Ada atsar sahabat Umar bin Khattab yang mengatakan: “Islam akan hancur sebab kelihaian orang munafik dalam berdebat menggunakan al-Quran.”
Sejalan dengan atsar itu, di Indonesia terjadi tumpang tindih makna antara ulama, ustadz, ilmuan, ahli, dan sejenisnya. Ada bias geografis dan bias primordial ketika mendengar kosa kata tersebut. Ulama dan ustadz identik dengan Arab, Timur, dan Islam. Sedangkan ilmuan dan ahli, dekat dengan kesan ‘sekuler,’ non-agama, umum dan non-arab.
Kusutnya tumpang tindih ini sampai-sampai stereotip bahwa “untuk menjadi ustadz, cukup dengan hafalan ayat, hadist dan kisah-kisah imanen, dan tidak perlu ilmu non-agama” dan “ilmuan adalah mereka yang menguasai ilmu non-agama” membaur rapih di kehidupan sehari-hari.
Padahal jika bias-bias itu dihilangkan, makna kosa kata tersebut punya kesamaan yang mendasar, yakni: orang-orang yang berilmu dan berpegang teguh pada disiplin metodologis.
Sayangnya, sejauh ini belum muncul upaya untuk membenahi tumpang-tindih kosa kata tersebut. Sehingga, (1)tumpang tindih itu menjadi tempat persembunyian bagi oportunis yang tidak memiliki kedisiplinan, dan (2)bias-bias yang ada di dalamnya menjadi ‘mata air’ permasalahan yang ‘air’-nya ditimba dan dialirkan di kanal kehidupan sosial-politik oleh sebagian oportunis.
Konsekuensinya, terjadi kekusutan di sebagian kalangan masyarakat dan sebagian pendakwah dalam mengurai dinamika kehidupan karena tidak punya disiplin metodologis dalam beragama. Agama yang mereka punya akhirnya tidak cukup memadai untuk mengurai dinamika kehidupan. Masalah utama dalam klaim ini bukan terletak pada agama, namun terletak pada bagaimana kita menentukan luas-sempitnya agama dan bagaimana kita menentukan standar kualitas agama.
Dalam sejarah, kelahiran tradisi literasi tidak lepas dari esensi beragama, baik itu di Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen ataupun Islam. Sebabnya, untuk menjadi terliterasi dan untuk menemukan pengetahuan baru, umat ataupun agamawan perlu memiliki kemampuan ekstraksi yang memadai. Agama abrahamik, umumnya, mendapat penekanan tradisi literasi yang lebih pekat dari Kitab Suci masing-masing, dan Islam khususnya, mendapat tanggung jawab yang lebih berat karena ayat pertama yang turun adalah iqra.
Majunya peradaban Islam setelah sekitar 600 tahun ditinggal Rasulullah tidak lepas dari konsistensi pegangan pada prinsip “al insanu hayawanun natiq.” Pegangan ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa pemberdayaan akal secara berkelanjutan adalah sama dengan menjaga kelayakan diri menyandang predikat ‘manusia.’
Untuk menjaga keberlangsungan hal tersebut, maka diperlukan metode pendidikan yang hati-hati. Catatannya Ibnu Khaldun soal cara mendidik anak, misalnya, ia mengutip pernyataannya Abu Bakar bin Al-Arabi:
“syair (sastra) adalah jantungnya orang Arab. Sastra dan filologi Arab harus diajarkan lebih dulu karena kehidupan saat ini mengalami degradasi kebahasaan. Setelah menguasai keduanya, santri harus mempelajari aritmatika dengan teliti hingga ia menguasai prinsip dasarnya. Baru setelah itu si santri diperbolehkan mempelajari Al-Qur’an. … betapa cerobohnya guru-guru ketika mereka mengajarkan anak-anak Al-Qur’an tanpa perbekalan. Mereka (anak-anak) akhirnya membaca sesuatu yang tidak mereka mengerti, dan mempelajari dengan keras sesuatu yang penting dengan melewatkan sesuatu yang lebih penting.”
