Setiap negara memiliki tantangannya sendiri. Tantangan itu bisa muncul dari sektor apapun: politik, demografi, hubungan internasional, ekonomi, ideologi, atau agama. Tak hanya tantangan, seringkali negara juga harus bergelut dengan paradoks dan ironi sekaligus. Prancis salah satunya.
Kita tahu, Prancis adalah negara di Eropa yang paling multikultural. Dia tak hanya dihuni oleh kaum kulit putih Kaukasian, melainkan juga ada beragam ras, suku, dan agama. Contoh paling gampang, kita bisa lihat komposisi timnas sepakbolanya.
Meski dikenal sebagai negara maju, Prancis tak otomatis jauh dari masalah-masalah serius. Bahkan, ada satu masalah nasional yang tak asing di telinga kita, yaitu radikalisme agama. Negara mode itu ternyata juga punya masalah yang hampir mirip dengan negara kita yang tidak mode-mode amat ini.
Alkisah, pada akhir tahun 1960an hingga 1970an, Prancis menjadi tempat tujuan imigrasi besar-besaran bangsa Afrika dan Arab. Itulah saat di mana Islam, agama yang menjadi identitas para imigran, mulai masuk secara masif ke Prancis. Hingga saat ini, Prancis telah bertransformasi menjadi negara dengan jumlah Muslim terbanyak di Eropa, bahkan dunia Barat.
Islam adalah agama terbesar kedua setelah Kristen-Katolik di sana. Total populasi Muslim di Prancis telah mencapai 5.720.000 pada tahun 2017, atau sekitar 8.8% dari total populasi. Dari jutaan penduduk Muslim itu, sebagian besarnya berasal dari negara-negara maghribi seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia.
Perihal Islam, di Indonesia barangkali kita memiliki masalah mayoritarianisme yang serius. Hal ini dinikmati oleh banyak masyarakatnya dan didukung oleh negara lewat kebijakan dan instansinya. Di Prancis agaknya berbeda. Pertama, karena Islam bukanlah agama mayoritas di sana, meskipun jumlahnya meruah. Kedua, Prancis adalah negara sekuler. Dia memiliki konsep sekularisme yang lebih ekstrim dibanding, katakanlah, AS dan Inggris. Mereka menyebutnya: laïcité.
Di masa lalu, Prancis memang sempat meleburkan negara dengan agama –dalam hal ini otoritas gereja. Namun sejak negara resmi memisahkan diri dari agama pada tahun 1905, laïcité bekerja dengan tegas. Konsep sekularisme ini bahkan menekankan bahwa negara Prancis tidak mengakui, membiayai, dan mensubsidi lembaga keagamaan apapun. Laïcité juga melarang simbol-simbol agama hadir di ruang publik.
Meski ada beberapa kelebihan dari laïcité, tapi nyaris mustahil kalau mengatakan laïcité baik-baik saja. Berbagai pergolakan, perdebatan, dan masalah muncul satu-persatu akibat diterapkannya sistem ini.
Sebut saja katering sekolah di kota Chilly-Mazarin, Prancis. Mereka tidak memberi pilihan makanan non-babi bagi siswanya yang Muslim dan Yahudi. Jean-Paul Beneytou, sang walikota bersikukuh bahwa hal itu masuk akal demi menjaga “netralitas” sektor publik.
Di Publier, kota kecil di wilayah timur Prancis, sebuah patung Bunda Maria diturunkan atas perintah pengadilan karena didirkan di ruang publik. Pada kasus lain, terjadi pelarangan pemakaian burkini –pakaian renang yang menutupi badan– bagi para perempuan Muslim yang sedang berada di kolam renang umum atau pantai.
Dari berbagai peristiwa itu, tentu saja protes tak bisa dibendung. Di media sosial banyak warganet mengecam. Penyampaian aspirasi juga tak sedikit disalurkan warga dengan turun ke jalan. Protes-protes mereka memunculkan sebuah sintesis, yaitu dengan membenturkan pemisahan negara-agama di satu sisi dan pelanggaran hak dasar manusia dalam berkeyakinan di sisi lain.
