Ada dua teori klasik yang memaparkan masuknya Islam di bumi Nusantara ini. Yakni Islam yang datang dari Arab (Hadramaut) yang diendorse oleh Nieman dan de Hollander, dan Islam dari Gujarat (India) yang diajukan oleh Pijnapel dan selanjutnya diteliti oleh Snouck Horgronje. Di luar dua teori besar tadi, ada pula teori Islam dari Cina yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa. Akan tetapi tesis yang terakhir penulis sebutkan ini kurang populer, karena narasi tunggal teori klasik Islam dari Arab sudah begitu mapan selama berpuluh-puluh tahun menjadi narasi sejarah populer (dan bisa dibilang resmi karena didukung oleh pemerintah) Indonesia.
Teori Islam Arab bahkan sudah mendarah daging dan menjadi ideologi otentisitas yang didukung oleh pemerintah maupun yang dianut masyarakat. Ibaratnya jika ada teori yang menyebutkan bahwa Islam tidak datang dari Timur Tengah, maka wajib ‘ain dipertanyakan karena tidak sahih, atau bahkan serta merta dianggap salah. Ditambah dengan posisi keturunan Arab terutama Habaib yang mendapat tempat istimewa di kalangan Muslim Indonesia, rasanya Arab menjadi satu-satunya entitas yang legitimate untuk mengklaim datangnya Islam ke Indonesia.
Padahal kita tidak bisa menafikan entitas etnis dan budaya lain yang turut berjasa mengantarkan Islam ke Indonesia. Salah satunya adalah etnis Tionghoa, yang akan penulis paparkan dalam tulisan berikut.
Pentingnya unsur Tionghoa dalam islamisasi di Indonesia bukan sesuatu yang baru. Di antara para sejarawan Indonesia, Slamet Muljana adalah salah satu yang getol mengangkat unsur Tionghoa dalam islamisasi, melalui karyanya yang berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968). Muljana mengemukakan bahwa Islam yang ada di Nusantara ini bukan Islam yang tunggal satu varian saja, melainkan Islam hibrida yang lahir dari hasil perkawinan beberapa varian budaya, termasuk Tionghoa. Jika teori Arab berpatokan pada ditemukannya batu nisan Muslim sebagai bukti awal datangnya Islam, Muljana melakukan pendekatan lain, yakni melalui kabar koloni masyarakat Tionghoa yang tersebar di Sumatra dan Jawa. Koloni ini tidak lain berkat ekspedisi Laksamana Cheng Ho dari tahun 1405 sampai 1433.
Bahkan Muljana berani mengusulkan bahwa sebagian dari Wali Songo yang kita kenal itu adalah peranakan Tionghoa sehingga menimbulkan kontroversi. Alhasil buku ini dilarang peredarannya oleh pemerintah Orde Baru. Teori ini tenggelam oleh kontoversi yang meliputinya. Sentimen anti-Cina sedang gencar-gencarnya akibat peristiwa G30S. Segala yang berbau Tionghoa dilarang, warga Tionghoa menjadi warga negara kelas dua, antara lain dipaksa untuk menanggalkan nama aslinya dan mengubahnya menjadi nama yang berbau Indonesia. Akhirnya haram juga bagi teori Muljana untuk muncul dalam narasi sejarah Islam di muka publik. Buku Muljana dibredel dan teori klasik Islam Arab sebagai pemain tunggal makin mapan dan seakan tidak terbantahkan.
Kurang lengap jika tidak menyebutkan nama Gus Dur sebagai salah satu yang mendukung teori Islam dari Cina. Salah satu tulisan Gus Dur bisa ditemui di pengantar buku Pergulatan Mencari Jati Diri: Konfusianisme di Indonesia (Interfidei, 1995). Alih-alih membahas tentang Konfusianisme, dalam pengantarnya Gus Dur justru meyakinkan masyarakat bahwa Islam tidak akan lestari di Indonesia sampai sekarang jika tanpa peran masyarakat Tionghoa. Menyambung uraian teori Muljana di atas, Gus Dur menjelaskan bahwa koloni masyarakat Tionghoa Muslim ini sudah mapan di Asia Tenggara, terutama Nusantara. Koloni ini sebagian adalah para Muslim yang lari akibat konflik di Cina daratan dan sebagain lain adalah para awak ekspedisi Cheng Ho yang tinggal menetap untuk berdakwah.
