otoritas keilahian sehingga memberinya legetimasi spritual yang lebih besar dalam memimpin Jawa. Peggabungan ini sulit diterima oleh banyak kalangan, terutama mereka yang disebut oleh para Indonesianis sebagai ‘Islam putihan’. Bentuk penolakan mereka adalah pemberontakan terhadap para sultan “sinkretik” tersebut.
Kecurigaan terhadap adanya suatu upaya serius para orientalis dan indonesianis memisahkan Islam dengan Jawa pernah diuraikan dalam sebuah tulisan-prosaik paling saya gemari dari Hairus Salim, seorang tokoh muda Nahdlatul Ulama, dalam pengantarnya atas buku Mark R Woodward, “Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan”(LkiS,1999):
“Dalam pandangan mapan tersebut (pandangan dominan kaum orientalis dan indonesianis seperti Cliford Geertz,Ricklefs, dan seterusnya), Islam dan Jawa adalah dua entitas yang “dirancang” terpisah,berbeda, berlawanan, dan tak mungkin bersenyawa. Islam dikontraskan dengan Jawa yang “dipandang” dengan romantis,arkaik, dan penuh dengan pesona. Singkatnya, Islam dan Jawa adalah antonimi. Dan pada gilirannya, Islam Jawa sebagai agama rakyat dipandang sebagai penyimpangan dari Islam. “
Masih menurut Salim, jika dilakukan pelacakan, sikap “anti Islam” para orientalis dan Indonesianis bisa dilacak sampai ke masa Sir Thomas Stamford Raffles, tetapi “beangkerok” utama dari sikap anti-Islam ini tentulah Geertz. Lengkapnya demikian:
“Perspektif ini mungkin mencegat kita ( bahwa Islam Jawa yang dianggap Islam-Islaman itu juga tetap Islam) yang terlanjur berpusar pada konstruksi yang sudah dominan tersebut (bahwa Islam dengan Jawa tidak bertemu). Kitapun lalu bertanya-tanya darimana aka-akar paradigma dominan tersebut, siapa perintisnya dan apa kepentingan di baliknya? Di sini, Woodward jelas menyebut Clifford Geertz sebagai poros utama wacana domian tersebut. Karya Geertz, The Relegion of Java, seperti kita tahu, masih sangat berwibawa. Kendati telah banyak kritik terhadapnya,namun tidak ada penelitian lain yang memiliki pengaruh setara dengannya.Gestalt yang telah dibangunnya mempunyai pengaruh penafsiran hingga empat dekade ini. Sekian generasi telah berkenalan dengan Jawa melalui karyanya tersebut dan hampir setiap karya serius masih merujuknya secara panjang lebar…”.
Saya sengaja memindai cukup panjang keterangan Salim karena penjelasannya relevan dengan apa yang ingin saya tuliskan mengenai otoritas diskursif para orientalis dan Indonesianis terhadap Islam sendiri, dan apa yang mereka seteguhi dan dakwahkan sebagai “Islam Jawa”. Dalam studi paska-kolonial, apa yang dilakukan Ricklefs maupun Geertz adalah suatu jenis pelumpuhan terhadap realitas yang kompleks dari proses penterjemahan Islam di Indonesia atau “pribumisasi Islam”, menurut Gus Dur. Realitas telah digubah menjadi teks, atau dalam adigiumnya Jaques Derrida, “tidak ada kebenaran di luar teks”, tetapi Derrida lupa bahwa itu hanya mungkin diwujudkan oleh dua kelompok ilmuwan: antropolog yang berbasis filologi atau filolog yang mampu menulis etnografi dengan baik,bukan oleh seorang filsuf yang mendalami Heidegger dan sejenisnya. Buku “The Religion of Java” adalah kulminasi dari stabilisasi pemisahan Islam dengan Jawa, sebuah buku yang telah menjadi tonggak untuk menegakkan sebuah Islam versi para orientalis dan Indonesianis.
Kembali ke Ricklefs soal Sultan Agung yang belajar ilmu-ilmu rahasia dari ruh Sunan Bayat. Kalau diperhatikan lebih seksama, terlihat bahwa Ricklefs melihat suatu keganjilan dari apa yang dilakukan sultan teragung dalam sejarah Mataram Islam tersebut, yakni mengaji kepada orang yang sudah tiada. Keganjilan ini dianggapnya sebagai suatu praktek yang tidak ditemukan dalam “Islam resmi”. Praktek sang sultan bertentangan dengan kejamakan Islam yang ada. Seakan tahu akan ‘Islam yang benar” dan “resmi”, Ricklefs meyakini praktek yang dilakukan Sultan Agung adalah pengaruh lokal (Jawa), dan agama yang dianut orang Jawa sebelum Islam datang di Nusantara.