Ironi laïcité belum berhenti sampai di situ. Seperti yang kita singgung di awal, Prancis juga memiliki masalah serius dengan radikalisme agama. Pangkalnya sebenarnya sama: konsekuensi dari sekularisme ini.
Kita ingat, pada malam tanggal 13 November 2015, kota Paris digoncang serangan teroris hebat. Serangkaian serangan –penembakan masal, bom bunuh diri, dan penyanderaan- itu menjatuhkan banyak korban jiwa. Prancis berduka. Seluruh dunia mengutuk.
Pasca-serangan Paris itu, otoritas Prancis untuk pertama kalinya menutup tiga masjid berideologi Islam radikal. Masjid-masjid tersebut berlokasi di Lagny-sur-Marne, Lyon, dan Gennevilliers.
Setahun setelahnya, otoritas Prancis melaporkan bahwa 120 dari 2.500 masjid yang ada di sana menyebarkan ide-ide salafi, dan 20 di antaranya ditutup karena mengumbar ceramah kebencian. Alasan serupa diterapkan oleh pemerintah di Grenoble untuk menutup masjid Al-Kawthar selama enam bulan.
Berbagai penutupan ini dirasa perlu bagi pemerintah, mengingat dampaknya yang berbahaya. Seringkali dalam khotbahnya, para imam di masjid-masjid Prancis diketahui melegitimasi jihad bersenjata, kekerasan, dan kebencian terhadap pengikut agama-agama lain.
Kamel Daoud, novelis Aljazair, pernah menulis kritik perihal gencarnya Prancis mengimpor Imam dari luar. Dalam artikelnya berjudul France Has Millions of Muslims. Why Does It Import Imams?, dia –dengan nada mengejek– menunjukkan paradoks yang dialami oleh Prancis dalam menangani radikalisme.
Pasalnya, komunitas Muslim di Prancis hanya bergantung pada swadaya internal untuk membangun masjid atau menyekolahkan calon imamnya. Tidak ada bantuan dari dana publik atau lembaga negara sama sekali. Hal ini, sampai level tertentu, mengharuskan mereka bergantung pada bantuan negara Islam di luar Prancis seperti Aljazair, Maroko, Turki, dan Arab Saudi.
Negara-negara tersebut memang bersedia memberi dana bantuan, atau bahkan mengirimkan imam ke Prancis. Namun sebenarnya bantuan-bantuan itu bukanlah tanpa harga. Aljazair bisa jadi mempunyai misi mengembalikan stabilitas negaranya, Arab Saudi menjadikan misi dakwah ini sebagai kekuatan ideologi yang halus, sedangkan Turki tampaknya sedang berinvestasi dalam memelihara lobi keagamaan ke luar negeri.
Tapi yang lebih mengkhawatirkan dari itu semua adalah Islam di Prancis menjadi rentan dimasuki paham radikal. Kita bisa melihat, saat ini pemerintah Prancis sedang terjebak dalam sebuah paradoks. Di satu sisi, negara mau tak mau harus turun tangan mencampuri urusan agama. Di sisi lain, jika negara tetap idealis dengan prinsipnya, maka keamanan nasional menjadi taruhannya.
Terkait apapun keputusannya, mari kita serahkan pada otoritas negara tersebut. Tapi saya sedikit berandai, kalau saja Presiden Macron membicarakan persoalan ini dengan Presiden Jokowi saat bertemu di KTT G20 di Jepang kemarin, barangkali Jokowi bisa mengusulkan mengirim imam-imam moderat dari NU atau Muhammadiyah, dua organisasi Islam yang baru saja masuk nominasi peraih Nobel Perdamaian. Ya siapa tahu kan?
Mohammad Pandu, penulis adalah penikmat kajian Islam di Eropa.