Jauh sebelum kita khawatir tentang arus tenaga kerja Tionghoa di Indonesia, koloni Tionghoa Muslim di Nusantara ini menimbulkan kecemasan tersendiri bagi penguasa di Cina daratan. Mereka takut jika di kemudian hari koloni Muslim ini menjadi ancaman politik dan ekonomi di Cina daratan. Sehingga koloni-koloni tersebut dibubarkan dan kapal-kapal ekspedisi dibakar oleh pemerintah kerajaan Cina saat itu. Kebijakan politik ini berakibat “sepi”nya eksedisi pelayaran Cina sejak abad 15 yang kemudian berganti diisi oleh era ekspedisi Eropa yang ujungnya menjadi kolonialisme dan penjajahan di negara-negara Timur sepanjang abad 16 sampai 20.
Gus Dur juga menambahkan dengan pengamatan antropologis yang tajam. Buktinya antara lain tiga makam auliya’ di Troloyo, Mojokerto, yang menjadi situs sejarah kerajaan Majapahit. Terdapat tiga makam di komplek itu, yaitu Syekh Usman Ngudung, Syekh Jumadil Kubro dan Syekh Abdul Qadir As-Siny. Nama terakhir menyandang nama as-Siny, menunjukkan dia beretnis Tionghoa (Cina) dan ditengarai sebagai saudara tua dari Raden Patah, yang juga beretnis Tionghoa (Jin Bun). Syekh Abdul Qadir ini adalah panglima yang gugur dalam usahanya menggempur Majapahit. Fakta dia dikuburkan di dekat pusat kekuasaan Majapahit menunjukkan bahwa dia adalah sosok penting dalam keruntuhan Majapahit, yang kemudian sejarah mencatat munculnya Kasultanan Islam Demak.
Slamet Muljana dan Gus Dur ini hanyalah sebagian kecil dari intelektual yang mendukung teori Islam dari Cina. Sekilas, teori ini seperti menantang teori Islam dari Arab yang sudah mapan dan diyakini. Bukan untuk dipertentangkan apalagi anti-Arab, justru teori ini menjadi kepingan dari mozaik pembentuk khazanah Islam (dan) Nusantara yang menjadi titik lebur bermacam peradaban sejak berabad-abad lamanya. Sangat disayangkan jika kekayaan sejarah ini tertutupi oleh politik sektarian dan sentimen identitas yang melihat segala sesuatunya dari kacamata kuda. Yang mengatakan bahwa satu versi mesti benar dan menang dengan mengalahkan versi lain.
Sejarah tidak hanya sekadar perdebatan fakta dan menang-menangan bukti yang paling akurat. Kita sebagai pembaca dan pelaku sejarah ditantang untuk bersikap terbuka dan legowo terhadap segala narasi alternatif yang ada, sekecil apapun. Dengan perspektif yang lebih luas, masyarakat diharapkan bisa makin terbuka dan tidak menutup mata, bahwa etnis Arab maupun Tionghoa punya peran masing-masing dalam perkembangan Islam di Nusantara.
Walhasil, sejarah tidak hanya menjadi patung monumen yang mati. Sudah seharusnya sejarah menjadi salah satu upaya menjaga keawarasan kita dalam beragama dan bermasyarakat. Supaya tidak lupa bahwa keberagaman adalah rahmat Tuhan yang dititipkan-Nya kepada kita.
Rifqi Fairuz, penulis adalah pegiat di Islami Institute dan Gusdurian Jogja.