Aksi-aksi teror dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum Islam, kadang-kadang sampai membuat stereotip, apa benar Islam itu kejam? Kayaknya kok segitunya sih Islam ini. Apa ndak ada narasi perdamaian di dalamnya?
Hal-hal seperti ini memang kadang muncul bagi mereka yang belum mengerti soal Islam secara mendalam. Tapi kalau sudah dikaji, maka akan banyak kita temukan nash-nash syariah yang menyeru kepada perdamaian. Sebagaimana arti kata Islam sendiri yang bermakna keselamatan atau perdamaian.
Ajaran Islam ini berkisar pada upaya memberi kasih sayang kepada sesama manusia. Dalil naqli jelas, bahwa Allah Swt mengutus Nabi Muhammad saw semata-mata sebagai rahmat bagi semesta alam (Q.S. Al-Anbiya’ : 107). Apa makna rahmat? Kalau kita tengok Syaikh Ahmad Musthafa Al Maraghi dalam tafsirnya, beliau mengartikan bahwa rahmat adalah perasaan jiwa yang mendorong pemiliknya untuk berbuat baik kepada orang lain.
Contoh paling gamblang tentang rahmat ini bisa kita jumpai dalam pribadi Kanjeng Nabi Muhammad saw. Sepanjang hidupnya, Rasulullah senantiasa menebarkan kasih sayang kepada sesama. Rasulullah menjalankan misi perdamaian agar umat manusia hidup dalam tatanan yang penuh harmoni.
Untuk menjaga perdamaian, Rasulullah mengajarkan beberapa prinsip. Diantaranya melarang caci maki dan kata-kata kotor kepada pihak lain. Melaknat juga perbuatan yang tidak disukai beliau. Soal ini, Al-Habib Jindan bin Novel dalam ceramahnya di Istana Bogor dalam momen Maulid Nabi kemarin, melukiskan dengan indah.
Beliau menyitir kisah tentang peperangan, dimana ada seorang sahabat yang melapor kepada Nabi bahwa banyak kawan-kawannya terbunuh. Sahabat itu meminta agar Nabi mengutuk dan melaknat musuh. Apa jawaban Nabi?
مَا بُعِثْتُ لَعَّانًا وَلَاسَبَّابًا، اِنَّماَ بُعِثْتُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
“Aku tidaklah diutus sebagai tukang caci dan tukang laknat, aku diutus sebagai rahmat bagi semesta alam”
Jawaban yang indah bukan? Itu dalam suasana perang lho…, Nabi saw tidak mau mengutuk, sebab pada dasarnya Nabi ingin agar umatnya mendapat hidayah Allah swt.
Begitulah akhlak Rasulullah saw yang senantiasa menjaga keseimbangan umat agar tetap beriringan dalam harmoni. Maka ajaran yang dibawa, yakni agama Islam senantiasa menebarkan nilai-nilai perdamaian di alam semesta ini.
Pergerakan Perdamaian
Mengingat ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw membawa misi perdamaian, maka nilai-nilai tersebut tidak akan mendatangkan kemaslahatan kalau terhenti pada aspek wacana semata. Tak ada artinya kalau hanya koar-koar tapi tak ada aksi nyata. Maka dalam hal ini, Islam harus mewujud dalam pergerakan, yakni pergerakan perdamaian.
Dalam soal ini, kita bisa belajar banyak dalam sosok KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Masih ingat wawancara Gus Dur di acara Kick Andy pada September 2009 silam? Itulah momen dimana Gus Dur menjelaskan soal manuver perdamaiannya. Jadi ceritanya, ketika beliau menjadi presiden, sebagai seorang muslim santri, beliau risau karena dihadapkan pada kondisi Indonesia yang mengalami carut-marut dan muncul benih-benih disintegrasi. Maka tak ada cara lain selain mengupayakan perdamaian demi tegaknya NKRI dalam satu kesatuan.
Bagaimana upaya Gus Dur saat itu? Beliau berkeliling ke berbagai negara untuk mencari dukungan demi Indonesia bersatu. Dikabarkan, dalam dua puluh bulan Gus Dur melakukan lawatan sebanyak delapan puluh kali. Biaya yang ditelan cukup banyak. Sampai-sampai hal ini membuat heboh publik dan muncul tuduhan bahwa Gus Dur menggunakan aji mumpung sebagai presiden sehingga bisa jalan-jalan.
Apa jawaban Gus Dur soal ini? Beliau bilang bahwa Indonesia berhasil bersatu kembali, hal itu tidak bisa diukur dengan nominal uang. Itulah hasil yang diraih Gus Dur, yakni menyatukan kembali Indonesia. Meski hasil tersebut diraih dengan pahit, yakni dirinya dicela, namun menjadi keindahan ketika bangsanya bersatu.
Gus Dur sepertinya paham betul, bahwa usahanya pasti akan mendatangkan kemudharatan bagi dirinya. Tapi ia memilih itu, sebab madharatnya kecil. Dari pada terjadi disintegrasi bangsa yang kemudharatannya jauh lebih besar. Dalam hal ini Gus Dur memainkan prinsip :
إِذَا تَعَارَضَ ضَرَرَانِ دَفْعُ أَخْفَهُمَا
“Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan.”
Contoh lain adalah, saat menjadi presiden, pernyataan perdana dalam politik luar negeri ialah rencananya membuka hubungan dagang dengan Israel, serta memperbaiki hubungan diplomatik serta ekonomi dengan China dan India. Dengan membuka jalan ke Israel, Gus Dur berharap bisa menjadi saluran perdamaian di Timur Tengah antara Israel dan Palestina.
Rencana Gus Dur saat itu juga menghebohkan publik hingga muncul tuduhan yang macam-macam. Tapi hari ini langkah tersebut dibutuhkan. Sebagaimana catatan pengamat Timur Tengah, Ibnu Burdah (2017), bahwa Indonesia menghadapi dilema untuk menyampaikan misi Palestina sebab tidak ada saluran ke Israel.
Apa yang dilakukan Gus Dur ini adalah wujud nyata bagaimana Islam sebagai gerakan perdamaian dipraktekkan. Soal hasilnya belum maksimal, itu bukan kewenangan kita. Yang penting ikhtiar terus diupayakan. Indah bukan?
Fatkhul Anas, penulis tinggal di Yogyakarta. Bisa disapa lewat akun twitter @fatkhulanas.