Upaya Macron Redam Protes Anti-Prancis: Telepon Pemimpin Muslim Sampai Kirim Utusan Khusus

Upaya Macron Redam Protes Anti-Prancis: Telepon Pemimpin Muslim Sampai Kirim Utusan Khusus

Demi redam rangkaian protes anti-Prancis, Emmanuel Macron telepon pemimpin Muslim sampai berencana kirim utusan khusus untuk klarifikasi.

Upaya Macron Redam Protes Anti-Prancis: Telepon Pemimpin Muslim Sampai Kirim Utusan Khusus
Foto: (AP Photo/Emrah Gurel)

Respon Presiden Prancis Emmanuel Macron terhadap penayangan kartun Nabi Muhammad telah menuai ketegangan di negara-negara mayoritas Muslim. Mulai dari Turki, negara Timur Tengah sampai Indonesia, ramai-ramai menyerukan anti-Prancis sampai memboikot produk Prancis. Tak ayal, Prancis berusaha sedapat mungkin meredakan ketegangan ini dengan berbagai cara.

Macron sebenarnya sudah berusaha menjelaskan statemennya melalui wawancara panjang dengan Al Jazeera untuk menggaet dukungan, tetapi sejauh ini Macron hanya menerima dukungan dari Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA), Anwar Gargash.

Menteri Luar Negeri UEA tersebut mengatakan bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron benar dalam seruannya untuk “mereformasi” Islam demi “mengintegrasikan” Muslim ke dalam masyarakat. “[Muslim] harus mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan Macron dalam pidatonya,” kata Anwar Gargash kepada harian Jerman Die Welt, “Dia tidak ingin mengisolasi Muslim di Barat, dan dia sepenuhnya benar.”

Selain Anwar Gargash, Macron juga berbicara melalui telepon kepada pemimpin Palestina, Mahmoud Abbas, untuk meyakinkan bahwa dia membedakan antara terorisme dan ekstremisme di satu sisi, dan Islam dan pemikiran Islam di sisi lain.

Macron juga diberitakan menelepon Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi pada Senin (2/11) lalu, menurut berita dari Egypt Today. Juru Bicara Kepresidenan Mesir Bassam Radi, menyatakan:

“Presiden (al-Sisi) menekankan perlunya untuk membedakan sepenuhnya antara agama Islam yang menyerukan perdamaian, toleransi, dan penolakan kekerasan, dengan tindakan teroris yang dilakukan oleh mereka yang mengklaim bahwa mereka adalah bagian dari Islam,” Presiden al-Sisi menambahkan “[Islam] tidak ada hubungannya dengan tindakan seperti itu dalam segala bentuk. Pelaku tidak boleh membenarkan tindakan [teroris] mereka atas nama agama manapun.”

Banyak pemimpin negara Muslim, terutama wilayah Arab, mengutuk pembunuhan guru bahasa Prancis Samuel Paty pada 16 Oktober, pembunuhan berikutnya di Nice dan peristiwa serangan teror terakhir pada Senin malam di Wina. Akan tetapi para pemimpin negara Muslim mengkritik secara eksplisit dan implisit terhadap sikap Macron yang kukuh membela kebebasan berekspresi.

Dalam rangkaian seruan anti-Prancis, Macron secara pribadi telah dibuat karikatur di pers Iran digambarkan sebagai setan. Simbolisasi patung Macron dibakar di Bangladesh ketika 50.000 pengunjuk rasa turun ke jalan. Seruan untuk memboikot produk Prancis, yang didorong oleh presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, juga telah diluncurkan dan meluas ke negara mayoritas Muslim termasuk Indonesia.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan “Menolak setiap upaya untuk menghubungkan Islam dengan terorisme, dan mengutuk kartun yang menyinggung nabi”.

Respon panas juga dilontarkan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad sempat menulis di Twitter bahwa “Muslim memiliki hak untuk marah dan membunuh orang Prancis” , meski kemudian cuitan tersebut dihapus oleh Twitter atas desakan pemerintah Prancis.

Emmanuel Macron menekankan bahwa kartun tersebut bukan publikasi resmi negara. Dia berkata: “Saya memahami dan menghormati bahwa kami dapat dikejutkan oleh kartun ini, tetapi saya tidak akan pernah menerima bahwa kami dapat membenarkan kekerasan fisik untuk kartun ini. Saya akan selalu membela di negara saya kebebasan untuk mengatakan, menulis, berpikir, menggambar.” Ungkapnya beberapa waktu lalu.

Surat kabar The Guardian menyebutkan pada Kamis (5/11) kemarin, ketegangan ini mendorong Prancis mempertimbangkan untuk menunjuk utusan khusus ke negara-negara Muslim untuk menjelaskan pemikiran Emmanuel Macron tentang sekularisme dan kebebasan berekspresi. Langkah ini diambil dalam upaya untuk memadamkan reaksi anti-Prancis yang tumbuh di beberapa negara Muslim.

Pertumbuhan sentimen anti-Prancis juga berpotensi memperdalam konflik yang sudah mengakar antara Macron dan Turki mengenai Libya dan eksplorasi minyak di wilayah Mediterania timur. Dilansir Republika, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian berencana berkunjung ke Nigeria, Mesir, dan Maroko pada pekan ini.