Suatu hari, ketika saya baru mengajarkan materi psikologi sosial selama 15 menit, tiba-tiba ada mahasiswa yang mengacungkan tangan dan hendak bertanya. Tanpa berpikir panjang, saya persilakan. Mahasiswa itu mengawali pertanyaannya dengan bercerita singkat terlebih dahulu. Pernah suatu ketika, ia dan beberapa kawannya berada di suatu masjid. Di masjid tersebut, ia dan kawan-kawannya diajak berdialog dengan seseorang.
Orang itu mengajak ia dan kawan-kawannya untuk mengevaluasi, apakah mereka sudah menganut Islam secara kaffah (sempurna) atau belum. Orang itu lantas menganggap bahwa Islamnya kebanyakan orang (termasuk mahasiswa saya dan kawan-kawannya) belum kaffah, karena belum menegakkan khilafah.
Dalam kelas, mahasiswa tersebut kemudian menanyakan, apakah indikator Islam kaffah itu? Lalu, apakah pendapat orang itu benar karena disertakan dalil dan menurut mahasiswa saya dalil itu benar adanya (sesuai dengan kondisi)?
Jujur saja, pertanyaan itu cukup berat bagi saya. Saya harus menjawabnya dari perspektif keagamaan, juga psikologi agar saya bisa mendorong mahasiswa itu (dan juga yang lainnya) untuk mengambil sikap yang tidak terburu-buru mengikuti mereka. Membahas indikator Islam kaffah tentu saja akan sangat panjang dan lebar. Bahkan, mungkin bisa jadi menghasilkan buku. Akan tetapi, saya akan membahasnya dengan singkat dalam tulisan.
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah agama yang diturunkan oleh Tuhan untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Karena agama tersebut adalah dianggap paling sempurna, maka konsekuensinya adalah orang harus menjalankannya secara sempurna pula.
Lalu, indikator Islam secara sempurna itu bagaimana?
Ada beberapa pendapat mengenai hal ini. Pertama, pendapat dari kelompok tekstualis. Menganggap bahwa Islam cenderung bersifat legal formal, maka berislam secara sempurna harus mewujudkan Islam itu sebagai suatu sistem.
Maka, tak heran kelompok ini menganggap mendirikan khilafah adalah jalan menuju kesempurnaan Islam. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Islam secara kaffah adalah ketika seseorang menjalankan seluruh prinsip dan nilai yang ada dalam syariat Islam.
Kelompok ini mengatakan bahwa Islam tidak harus diwujudkan dalam suatu sistem yang bersifat legal formal. Akan tetapi, lebih menekankan implementasi nilai-nilai dan prinsip dari Islam itu sendiri, misalkan prinsip keadilan, keselamatan, dan sebagainya.
Seperti yang sudah dijelaskan, ada kelompok yang menganggap kesempurnaan Islam harus diwujudkan dalam suatu sistem, salah satunya sistem khilafah. Bahkan, kelompok tersebut menganggap bahwa khilafah adalah satu-satunya solusi atas segala masalah yang ada, maka mendirikan khilafah adalah wajib di setiap tempat dan waktu. Namun, mereka lupa bahwa masalah khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah masalah khilafiyah dan bersifat ijtihadi.
Mereka hanya mengutip pendapat ulama yang mewajibkan, sedangkan mereka mengabaikan pendapat ulama lain yang tidak mewajibkannya. Dalam salah satu kitabnya yang berjudul al-Iqtishad fi al-Itiqad, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali menuliskan bahwa kajian tentang imamah (khilafah) bukan termasuk hal yang penting. Khilafah jug bukan termasuk bagian studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ijtihad. Kemudian, masalah imamah (khilafah) tersebut berpotensi melahirkan fanatisme. Selain itu, Fatwa Al-Azhar yang tertulis dalam Fatawa Al-Azhar 7/359 mengatakan bahwa sistem khilafah, imarah, pemerintahan, presiden, dan republik serta yang lain adalah sekedar istilah, bukan termasuk nama dalam agama dan bukan hukum agama.
Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah memberikan wasiat untuk mendirikan khilafah dan tidak menunjuk pengganti pemimpin Islam setelahnya. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pun mengatakan bahwa khilafah itu usianya hanya 30 tahun, kemudian setelah itu berganti kerajaan (HR. Ahmad No. 21978 dan Turmudzi No. 2226).
Secara psikologis, mereka sangat tertarik tentang pendirian khilafah sebagai Islam kaffah. Terlebih ketika ketika doktrin semacam itu didapatkannya dengan disertai iming-iming baik bersifat materi maupun immateri. Ketertarikannya ini kemudian membuatnya menutupi kemungkinan pendapat lain mengenai khilafah dan Islam kaffah. Selain itu, orang-orang semacam ini mengalami bias optimistik, mengharapkan bahwa dengan khilafah sebagai wujud Islam kaffah, maka semuanya akan berjalan sempurna pula.
Bias optimistik ini membuatnya lupa bahwa sistem pemerintahan khilafah beberapa kali dipimpin oleh pemimpin yang tidak berkualitas sehingga mengalami keruntuhan. Mereka juga mengalami pemikiran konterfaktual, yaitu berpikir dengan melibatkan asumsi yang tidak rasional.
