Sampai saat ini, kosa kata “Tionghoa” dalam kamus kesadaran masyarakat Indonesia lebih banyak mempunyai konotasi makna yang mengarah kepada sesuatu yang negatif. Terlebih lagi, sentimen negatif yang berbau Tionghoa kembali menguat ketika terjadi gonjang-ganjing Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin, yang berujung dipenjarakannya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dituduh telah melakukan penistaan agama.
Warga keturunan Tionghoa pun hingga saat ini pun masih sering mengalami diskriminasi. Misal di Yogyakarta, mereka masih dipersulit atas kepemilikan hak tanah. Yang paling parah ketika terjadi aksi huru hara reformasi 1998. Pada masa itu, orang-orang Tionghoa menjadi sasaran amuk massa oleh penduduk lainnya. Bahkan, pada saat itu terjadi pemerkosaan besar-besaran yang korbannya adalah sebagian besar perempuan-perempuan keturunan Tionghoa. Hingga saat ini persepsi negatif terhadap warga Tionghoa masih terjadi di mana-mana. Bahkan, pasca Pilkada DKI Jakarta yang lalu, konotasi negatif terhadap yang berbau dengan Tionghoa semakin parah. Saat ini kosa kata Tionghoa disejajarkan dengan kata “Anti-Islam”.
Sentimen anti Tionghoa di Indonesia sebenarnya berkembang sudah sangat purba. Pada mulanya, munculnya sentimen anti Tionghoa tersebut merupakan salah kaprahnya kebijakan Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang lebih memberikan previlese (keistimewaan) kepada orang-orang Tionghoa daripada Pribumi. Dimulai dari situ kemudian terjadi persaingan dagang antara orang-orang Pribumi dengan para importir dan pedagang Tionghoa.
Naasnya, kemudian kebijakan salah kaprah yang rasis tersebut dilanjutkan oleh rezim Suharto. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Vedi Hadiz dalam kuliah umumnya beberapa waktu lalu di FISIP Universitas Indonesia bahwa rezim Suharto memberikan previlese kepada pengusaha-pengusaha yang berdarah Tionghoa untuk melanggengkan bisnsnya melalui kebijakan pemerintahannya. Yang kemudian menimbulkan konglomerasi besar-besaran warga keturunanTionghoa.
Dimulai dari kebijakan pemerintah Orde Baru tersebut menjadi bagian penyebab semakin menguatnya sentimen rasis terhadap warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Orang-orang Indonesia lainnya merasa iri dengan kebijakan yang tidak fair tersebut. Lebih parah lagi, konotasi negatif terhadap warga keturunan Tionghoa di Indonesia juga terjadi dalam dunia layar tanah air. Seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Prof. Ariel Heryanto (2015) bahwasanya warga keturunan Tionghoa tidak pernah tampil dalam layar perfilman tanah air. Dalam dunia layar (perfilman), warga keturunan Tionghoa belum diakui sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia.
Sebetulnya sudah mulai ada upaya-upaya kampanye untuk meredam kesalah-pahaman yang ditujukan kepada warga keturunan Tionghoa. Seperti kampanye yang dilakukan oleh koh Ernest Prakarsa melalui karya film-filmnya. Melalui dua filmnya, Ngenest (2015) dan Cek Toko Sebelah (2016), Koh Ernest berusaha menampilkan sosok-sosok dan kehidupan sehari-hari orang Tionghoa dalam layar perfilman tanah air. Yang sebenarnya, dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana manusia pada umumnya, orang-orang Tionghoa mempunyai perilaku dan watak yang tak jauh beda dari kita semua. Upaya demikian yang dilakukan seperti Koh Ernest tersebut merupakan usaha yang positif.
Sebenarnya, harus banyak dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi rasisme terhadap warga keturunan Tionghoa. Seperti yang pernah dilakukan oleh Almarhum Gus Dur saat menjabat presiden dengan mengakui agama Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Upaya pengakuan tersebut penting dalam sisi konstitusionalnya. Upaya ini sebagai pengukuhan bahwasanya warga keturunan Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia.
Akan Tetapi nampaknya belakangan ini harus ada upaya yang lebih intens lagi untuk mengikis rasisme terhadap warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Seperti yang sudah disinggung di atas, bahwasannya setelah peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu sentimen anti Tionghoa semakin menguat. Lebih parahnya, warga keturunan Tionghoa sekarang di identifikasi oleh kelompok ekstrim Islam sebagai “anti Islam”.
Kalau kita amati sebenarnya bentuk dari rasisme terhadap warga keturunan Tionghoa terjadi pergeseran pemaknaan. Kalau sebelumnya, rasisme terhadap warga keturunan Tionghoa merupakan rasis yang berbasis etnis tanpa ada unsur-unsur sentimen agama. Tetapi hal itu berubah sejak peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu dan menguatnya tuduhan penistaan agama terhadap Ahok.
Untuk saat ini, rasisme terhadap warga keturunan Tionghoa diimajinasikan sebagai musuh Islam oleh sebagian kelompok Islam. Seperti yang pernah dikatakan oleh Ulil Abshar Abdalla dalam sebuah kuliah umum di Yayasan Jurnal Perempuan Jakarta bahwasanya saat ini kelompok Islam yang suka dengan aksi kekerasan, langkah yang mereka tempuh untuk membangun kesadaran identitas keislamannya, mereka sengaja menciptakan musuh imajinernya dari luar Islam yang seolah-olah akan mengancam Islam. Jadi, musuh imajiner diciptakan untuk membangkitkan kesadaran identitas keislamannya. Dan belakangan, setelah Pilkada DKI Jakarta yang lalu, ancaman imajiner yang seolah-olah akan mengancam Islam tersebut adalah hal-hal yang berbau Tionghoa.
Perlu diketahui, Islam tidak mengenal situ Tionghoa atau pribumi. Islam lebih dikenal sebagai agama yang mengajarkan kebaikan dan kedamaian, tanpa melihat identitas suku, ras, warna kulit, dan madzhab. Jika berislam membuat kita membenci yang beda, pertanyaannya adalah: nabi siapakah yang kita anut? Wallahhu a’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.