Ada tiga hal yang dapat ditarik dari pernyataan itu. Pertama, pertimbangan dan proses yang matang adalah bagian yang tidak terpisahkan dari persiapan sebelum mengekstrak Al-Qur’an, merumuskan hukum ataupun merangkai ilmu baru.
Kedua, meskipun ulama/ilmuan zaman dulu mengenal klasifikasi ilmu, tapi mereka punya sikap yang tidak diskriminatif terhadap ilmu agama dan ilmu non-agama. Bahkan lebih dari itu, mereka piawai dalam menempatkan, merangkai, menggunakan dan menyambungkan jenis-jenis ilmu yang berbeda.
Dan yang ketiga adalah yang paling penting: mereka punya standar kualitas metodologis. Sesuatu yang semakin jarang dimiliki oleh ekstraktor Al-Qur’an di masa sekarang.
Di masa lalu, dimensi Islam yang mencakup hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan diseriusi dengan disediakannya rangkaian berbagai jenis ilmu untuk pembuatan prejudis yang memadai.
Di masa sekarang, dengan membaurnya stereotip yang telah disebutkan di awal, maka konsekuensinya: terjadi penyempitan yang membatasi agama hanya pada lingkaran moral, Tuhan dan kesalehan. Aspek lain seperti literasi, kehidupan sosial, aritmatika, teknologi dan lain-lain terpinggir sekaligus terputus dari sikap keberagamaan sehari-hari. Sehingga, kehidupan masa sekarang kerap diwarnai prejudis-prejudis yang sangat tidak memadai.
Konsekuensinya tidak berhenti sampai di situ, tapi juga mencakup tentang bagaimana pemeluk Islam (baik itu pendakwah ataupun umat biasa) bersikap ketika menghadapi fakta.
Bagi sebagian kalangan, khususnya ilmuan/ulama, kebenaran saintifik adalah standar emas yang harus dipegang ketika menentukan landasan kepercayaan. Standar emas ini hanya bisa digapai lewat salah satu dari dua cara: verifikasi dan falsifikasi. Meskipun kebenaran saintifik adalah standar emas, tapi standar ini kerap sangat sulit diterima oleh sebagian kalangan.
Sebabnya, pertama, kebenaran saintifik tidak jarang bertentangan dengan kepercayaan atau ideologi pribadi, sehingga menimbulkan ketidak-nyamanan. Kedua, kebenaran saintifik dapat meruntuhkan sesuatu yang sudah mapan. Hal ini akan sangat terasa bila kita melihatnya di kasus-kasus, khususnya, politisasi agama.
Meskipun demikian, tidak berarti kebenaran saintifik tidak memiliki pengganti dalam menentukan landasan kepercayaan. Sumber kepercayaan lain seperti ‘agama,’ dianggap punya legitimasi yang sama dalam menentukan dasar kepercayaan. Agama menjadi pedoman hidup. Logika populer yang diulang-ulang di masa kini adalah: hanya karena Tuhan tidak dapat diukur dan diuji, bukan berarti Tuhan itu tidak ada. Dan digantikannya bukti santifik dengan iman dapat dihitung sebagai kredit kesalehan.
Agama tidak salah, tapi tepat pada titik itu oportunis memasang topengnya, memanipulasi agama, mendebat pakar, dan melindungi maksud hipokritnya dibalik kesakralan agama, dan membentuk kerumunan dari sebagian umat yang literasinya kurang beruntung. Artinya, ada konsekuensi yang sangat serius ketika kita membangun stereotip antara ulama dan ilmuan; ketika menempatkan luas-sempit agama hanya pada aspek-aspek imanen; dan ketika tidak punya standar kualitas dalam beragama.
Salah satu alasan kenapa belitan post-truth terhadap agama di era digital sulit dilepas adalah, karena cara beragama yang tidak beriringan dengan pemberdayaan akal menjadi tren di era digital. Predikat ‘manusia’ tidak lagi diberatkan pada akalnya, tapi pada ‘iman’-nya. Namun ‘iman’ di era digital abu-abu dengan afek.