Ricklefs tidak tahu bahwa praktek ‘mendaras ilmu’ kepada orang sudah meninggal sudah ada dan umumnya sifatnya dalam sejarah Islam. Belajar kepada orang suci (para wali) yang sudah meninggal pernah dilakukan oleh sufi besar abad ke-12, Syaikhul Akbar Ibn Arabi, ketika belajar kepada Syaikh Abu Madyan dengan cara datang ke makam Abu Madyan. Banyak lagi praktek dari metode belajar “barzakhi” ini dalam sejarah Islam. Beberapa teman yang mengkaji dengan teliti kitab-kitab tasawuf, seperti karangan Syaikhul Akbar Ibn Arabi, biasanya akan didatangi langsung dalam kondisi jaga oleh sanga pengarang yang telah meninggal dua belas abad lalu itu. Sementara Ricklefs memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Sultan Agung dengan datang ke Tembayat menunjukkan kelemahan pemahaman sang sultan akan ajaran Islam.
Saya sengaja mengambil masalah ziarah untuk mengkritik pandangan para orientalis dan indonesianis tentang pemisahan Islam dengan Jawa karena ziarah adalah tradisi yang paling kuat bertahan, tidak kalis oleh perubahan. Ziarah di Jawa, dan umumnya di Indonesia adalah sebentuk kunjungan reguler ke makam orang suci,kerabat dan mereka yang memiliki keagungan ruhani yang diandaikan masih hidup seperti ketika mengunjungi para guru soleh, orang tua, dan orang yang memberi manfaat kepada masyarakat yang masih hidup. Umat Islam memiliki sendi-sendi yang kuat untuk mendukung praktek ziarah semacam yang dilakukan Sultan Agung.
Selain Riclefs, pakar Perang Jawa, Peter Carey, dalam karyanya yang dianggap paling otoritatif, Kuasa Ramalan : Pangeran Diponogoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 ( Komapas Gramedia Utama, 2011) menceritakan panjang lebar sejumlah laku yang dilakukan oleh Pangeran Diponogoro sebelum memulai perang, yakni lelono (berkelana), ziarah ,dan tirakat. Sebenarnya,tidak ada perbedaan berarti antara lelono, tirakat dan ziarah karena sama-sama bertujuan menjalin komunikasi dengan lapisan kehidupan yang diyakini dalam kosmologi Islam sendiri. Carey menulis tentang pelbagai ziarah dan tirakat yang dilakukan sang pangeran sebagai bentuk lemahnya keislaman ‘otak’ perang yang telah membangkrutkan VOC tersebut. Misalnya ketika sang pangeran menitahkan kepada Kiai Joyomustopo, penasehat keagamaannya, untuk berziarah ke Nusakambangan untuk mencari kembang wijayakusuma.
Selain itu, pangeran mengutus beberapa ulama untuk menziarahi sejumlah tempat suci guna memperoleh petunjuk tentang awal-akhir dari perang yang direncanakannya. Seperti halnya Riclefs, Carey ketika menceritakan pertemuan pangeran Diponogoro dengan Ratu Kidul, Sunan Kali Jaga, dan Imam Mahdi dalam tirakatnya meragukan kebenaran pertemuan-batin tersebut dan menganggap bentuk kelemahan dari pemahaman Islam sang pangeran. Kisah peziarahan pangeran diulang-ulang oleh Carey hampir di seluruh karyanya, terakhir dalam Sisi Lain Diponogoro: Babad Kedung Kebo dan Histriografi Perag Jawa ( Kepustakaan Gramedia Populer,2017). Berbeda dengan orang yang terlalu memuji otoritas Carey, saya justeru melihat titik krusial dari seluruh tulisannya adalah upaya seriusnya menunjukkan minimnya peran Islam dalam Perang-Jawa. Buktinya, sang pangeran sendiri memiliki sedikit pemahaman tentang Islam.
Konstruksi masyarakat Jawa, juga masyarakat lainnya di Indonesia, yang anti-Islam telah mencegat pertumbuhan umat Islam di Indonesia sebagai masyarakat yang toleran, ramah, dan menerima keberagaman. Perceraian paksa antara Islam dengan Jawa telah memotong aspek terpenting Islam di negeri ini, yakni energi kosmopolitannya yang mampu mengolah segala persinggungan dan pengaruh dari berbagai arah untuk memperkaya sekaligus memberi otonomi bagi prakteks keislaman yang sesuai dengan kebutuah masyarakat Indonesia. Wallahul haadi ila sabilil haqqi.