Hari ini seorang kawan saya, seorang perempuan,memutuskan meremove semua rekan lelakinya di akun twitter. Ini merupakan kali kedua setelah sebelumnya melakukan hal yang sama pada akun Facebooknya tiga tahun lalu. Saya awalnya tak ingin campur tangan dan genit bertanya. Namun kali ini saya menyerah pada keingintahuan lantas memutuskan bertanya ia menjawab “Suamiku sweeping follower. Sepertinya aku terlalu banyak berinteraksi dengan kawan lelaki yang bukan muhrim.” Mendengar itu saya hanya bisa diam.
Sampai detik ini saya masih gagal mengerti. Apakah islam memang memasung hak para perempuannya?
Saya percaya dalam Islam, posisi lelaki dan perempuan setara. Tidak dikotomi sebagai jender nomor dua atau kelas sekunder. Banyak ayat dalam Al-Quran yang menyatakan hal itu. Bahwa sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim dan memelihara kehormatannya, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Seperti yang dikatakan dalam Al Ahzab 35.
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Atau yang secara eksplisit tertulis dalam At Taubah 71. Mengenai distribusi peran bagi sesama umat muslim terlepas apa jenis kelamin mereka. bahwa “Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain” kata Allah dalam firmannya itu. Dalam pemahaman yang paling kasat mata pun bisa dipahami bahwa dalam kelompok orang beriman, Allah tak membedakan posisi lelaki dan perempuan. Ia menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai seorang Mukmin.
Masih dalam At Taubah 71 Allah meyerukan perbuatan yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah serta Rasul-Nya. Bahwa dalam perihal proses semua umat manusia memiliki tanggung jawab dan cara ibadah yang sama. Sama-sama bersyahadat, puasa, berzakat, dan sama-sama memiliki hak untuk diberi rahmat oleh Allah. Lalu mengapa kita, yang hanya umat dan bukan nabi melakukan pembatasan?
Saya kira ada banyak hal yang mesti dibenahi perihal sikap kita pada perempuan dalam islam. Kita tak lagi hidup di zaman Rasul yang memiliki sejarah perang antar suku yang keras. Dimana saat itu perempuan dan anak-anak selalu menjadi korban. Bahwa menjaga perempuan dengan melarang mereka ke luar rumah tanpa pengawalan dan izin adalah keniscayaan untuk keselamatan. Kita harus bijak memahami bahwa saat ini, perempuan, bisa menjadi lebih tangguh dalam banyak daripada lelaki.
Dalam salah satu esai yang sangat manis dari Said Aqil Siraj, ketua PBNU, ia sedang mengkritisi mengenai pemahaman Islam secara tekstualistik dan legal-formal. Dimana pemaknaan dan pemahaman secara taklid buta tanpa disertai pembanding dan sumber yang jelas, sering melahirkan sikap ekstrem yang melampaui batas. “Padahal,” sebut Said Aqil “Al Quran tidak melegitimasi sedikit pun segenap perilaku dan sikap yang melampaui batas.”
Imam Ahmad pernah menarasikan sebuah hadist Dari Rasulullah “Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama,” katanya dengan sebuah penekanan, karena “sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam agama.” Sikab berlebihan atau melampaui batas dalam meyakini suatu hal atau ghuluw. Sikap ini toh pada akhirnya melahirkan fasisme pemikiran yang secara taklid buta membenarkan pendapat diri sendiri sebagai yang paling benar.
Sikap ghuluw terhadap posisi perempuan (khususnya istri) yang mesti tunduk dan patuh (menyerupai hamba) adalah kewajiban. Serta penanaman pemikiran bahwa seorang istri yang baik adalah yang diam tak membantah, menurut saya, adalah sebuah penindasan sistemik. Islam tidak demikian. Islam adalah agama rahmatan lil alamin, yang mustahil menempatkan umat terlepas apapun jenis kelaminnya, lebih rendah daripada manusia yang lain.
