Sebagai umat Islam yang kadang kelewat bergairah dalam aksi amar ma’ruf nahi munkar hingga melampaui batas, kita baiknya mendaras dan menghujam-renungkan dalam sanubari Hadis berikut:
Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah Saw didatangi oleh para sahabatnya dengan membawa seorang peminum arak. Rasulullah Saw lau bersabda, “pukullah ia.” Abu Hurairah r.a berkata: maka di antara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan terompahnya, dan ada yang memukul dengan menyabetkan bajunya. Setelah selesai, sebagian orang-orang tadi ada yang berkata, “Semoga engkau dihinakan oleh Allah Swt.” Rasulullah Saw seketika bersabda, “Janganlah kalian berkata demikian; janganlah memberikan pertolongan kepada setan untuk menggoda orang ini sehingga berbuat hal yang tidak dibenarkan oleh agama.” (HR. Bukhari).
Hadis ini hanyalah satu dari jubelan hadis sejenis yang dimuat oleh Imam Nawawi dalam kitabnya yang sangat terkenal, Riyadhus Shalihin. Sejumlah hadis itu memiliki pesan impresif tunggal, yakni larangan menghina, melecehkan, merendahkan, memburukkan, apalagi melaknat, menyesatkan, mengkafirkan, dan meneraka-nerakakan liyan. Bahkan kepada mereka yang secara lahiriah melakukan suatu dosa dan maksiat.
Hadis di atas –wallahu a’lam—dalam tuturan Habib Ali al-Kaff dikatakan menunjuk pada seorang peminum khamr yang kemudian menjadi sahabat dekat Rasulullah Saw yang sangat humoris dan pernah membuat beliau Saw terbahak-bahak hingga kelihatan gigi gerahamnya, yakni Nu’aiman bin Amr (Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Sirah Nabi Muhammad menyebutnya Nu’man bin Amr). Rasul Saw melarang tegas sahabat-sahabatnya, dan tentu saja kepada umat Islam, yang melontarkan cemooh dan hinaan –apalagi laknatan—kepada sang pelaku kemaksiatan itu.
Dalam hadis riwayat Jundub bin Abdullah Ra, bahkan dikatakan Rasulullah Saw bersabda, “Ada seorang laki-laki berkata: ‘demi Allah Swt, Allah Swt takkan memberikan pengampunan kepada si fulan.’
Lantas Allah Swt berfirman, ‘Siapakah yang berani bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni orang itu dan Aku menghapuskan pahala amalanmu, yakni yang bersumpah tadi.” (HR. Muslim).
Semestinya, dengan tanpa berat dan sulit, kita semua bisa ringan saja untuk menghindarkan diri dari mendampratkan ungkapan-ungkapan negatif kepada liyan, siapa pun mereka, apa pun paham Islamnya, mazhabnya, pula imannya bahkan. Karena apa? Semata karena bersikap baik kepada liyan, tidak menista liyan, merupakan perintah Allah Swt dan Rasulnya Saw. Selesai, bukan? Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas….
Ya, mestinya wajib selesai. Karena itu fardhu ’ain.
Sayangnya, sebagian kita, umat Islam, tetap saja terjerengkang dalam ungkapan-ungkapan kebencian, permusuhan, dan penyesatan itu. Bahkan, makin tragis, ungkapan-ungkapan yang secara de jure dan de facto berpunggungan telak dengan ayat-ayat Allah Swt dan sunnah Rasul-Nya Saw itu diumbulkan dengan sepenuh keyakinan kalap bahwa itulah jalan peripurna bagi sosok hanifan musliman –muslim kafah.
Aneh sekali, bukan?
Mengapa anomali demikian bisa terus terjadi?
Secara paradigmatik, analisis Dr. Fahruddin Faiz dalam bukunya yang terkenal, Hermeneutika al-Qur’an (semoga Anda tidak seketika demam hanya karena membaca judul buku ini), saya kira representatif menggalurkan fenomena tersebut.
Pertama, al-Qur’an dan pula sunnah Rasul Saw seyakin mutlak pun semua kita meyakini kebenaran keduanya dan menjadikan keduanya tanpa ragu selalu sebagai rujukan utama weltanschauung kita, gestalt, yang dengannya kita lalu men-das sein-kan identitas sang “muslim kafah”, adalah “bahasa langit” yang memerlukan penerjemahan-penerjemahan tanpa henti agar terus sinambung-ejawantah ke dalam semesta bumi yang dinamis. Kandungan al-Quran dan sunnah beserta baju bahasanya tidaklah selalu bisa kita serap mentah-mentah (menurut Abdul Wahab Khalaf, hanya sekitar 10% dari kandungan al-Qur’an yang sharih maknanya secara tekstual). Diperlukan pengkajian yang holistik terhadap keseluruhannya, dan sudah pasti hanya orang-orang khususlah yang memiliki kompetensi keilmuan tersebut (bukan sembarang orang, apalagi muallaf yang baru kenal Islam). Dari sejumlah orang-orang khusus ahli ilmu tersebut pun masih lagi diiris oleh derajat orang-orang yang hatinya, rohaninya, tulus lillahi ta’ala semata menjalankan peran kemuftiannya. Al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 7 mengistilahkannya “ar-rasikhun fil ilmi” alias “ulul albab”. Surat Fathir 28 menyebutnya “ulama”.
Kedua, sebab khittah sumber-sumber Islam memang telah ditakdirkan-Nya berkarakter “korpus terbuka” demikian, bersambunglah lalu ia dengan khittah manusia yang gemar berpikir. Ini pun bagian mutlak dari dikaruniakanNya akal, pikiran, dan ilmu kepada kita. Ayat-ayat tentang ini amatlah banyak dalam al-Qur’an, baik yang menggunakan diksi aql, fikr, dzikr, hingga fiqh (faqih). Perjumpaan keduanya alamiah menisbatkan –dalam istilah hermeneutis Hans-Georg Gadamer—fusion of horizons, yakni persekutuan antara cakrawala teks dengan cakrwala manusia penafsirnya.
