Integritas Ormas Keagamaan di Bibir Lubang Tambang

Integritas Ormas Keagamaan di Bibir Lubang Tambang

Integritas Ormas Keagamaan di Bibir Lubang Tambang

Presiden Jokowi resmi mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2024 pada hari Jumat, 31 Mei 2024, yang membolehkan organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan bisa memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Aturan ini bisa menjerat Ormas keagamaan pada pusaran ekonomi politik dengan preseden yang mungkin belum pernah terbayang sebelumnya.

Usaha tambang di Indonesia masih diwarnai kasus pelanggaran hak asasi manusia, perampasan lahan, perusakan lingkungan di bagian hulu, sementara bisnis ini di bagian hilir masih terkait dengan praktik greenwashing dan dekat dengan klik politik oligarki. Bisnis ini padat profit walaupun banyak catatan merah.

Membuka pintu tambang untuk ormas keagamaan sama artinya membuka dan memperluas resiko hasrat kemanusiawian dalam mempengaruhi logika, keberpihakan, dan kerja ormas keagamaan. Ormas keagamaan punya tugas berat. Makna kata ‘organisasi masyarakat’ yang telah sejak awal menanggung konotasi beban keberpihakan sosial, masih perlu menanggung beban makna ‘keagamaan’ yang memikul virtue ilahiyah di muka bumi.

Resiko ini sekilas bisa ditangani dengan peraturan turunan atau pembuatan standar operation procedur (SOP) baru agar pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan bisa tetap efisien dan profesional. Namun seberapa jauh pengaman ini bisa menjamin kemurnian integritas ketika budaya politik kita, dari mulai tingkat yayasan milik perseorangan di daerah hingga lembaga tertinggi di pusat kekuasaan, sampai saat ini tetap familiar dengan praktik kekeluargaan, pertemanan, balas jasa, dan bahkan penyandraan kepentingan.

Dalam konteks ormas Islam basis pesantren, resikonya menjadi makin problematik. Elit-elit di dalamnya lahir dari proses bertingkat yang melibatkan lobi, negosiasi, dan manuver bersama kekuatan eksternal ataupun internal basis komunitas mereka. Ada satu panduan ideologis bahwa, apapun langkah yang diambil oleh individu ataupun organisasi haruslah mengacu pada pertimbangan fikih dan tasawuf, supaya aman secara hukum formal keagamaan dan etis menurut etika sosial.

Akan tetapi, seberapa jauh pengaman ideologis itu bisa dipegang ketika krisis integritas politik di Indonesia, baik di ranah kebijakan, konstitusi, kampanye Pilpres, ataupun di ranah pengelolaan sumber daya alam, hampir tidak memunculkan protes kritis dari hasil kesadaran wawasan fikih/tasawuf terhadap realita? Soal posisi politik dalam situasi ini, narasi arus-utama tetap berpegang pada slogan ‘NKRI Harga Mati’ yang dipersempit pada persoalan pluralisme, toleransi kebinekaan, kerukunan dan jihad anti-radikalisme agama.

Ini problematis karena persoalan ekonomi politik sumber daya alam tidak tercakup dalamnya. Sehingga segelintir orang yang membuat sendiri aturan main bagaimana persoalan ini seharusnya berjalan dan menerima profit yang tak terbayang jumlanya dari aktivitas tambang, tetap bisa berbuat apapun terhadap kontrol dan kritik sosial. Perusakan alam dan kriminalisasi terhadap sejumlah masyarakat adat dan aktivis lingkungan bisa tetap berlangsung dengan kemasan yang seakan tidak bertentangan dengan doktrin kepentingan bangsa, negara, dan Pancasila.

Catatan Akhir Tahun 2020 dan Proyeksi 2021 terbitan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) misalnya menunjukkan, kriminalisasi masyarakat adat dan aktivis lingkungan biasanya melibatkan praktik playing-victim yang seakan-akan menempatkan para penolak ekspansi tambang sebagai komunis, penista simbol negara, dan intimidator kekerasan.

Ormas keagamaan, khususnya agama mayoritas, mau bagaimanapun punya tanggungjawab mendasar ketika sinergitas mereka dan pemegang kekuasaan dalam mengarus-utamakan slogan ‘NKRI Harga Mati’ justru meleluasakan segelintir orang tertentu di Jakarta dan membahayakan sebagian warga lainnya di garis terdepan perluasan tambang.

Dalam konteks ormas kegamaan berbasis pesantren, santri sebagai unit terkecil umumnya hanya menerima literasi politik horizontal yang membingkai hubungan agama dan negara sebatas kerjasama menuju harmoni, kerukunan, dan toleransi antar warga negara, bukan literasi politik vertikal tentang apa itu hak warga negara dan hak asasi manusia, apa kewajiban negara, bagaimana kebijakan dibuat, dan bagaimana seharusnya negara membatasi diri dari kapital.

Inti dari literasi politik horizontal itu terinspirasi pada sejarah perlawan kelompok pesantren terhadap kolonial Belanda melalui Resolusi Jihad pada tahun 1940an. Peristiwa ini diingat sebagai ketidak-terpisahan agama dan negara, dan sebagai romantisme perlawanan terhadap siapapun yang dianggap mengancam keutuhan negara dan Pancasila. Pada abad 21, kelompok pengusung Khilafah tau betul bagaimana garangnya hasil dari literasi politik horizontal ini.

Akan tetapi, perlawanan terhadap kolonial Belanda pada 1940an adalah peristiwa yang mengecoh. Perjuangan menuju kedaulatan negara itu satu hal, namun yang dilupakan adalah bahwa perlawanan ini merupakan perjuangan melawan ekploitasi kapital kolonial Belanda. Identitas rasial dan kebangsaan itu satu hal, namun pokok inti masalah sebenarnya yang memicu kemarahan kolektif adalah praktik kapitalisme berlebih yang terinstitusionalisasi dalam bentuk negara kolonial.

Sekitar 80 tahun kemudian, ingatan tentang ‘kedaulatan negara’ masih terus dirawat lewat slogan ‘NKRI Harga Mati’ dan pelajaran-pelajaran di pesantren, tapi ihwal ‘eksploitasi kapital’ dilupakan. Akibatnya, kelompok santri bisa sangat politis ketika muncul ormas keagamaan yang berideologi ultra-kanan, namun apolitis ketika terjadi tragedi hak asasi manusia di garis depan lahan tambang, atau ketika muncul kebijakan baru yang merugikan alam dan masyarakat kecil.

Posisi apolitis santri dalam persoalan ini bisa memberi nol harapan lahirnya kritik ataupun protes terhadap elit-elit ormas keagamaan tertentu yang pada satu sisi berpeluang besar terserap ke dalam pengelolaan konsesi tambang, tapi di lain sisi juga turut menentukan arah gerak dan posisi organisasinya.

Pelaksanaan skema ini secara makro memungkinkan terjadinya domestifikasi ormas keagamaan. Tangungjawab sosial ormas keagamaan terhadap masyarakat bisa tersandra akibat keterlibatan ormas keagamaan dalam konsesi tambang. Ketika individu atau kelompok sudah terlibat nikmatnya ‘lubang’, sejak saat itu juga integritas diri dan organisasi bisa berlubang.