Selain ghuluw, Said Aqil menjelaskan konsep Irhab yang disebutnya sebagai sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi. Tindakan inilah yang banyak menjadi rujukan dan sikap banyak orang yang belum paham benar agamanya, Bahwa dalam beragama Allah telah mengingatkan untuk tidak berlebihan. Seperti dalam Al-Nisa 171 “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.”
Tentu para fasis berkedok agama tadi akan berdalih mengenai “kecuali yang benar”. Bahwa tindakannya adalah semata-mata membela, meluruskan dan didasari oleh tuntunan agama. Namun banyak umat muslim yang lupa bahwa, di atas segalanya, Islam adalah agama damai yang menyerukan pada sikap baik pada sesamanya. Bahwa saat kita bersyahadat kita telah menegasikan tak adanya tuhan selain Allah dan rasa percaya bahwa Muhammad adalah utusan Nya.
Percaya bahwa Muhammad seorang nabi haruslah lahir dari perasaan yang benar-benar ikhlas. Bayangkan, anda di sebuah zaman yang penyembahan berhala adalah jama’, kemudian dipaksa mempercayai seorang pemuda dari bani yang lemah sebagai pembaharu dan wakil tuhan di bumi. Jika bukan didasari rasa cinta, percaya, ikhlas dan keterbukaan maka tak mungkin syahadat itu akan terucap.
Semestinya sebagai seorang muslim yang baik, kita mesti aktif mencari tahu tentang agama kita sendiri. Tak melulu menunggu disuapi oleh orang lain yang berpotensi memiliki keterputusan ide dan makna. Meminjam istilah Ahmad Wahib, seorang intelektual kritis islam, “Dalam pemahaman islam sebagai ajaran Allah,” tulis Wahib dalam buku catatan hariannya, “sifat-sifat manusiawi dan kondisi sosial ikut berperanan.”
Perempuan dalam banyak tafsir saklek dan kasat mata diposisikan sebagai kelompok yang termarjinalkan. Seperti tafsir perihal perempuan yang tidak boleh jadi pemimpin, atau keharusan mengenai penutup aurat, dan yang paling sering dikritisi adalah perihal poligami. Saya kira hal ini sudah selesai dibahas dan tak perlu diperdebatkan lagi. Mengapa? Karena konteks pemberlakuan ayat atau perintah tersebut, jika anda mau mencari tahu, adalah usaha perlindungan terhadap perempuan.
Bahwa pada saat awal perjuangan islam banyak terjadi perang yang melahirkan banyak janda. Sedangkan dalam struktur masyarakat tradisional arab, seperti yang digambarkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, kerap kali tak berpihak pada janda. Sehingga peran lelaki muslim dianjurkan untuk menikahi para janda tadi.
Mengenai perempuan yang tak boleh jadi pemimpin? Saya kira kita banyak mendengar kisah bagaimana Rasul memberikan banyak porsi bagi istri-istrinya untuk berdakwah. Juga sepeninggal beliau Aisyah masih konsisten memberikan masukan dan menjadi rujukan dalam membenarkan sahih dan sanad sebuah hadis. Jika ini tak boleh disebutkan sebagai sebuah kepemimpinan (leadership) entah apa namanya.
Saya kira seorang muslim akan berhasil menjadi sebuah umat yang utama (khairu ummah). Apabila ia bisa mencapai keseimbangan antara pemahaman agama, filsafat dan sains. Jika dulu Gus Dur menyeru pada pencarian Islam yang damai bukan islam yang ramai. Maka saya memikirkan konsep islam yang manis bukan islam yang miris.
Bahwa islam haruslah menyenangkan, ramah, nyaman dan yang paling penting tak membuat kita takut apalagi terkekang. Saya tak membahas perihal kebebasan seperti yang hendak dicapai Nietzche dalam Zarathustra. Saya berbicara perihal islam yang sederhana dan tak berlebihan dalam memperlakukan umat, khususnya para perempuan.