Suatu ketika saya diajak ngobrol salah seorang kawan lama. Karena sudah lama tidak berjumpa—kita berteman hanya di waktu SMP, hal yang membuat saya tertegun adalah pengakuannya sebagai penganut “secular humanis”. Dia percaya bahwa manusia tidak memerlukan agama ataupun tuhan untuk mengidentifikasi moral. Akal manusia sudah cukup untuk merumuskan etika, tanpa campur tangan agama dan tuhan. Singkatnya dia mengaku sebagai ateis yang tidak terlalu memedulikan kesalahan-kesalahan agama maupun konsep ketuhanan manapun, hanyasaja ia lebih fokus dan mendedikasikan hidupnya untuk jadi orang berguna bagi manusia lain.
Jujur harus diakui sedikit orang yang berani melontarkan “suara lain” seperti ini. Dia tetap menjalani “kehidupan agamis” meski hatinya mengingkari, dan memilih ikut kegiatan keagamaan seperti tetangga yang lainnya demi kepentingan sosial karena sudah pasti sedikit masyarakat akan siap menerima jati dirinya.
Jujur harus diakui masyarakat lebih permisif pada orang yang tidak menunaikan shalat asalkan masih beragama Islam daripada memeluk Islam yang menurut keyakinan “arus utama” dianggap sesat. Dan jujur harus diakui menjadi pendosa asalkan masih punya agama dianggap lebih baik daripada tidak memeluk agama—sebab manusia seharusnya beragama saja, kata mereka.
Kembali ke obrolan kawan saya tadi.
Bagi dia, orang yang melakukan kekerasan dan persekusi atas nama agama tidaklah sepenuhnya salah. Pada dasarnya mereka baik, hanyasaja mereka menaati pesan-pesan kekerasan yang diisyaratkan dalam kitab sucinya saja. Mereka tidak akan melakukan apa-apa jika pedoman legalnya (kitab suci) tidak memerintahkan hal itu.
Merespon pernyataan tersebut, menurut saya, harus dimulai dari memaklumi kondisi faktual masyarakat muslim yang belum berani mengkritik “ke dalam”. Konsekuensi dari sikap ini adalah: sulit didapatkan pengakuan adanya “bobrok” yang bersarang di dalam tubuh umat muslim sendiri. Andai saja sedikit terbuka, hubungan Islam dengan ideologi kekerasan (termasuk terorisme) sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh.
Di masa Islam awal, terdapat kelompok Khawarij yang memiliki tafsir ofensif dalam membenarkan kekerasan. Mereka bisa sangat marah pada siapa pun yang dianggapnya musuh Islam, kendati pun mereka ini secara ibadah merupakan orang taat dan sangat saleh. Kasus pembunuhan Imam Ali, khalifah keempat dalam Islam sekaligus menantu Rasulullah, rasanya sudahlah cukup menjadi contoh. Contoh paling modern seperti ideolog Ikhwan Al-Muslimin (yang bermetamorfosa di Indonesia sebagai PKS), Sayid Qutb, yang menelurkan konsep jihad ofensif atas nama melawan “musuh-musuh Islam”.
Maksud saya adalah: sejarah kekerasan atas nama Islam sudah ada benih-benihnya sejak Islam klasik.
Namun benarkah Islam tidak semili-gram pun mengandung pesan-pesan perdamaian? Apakah Islam agama yang tidak ramah? Apakah Islam teridentifikasi sebagai penyebab utama di balik kekerasan atas nama agama?
Pertanyaan seperti mengingatkan saya pada Prof. Nasr Hamid Abu Zayd yang pernah mengategorikan antara agama (al-din) dan wacana agama (al-khitab al-dini). Agama memang suci dan mutlak, namun sesuci apapun itu tidak lantas ia mampu bekerja sendirian. Agama hanyalah “benda mati” dan berada di ruang yang terisolasi, hanya melalui kerja penafsir sajalah ia bisa hidup dan keluar menjadi bebas.
Di tangan penafsir, agama dapat menjadi sesuatu yang bermakna. Sesuatu yang bermakna inilah yang disebut wacana agama. Sebagaimana lumrahnya wacana, keragaman tafsir atasnya adalah takdir yang sudah pasti terjadi dalam agama mana pun. Jadi tidak hanya melanda Islam saja.
Saya tidak sependapat dengan perkataan yang bilang Islam (begitu pun agama lainnya) merupakan agama yang tidak ramah dengan alasan sederhana: jika Islam adalah penyebab utama di balik keseluruhan persekusi atas nama agama, tentu Nahdlatul Ulama tidak bakal pernah ada. Jika Islam memiliki konsep rahmat dan kasih yang bangkrut, dengan sendirinya kebangkrutan itu akan nampak pada jumlah pemeluknya. Adakah cerita agama yang berisi ajaran demagogis memiliki jumlah massa yang banyak dan awet?
Saat terjadi aksi terorisme, misalnya, nyaris kita mendengar kutukan yang datang secara serentak di seluruh Indonesia. Tokoh agama, tokoh masyarakat, baik awam maupun intelektual, sama-sama tidak membenarkan aksi nista itu.
Memang sayup-sayup ada sebagian orang yang apologetik dan mencari-cari dalih untuk membenarkan aksi itu, namun suara dominan di kalangan umat muslim Indonesia menyatakan tindakan kekerasan dan terror adalah mutlak salah secara kategoris dari sudut pandang Islam (dan tentu agama lainnya).
Dengan ini secara otomatis pertanyaan pertama apakah Islam merupakan agama tak ramah sudah terjawab.