Emmanuel Macron dan pernyataan kontroversialnya membuat dunia Islam bergejolak. Namun, peristiwa ini mengingatkan kita sebagai muslim bahwa kita, entah kenapa, susah sekali berpikir proporsional terkait ‘Islam dihina’
Apakah ini benar-benar kota Paris seperti yang sering kubayangkan? Pertanyaan ini menggelayuti benak saya saat menyusuri kota mode dunia 2014 lalu. Pasalnya, di sepanjang jalan tampak sejumlah perempuan menggunakan jilbab (penutup kepala). Perawakan mereka bak keturunan Aljazair, Maroko, atau Tunisia. Tak jauh berbeda dengan gaya orang Prancis, modis dan elegan. Fenomena ini tak saya temukan di pusat kota Belgia ataupun Jerman.
Prancis memang dikenal sebagai negara penganut Sekularisme (Laïcité), yang mana memisahkan urusan agama dan negara. Dengan kata lain, menarik garis demarkasi yang tegas antara urusan sakral dan profan di ruang publik. Sehingga, setiap pemeluk agama atau kepercayaan dilarang menunjukkan simbol-simbol keyakinannya pada institusi publik.
Pada saat itu, saya belum merasakan atmosfir ‘Islamophobia’. Sebagaimana diberitakan beberapa kurun waktu terakhir, pasca kedatangan imigran Suriah. Meskipun, berbagai analisa mengungkapkan bahwa Prancis merupakan salah satu negara yang turut andil dalam konflik tersebut. Terlepas dari itu semua, saya menganggap Prancis termasuk negara yang aman bagi Muslim, pada saat itu.
Salah satu pemateri dalam International Summer Course mengenai Islam dan Sains, yang mana Prancis menjadi tuan rumah, ialah Dr. Bruno Abd al-Haqq Guiderdoni. Beliau merupakan profesor berkebangsaan Prancis yang menjabat sebagai Director of Research at the Paris Institute of Astrophysics. Dr. Bruno mengungkapkan bahwa penelitian astrofisika telah mengantarkannya mengakui eksistensi Tuhan dan memeluk Islam.
Saya juga berjumpa dengan pemeluk Islam yang merupakan profesor keturunan Tunisia, Dr. Inés Safi. Perempuan cerdas ini ialah peneliti teori Quantum Physics di CNRS. Salah satu pendamping kami, Dr.Gillani, merupakan peneliti Muslim keturunan Aljazair. Selain itu, salah satu peserta ialah Mr.Taher asal Timur Tengah yang keluarganya sudah turun-temurun lebih dari belasan generasi hidup di Prancis. Mereka baik-baik saja .
Berawal dari Charlie Hebdo
Majalah satir Charlie Hebdo (CH) kembali menggegerkan seantero dunia Islam. Pasalnya, CH merilis kartun Nabi Muhammad Saw. untuk edisi awal September 2020. Padahal, berkaca dari pengalaman ‘penistaan’ terhadap Nabi Muhammad kerap direspons keras oleh umat Islam. Tak ada yang mengelak, CH memang kontroversial.
Pada tahun 2017, halaman depan CH menampilkan karikatur Presiden Macron memegang perut istrinya. Ini merupakan satir menohok karena Brigitte tidak mungkin hamil di usia yang sudah matang. Namun, ketika umat Islam bereaksi karena kasus karikatur Nabi Muhammad, Macron justru membela CH. Macron tampak menegakkan prinsip kebebasan berekspresi sebagai basis demokrasi liberal yang dijunjung tinggi di Prancis.
Macron tentu berbeda dengan Nabi Muhammad. Pembawa risalah kenabian tersebut merupakan sosok mulia di mata Muslim. Sayangnya, reaksi segelintir pemeluk Islam terhadap karikatur CH berujung pada kekerasan. Samuel Paty (47), memperlihatkan kartun Nabi Muhammad di hadapan murid-muridnya saat mengilustrasikan kebebasan berekspresi di Prancis. Pada 16 Oktober 2020, Paty ia dipenggal oleh Abdoullakh Anzorof (18), remaja asal Chechnya, seusai mengajar.
Bola terus bergulir, tiga orang tewas di gereja Notre-Dame, Basilica, pada 29 Oktober 2020. Brahim Aioussaoi (21), warga Tunisia, menyerang sekumpulan orang di gereja dengan pisau. Dilaporkan, BA melakukan aksinya terkait kartun Nabi Muhammad di CH. Gelombang protes pun melanda Prancis. Masyarakat, termasuk Muslim di Prancis, menuntut pemerintah bersikap tegas atas aksi kekerasan yang terjadi.