Anda bisa membayangkan operasi relasi itu bagaikan “Aku dan Dia”. Sudah pasti, pada keduanya terdapat cakrwala masing-masing. Musykil nihilistik ala propaganda Nietzsche. Bagaimana mungkin saya, Anda, dan dia berjalan dalam realitas kehidupan ini dengan tanpa isi kepala, hati, pengalaman, pengetahuan, dan tujuan kepentingan? Mustahil.
Ketiga, worldview awal atau asal kita inilah, yang sudah auto-melekat pada diri setiap kita, yang membentuk bangunan “konteks” (‘illat). Ia sungguh bisa sangat personal, lokal, atau ‘urf (keadaan khas, entah itu pemikiran, budaya, tradisi, dan sebagainya) –dalam istilah Ushul Fiqh. Tentu pula sebagainnya bisa bersifat mujmal, global. Dan konteks-konteks ini amatlah luas, terus bergerak dinamis, progresif, being, hingga dapat disimpulkan sebagai “kodrat kemanusiaan kita”.
Bagaimana mungkin konteks-konteks ini dibuang bahkan umpamapun dengan tujuan adiluhung untuk memurnikan pemahaman terhadap al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw? Mustahil. Saya kira takkan pernah ada ejawantahnya slogan-slogan “kemurnian-kemurnian tafsir cum hukum” itu. Ya, itu hanya akan terus kejedot sebagai slogan-slogan utopis belaka, yang ironisnya diyakini dengan lugu belaka oleh banyak muslim sebagai kebenaran otentik. Padahal, ya, ia hanya selalu utopia –bahkan tak pernah terjadi di era salafus shalih.
Tersebab relasi integral antara ketiga pilar tersebut bersifat mutlak, sungguh sangat logis dan alamiah bila lalu lahirlah perbedaan-perbedaan penangkapan, pemahaman, dan penyimpulan tafsir, fatwa, dan hukum di antara kita. Sejak dulu kala, dimulai sepeninggal Rasulullah Saw, di era Khulafaur Rasyidin. Hingga zaman kita dan terus akan begitu secara alamiah zampai akhir zaman.
Maka merebaknya keragaman dan kemajemukan paham, mazhab, fiqh antar-kita sekarang ini sesungguhnya sesederhana dan segamblang itu penjelasan logisnya untuk bisa kita terima dan pahami bersama. Pun lantas semudah itu seyogianya bagi semua kita untuk mendulang kesadaran saling menghormati antar-kita. Dan tepat dari titik denyar inilah tegaknya kerahmatan, etika, adab, unggah-ungguh antarkita merupakan keniscayaan telak alamiah belaka. Begitu setepatnya yang mesti terjadi antarkita, selaras jernih dengan akal sehat paling sederhana.
Sayangnya, anomali itu terus merebak, bahkan diajarkan, dikhutbahkan, diwariskan luas-luas, dengan sangat heroik-sok-idih. Walhasil, ungkapan-ungkapan kebencian, permusuhan, dan takfiri terus berbiak laksana virus, dengan senantiasa mengatasnamakan kepemilikan tunggal kebenaran, marwah Islam, ittiba’ al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. Seolah yang memiliki atau mengikuti pemahaman dan mazhab lain bukanlah golongan yang mencintai Islam, ittiba’ al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw, karenanya salah, buruk, dan sesat.
Allahu, di kemanakan gerangan akal sehat karunia-Nya?
Ini sungguh tragedi bagi keislaman dan kemusliman kita. Sungguh tragedi, dari perspektif apa pun!
Kepada mereka yang terus menendangkan ungkapan-ungkapan kebencian dan permusuhan kepada sesama muslim dan manusia itu, pertanyaannya bagi saya menjadi sesederhana ini:
Bagaimana penjelasan rasionalnya bahwa kebenaran fatwa-fatwa terhadap al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw benar-benar hanya milik Anda sendiri, sehingga yang selainnya sontak salah dan sesat, karena tak sesuai dengan maksud Allah Swt dan Rasul-Nya Saw?
Dan, bagaimana tanggung jawab moral Anda kala mengklaim hal demikian, sehingga konsekuensinya memberikan dampak fallacy kepada seluruh paham, fatwa, dan fiqh warisan para ulama terdahulu, yang sebagiannya benar-benar tergolong salafus shalih?
Juga, bagaimana bisa rohani Anda yang hidup di era kemilau merkuri materialistik begini sanggup mendaku lebih wira’i dibanding para ulama terdahulu itu?
Plus, terakhir, bagaimana Anda menjelaskan sikap-sikap keras, kasar, dan buruk kepada liyan sebagai ekspresi sahih hanifan musliman (muslim kafah) dan mencantelkannya kepada kemurnian ittiba’ al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw, padahal nyata-nyata muskil dibantah khazanah ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw yang melarang tegas dalam banyak dalil naqli segala sikap menghina, melecehkan, merendahkan, memburukkan, apalagi melaknat, menyesatkan, mengkafirkan, dan meneraka-nerakakan liyan, bahkan termasuk kepada mereka yang secara lahiriah benar-benar melakukan suatu maksiat ataupun beda iman?
Semoga Allah Swt menjaga kita semua untuk tetap dalam hidayah-Nya, bimbingan-Nya, dan agama-Nya yang bersih dari pelbagai ambisi hawa nafsu. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.