Hal ini diperlihatkan dengan menganggap bahwa apapun solusi dari permasalahan ini adalah menganut Islam kaffah dengan khilafah. Padahal, terselesainya masalah bukan disebabkan karena sistem pemerintahan, tetapi lebih pada cara mengimplementasikan nilai dan prinsip Islam serta kemampuan orang yang menjalankannya. Kondisi ini yang membuat mereka akhirnya bersikap fanatik dan cenderung memaksakan opini.
Jika mereka menganggap khilafah sebagai solusi karena khilafah adalah sistem yang baik, maka asumsi tersebut bisa saja dipatahkan bahwa khilafah hanya sebatas sistem sebagai alat untuk mewujudkan suatu tujuan, sehingga keberhasilannya pun bergantung pada yang menjalakannya. Oleh karena itu, tidak heran jika khilafah akhirnya runtuh karena dipimpin oleh orang yang tidak berkapasitas.
Di sisi lain, kelompok tersebut menganggap bahwa khilafah adalah permasalahan syariat. Dengan kata lain, khilafah sama dengan syariat Islam. Pola pikir semacam ini yang perlu diluruskan. Khilafah adalah permasalahan hasil ijtihad, sedangkan syariat Islam bukan permasalahan ijtihad.
Menjalankan syariat Islam tidak harus dalam kekrangka khilafah. Contohnya di Indonesia, betapa banyak produk hukum yang mengandung nilai Islam meski Indonesia menganut republik dan demokrasi. Misalkan, peraturan yang tidak mengijinkan perkawinan sejenis.
Selain itu, di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah menjamin kemerdekaan beragama serta melindungi kebutuhan dlururiyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.
Kaitannya mengenai dalil yang mereka gunakan terkesan benar, hal ini dikarenakan mereka menggunakan dalil yang memiliki unsur yang sama dengan kondisi masyarakat saat ini. Meskipun demikian, konteks yang ada dalam dalil dengan kondisi masyarakat saat ini belum tentu sama.
Sebagai contoh, mereka seringkali menyamakan orang yang bertawasul (mendoa dengan perantara orang saleh) dengan orang yang sudah meninggal dengan orang yang menyembah berhala. Bahwa, orang yang menyembah berhala juga menganggap berhala sebagai perantara beribadah kepada Tuhan. Orang-orang semacam itu lupa bahwa ada konteks yang terlepas.
Pertama, orang yang bertawasul adalah orang Islam sedangkan orang yang menyembah berhala jelas bukan Islam. Sehingga, dalil semacam ini tidak bisa dikenakan pada orang Islam.
Kedua, orang yang bertawasul paham betul bahwa yang menyebabkan terkabulnya doa adalah Tuhan, sedangkan orang saleh yang sudah meninggal sebatas perantara saja. Sehingga, alasan mereka menggunakan perantara memang karena kondisinya tidak menganggap orang saleh yang sudah meninggal menjadi sebab terkabulnya doa.
Berbeda dengan orang kafir penyembah berhala, mereka beralasan bahwa menyebah berhala adalah perantara beribadah pada Tuhan, karena mereka ingin membentuk rasionalisasi supaya tidak didakwahi terus menerus. Rasionalisasi ini merupakan bentuk pertahanan diri agar tetap dapat menyembah berhala. Dengan kata lain, orang kafir sadar betul bahwa mereka tidak ingin menyembah Tuhan yang diserukan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi lebih ingin menyembah berhala.
Jika membahas dalil (terlebih Alquran dan Sunnah), didapati banyak sekali aturan dan tata cara menggunakan dalil. Hal ini dikarenakan dalam Alquran banyak sekali jenis ayat, misalkan ayat muhkamat dan mutasyabihat, ayat qathi dan dhanni, ayat nasikh dan mansukh, serta ayat umum (tidak terikat konteks) dan ayat khusus (terikat konteks). Seringkali kelompok itu menjadikan ayat khusus untuk dikenakan kepada umat Islam saat ini hanya berdasarkan adanya unsur fisik yang sama, meski hakikat kondisi yang berbeda.
Maka dari itu, kita perlu berhati-hati terhadap orang semacam ini karena pandai beretorika meski dalilnya seringkali dipaksakan. Selain itu, juga harus mempelajari Islam semacam mendalam dan tepat guna membentengi diri dari retorika kelompok ini.
Secara psikologis, ada perasaan superior pada diri mereka karena sudah berupaya untuk sesuai dalil (meski berdasarkan penafsiran subjektif mereka), sehingga membuat mereka menjadikan Islam kaffah dalam bentuk suatu sistem sebagai suatu misi.
Terakhir, Islam kaffah memang harus diupayakan dan dicapai. Tetapi, bukan berarti Islam kaffah hanya bisa dicapai dengan mewujudkan Islam ke dalam sistem legal formal termasuk khilafah. Banyak jalan menuju Islam kaffah. Terpenting, menjalankan Islam sesuai dengan Alquran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas, lalu menerapkan prinsip dan nilai Islam ke dalam semua lini kehidupan tanpa harus mendirikan suatu sistem. Mengutip kata Prof. Dr. Mahfud MD, seringkali hukum dan konstitusi itu diubah tapi tidak menyelesaikan masalah. Sebab, masalahnya adalah moral.