Inkonsistensi Kebebasan
Pada akhirnya, Macron menyatakan sikap dalam pidato resminya, tepat awal Oktober lalu. Presiden termuda Prancis tersebut mengungkapkan, “Hari ini Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia.” Ia mengumumkan akan melindungi nilai-nilai sekuler Prancis dari ‘separatisme’ Islam.
Macron pun menyiratkan pembelaan terhadap CH atas nama kebebasan berekspresi. Ia mengatakan: “Jika kami kembali diserang, itu karena nilai-nilai yang kami miliki: kebebasan, kesempatan di tanah air kami untuk punya keyakinan secara bebas dan tidak menyerah pada teror.”
Kebebasan berekspresi berawal dari gagasan filosofis “libertarianisme”, yang mana rangkaian perenungan filosofisnya berpusat pada kebebasan individu. Manusia lahir sebagai individu yang bebas. Bebas yang dimaksud adalah kebebasan untuk berpendapat; bebas untuk melakukan segala sesuatu secara otonom, tanpa mengganggu kebebasan individu lainnya. Ini adalah maksim yang dipopulerkan oleh John Stuart Mill.
Dengan kata lain, kebebasan berekspresi di Perancis adalah produk dari masa pencerahan di Eropa, khususnya pasca revolusi Perancis. Melalui semboyan kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan, Perancis memberikan wewenang sebesar-besarnya terhadap kebebasan berekspresi dan kehidupan yang setara antar warganegara sekaligus menjadi peralihan dari rezim lama (ancient regime) ke masa republik.
Raison d’etre dari kebebasan berekspresi di Perancis ditengarai oleh kultur rezim lama yang sangat dekat dengan simbol-simbol agama. Sebagaimana lazimnya kerajaan-kerajaan feodal di Eropa waktu itu, gereja memiliki peran penting terhadap kehidupan bermasyarakat. Hadirnya Laïcité yang digagas sejak masa revolusi Perancis merupakan usaha desakralisasi terhadap supremasi gereja yang dibawakan oleh rezim lama.
Dalam konteks ini, apabila Macron atau Barat konsisten terhadap kebebasan berekspresi, mengapa Prancis, bersama beberapa negara Uni Eropa lainnya, memiliki aturan yang menghukum segala bentuk revisionisme terhadap peristiwa Holocaust? Sebut saja, filsuf seperti Roger Garaudy yang dihukum setengah tahun dan didenda €37.500 pada tahun 1998. Bukankah pandangan Garaudy bisa disebut sebagai kebebasan berekspresi ala libertarianisme?
Sebuah Refleksi
Macron pun bersuara setelah mendapat respon keras dari dunia Islam. Ia mengatakan bahwa dirinya memahami perasaan umat Islam yang dikejutkan dengan penayangan kartun Nabi Muhammad, sekaligus menyatakan bahwa Islam radikal dan terorisme adalah ancaman bagi semua orang, terutama Muslim sendiri. Lebih lanjut ia mengatakan,“Saya akan selalu membela kebebasan untuk berbicara, menulis, berpikir, dan menggambar di negara saya.”
Penggunaan terma “terorisme” atau “Islam radikal” merupakan bentuk penyalahgunaan bahasa. Dengan berbagai motif, bahasa menjadi alat yang bertujuan untuk mendiskreditkan kelompok masyarakat lainnya. Apakah teroris benar-benar ada? Ataukah itu permainan bahasa untuk menggiring opini yang sengaja menyudutkan Islam?
Dalam pemikiran kontemporer, diskursus ini terkait dengan analisis Foucault mengenai relasi kuasa dan pengetahuan, teori dekonstruksi Derrida, atau language game ala Wittgenstein.
Kita sama-sama sepakat bahwa menghilangkan nyawa manusia yang bukan haknya dilarang keras dalam Islam. Kita pun mengutuk aksi kekerasan dengan menumpahkan darah, meskipun atas nama Tuhan ataupun agama. Ada cara yang lebih elegan dan konstruktif agar tidak semakin memperburuk citra Islam di mata internasional.
baca juga: Habib Ali, Tak Ada Ulama yang Membolehkan Membunuh Orang Lain
Dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad sering dihina, bahkan dilempar kotoran unta dan batu. Namun, putra Abdullah tersebut tak pernah marah membabi-buta. Bahkan Nabi mendoakan agar mereka diberikan kesadaran, serta dituntun menggapai kebenaran. Maqom kita memang tak seperti Rasulullah, tapi kita bisa berupaya meneladani akhlaknya. Kritik dengan pena dan suara lebih tetap sasaran, dibandingkan dengan senjata.
Macron memang tidak bijak dan inkonsisten memaknai kebebasan, tapi kekerasan yang dilakukan atas nama Islam pun tak bisa dibenarkan. []