Setiap tanggal 3 Desember, masyarakat dunia, termasuk Muslim Indonesia memperingati hari disabilitas. Namun, sejak ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1992, upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak kelompok difabel masih terbilang kurang mendapat perhatian baik oleh pemerintah maupun pemuka agama.
Buku Islam dan Disabilitas dari Teks ke Konteks yang ditulis oleh Arif Maftuhin, dkk hadir mengajak perhatian pembaca melihat satu persoalan mendasar yang menyebabkan sulitnya kelompok difabel mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, terkhusus sebagai umat Islam. Buku ini memulai dari persoalan mendasar, yakni paradigma. Kelompok difabel masih dipandang sebagai penyandang cacat/tuna/orang dengan kemampuan terbatas, alih-alih sebagai difabel/differently abled, atau orang dengan perbedaan kemampuan.
Paradigma “kecacatan” yang terbentuk terhadap kelompok difabel ini setidaknya bersumber dari dua hal, yaitu dari pemahaman pemuka dan pemeluk agama terhadap teks agama dan dari paradigma dunia medis (hlm. 49).
Kendati dalam Al-Qur’an maupun Hadis tidak terdapat diskriminasi kelompok difabel, namun Maftuhin melihat adanya keberhentian semangat Islam dalam pasal bab-bab fikih klasik untuk memberdayakan kelompok difabel. Ruang bagi kelompok difabel hanya sebatas melalui pemberian dispensasi (rukhsah). Pemberian dispensasi ini tercermin dari salah satu kaidah utama dalam Fikih (al-qaidah al fiqhiyyah) yakni al-masyaqqa tajlib al tasyir, yaitu kesulitan dalam hukum Islam justru mengakibatkan kemudahan.
Lebih lanjut, Maftuhin memandang untuk konteks zaman dahulu pendekatan fikih tersebut sudah lebih dari cukup. Namun untuk konteks dewasa ini, tindakan sebatas memberikan dispensasi (rukhsah) tidaklah cukup karena dinilai membiarkan si difabel dalam ketidakberdayaan (hlm. 92-95).
Pendapat Maftuhin mengenai perumusan fikih yang advokatif terhadap hak-hak difabel dapat dimengerti mengingat salah satu Hadis Riwayat Muslim dalam Kitab al-Masajid, Bab Yajibu Ityan al-Masjid ‘ala Man Sami’a al-Nida’, Hadis no. 1518 bahwa Rasulullah berubah sikap terhadap difabel netra yang semula diberikan izin keringanan untuk salat di rumah karena tidak ada yang bisa menuntunnya untuk datang ke masjid melaksanakan salat berjamaah. Ketika difabel netra telah mendapat izin keringanan dan beranjak pergi, Rasulullah memanggilnya kembali seraya mewajibkannya untuk datang salat berjamaah ke masjid.
Judul : Islam dan Disabilitas dari Teks ke Konteks
Penulis : Arif Maftuhin, dkk
Penerbit : Gading
Cetakan : Pertama, Agustus 2020
Tebal : xvi + 222 halaman
ISBN : 978-623-7177-42-5
Melalui hadis ini, Rasulullah mencoba mendorong difabel untuk turut berpartisipasi dalam aktivitas sosial yang secara simultan akan menghapus pengasingan dan anggapan difabel sebagai liyan (hlm. 39). Terbukti dengan sikap arif Rasulullah tersebut, dalam sejarahnya kita mengenal seorang sahabat difabel bernama Abdullah Ibn Ummi Maktum yang kerap menempati posisi penting seperti menjadi muazin, bahkan menggantikan Rasulullah menjadi Imam sholat.
Selain ulasan relasi Islam dan difabel yang lebih luas dar berbagai buku bertema Islam dan difabel yang lebih dulu terbit, poin yang paling menarik terletak dalam bagian kedua. Secara menggugah, para penulis mengajak pembaca merenungkan apakah wajah Islam yang rahmatan lil alamin benar-benar telah dirasakan oleh difabel?
Setelah membaca hasil penelitian Maftuhin terhadap empat masjid di Yogyakarta yakni Masjid Gedhe Kauman, Masjid Syuhada Kotabaru, Masjid Shalahuddin UGM dan Masjid UIN Sunan Kalijaga tersebut kita tidak bisa menampik bahwa banyak bagian arsitektur masjid yang belum inklusif terhadap difabel – baik dari akses menuju masjid, akses di tempat wudhu, akses masuk ke bagian utama masjid serta kurangnya penyediaan tempat untuk difabel sholat.
Layanan keagamaan seperti khotbah pun menjadi perhatian penting karena masih banyak masjid yang belum menyediakan baik materi khotbah maupun layanan bahasa isyarat untuk mereka yang Tuli.
Akhirul kalam, buku Islam dan Disabilitas dari Teks ke Konteks penting dibaca siapapun karena buku ini mengajak pembaca membenahi cara pandangnya yang mungkin tanpa disadari telah diskriminatif terhadap difabel.