Dalam beberapa pekan terakhir, nasib WNI yang menjadi simpatisan dan kombatan ISIS ramai diberitakan di media massa dan media sosial. Setelah dinyatakan kalah dan bubar pada Maret 2019, simpatisan ISIS yang berasal dari berbagai negara mengalami ketidakjelasan status kewarganegaraannya.
Sebagaimana dilaporkan oleh tirto.id, banyak kombatan ISIS yang datang dari Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Kurang lebih 700 WNI telah tergabung dalam ISIS. Pasca perang, masih banyak simpatisan yang terkunci di balik penjara dan terkatung-katung di kamp-kamp pengungsian. Awalnya, mereka terpikat janji manis sistem kekhalifahan ISIS. Lantas bagaimana nasib ratusan WNI tersebut ke depannya?
Diberitakan oleh CNN Indonesia, Rabu 10 Juli 2019, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengaku siap memimpin proses pemulangan WNI eks simpatisan ISIS ke tanah air. Kepala BNPT Suhardi Alius di Jakarta menyatakan bahwa keputusan politik memang belum ada, hanya saja proses menuju keputusan tersebut telah dilakukan. Kementerian Luar Negeri juga mengisyaratkan terdapat kemungkinan untuk memulangkan WNI simpatisan ISIS dari wilayah konflik Suriah dan Irak. Meski begitu, mereka menyatakan hal itu harus melalui proses yang panjang dan tidak mudah.
Tidak jauh berbeda, hal ini juga ditegaskan oleh Nahar, selaku Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA). Laporan Tempo.co pada 10 Juli 2019, menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia akan melindungi anak-anak WNI eks pendukung ISIS. Ditegaskan oleh Nahar, pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan penilaian WNI bekas pendukung ISIS yang masih ada di Suriah. Bila hasil penilaian menunjukkan anak-anak tersebut tidak memiliki masalah, baik secara hukum, politik, kewarganegaraan dan hubungan internasional, maka pihaknya akan melindunginya.
Tindakan ratusan WNI di atas patut disesalkan. Namun yang lebih penting adalah bagaimana menjadikannya sebagai bahan pelajaran. Jangan sampai hal ini terulang. Terlebih bagi generasi muda. Penguatan ideologi Pancasila serta bangga menjadi bangsa Indonesia harus menjadi agenda bersama. Jangan sampai lengah kembali, anak bangsa terpapar oleh ideologi yang bertentangan dengan semangat kebhinekaan Indonesia. Ideologi dan sistem khilafah Islam yang manis dijajakkan oleh ISIS harus menjadi bahan pembelajaran bersama.
Islam yang disalahpahami dan didoktrinkan melalui berbagai kanal media sosial terbukti mampu menggerus pemahaman sebagian warga negara Indonesia. Wajah Islam yang keras, radikal, dan ekstrem serta dibumbui dengan janji-janji surga harus ditangkal dengan pemahaman yang tepat. Jangan sampai Islam terus menerus dibajak oleh gerakan-gerakan yang haus kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, tokoh agamawan dan umat Islam pada umumnya harus kembali solid mendakwahkan Islam yang moderat.
Dakwah washathiyah Islam ini merupakan jawaban dari dua kecenderungan ekstrem yang ditunjukkan oleh sebagian umat Islam dalam beberapa dekade terakhir. Pertama, ekstrem yang dicirikan oleh sikap ketat dalam beragama, bahkan cenderung menutup diri. Menganggap kelompoknya yang paling benar. Bahkan menghalalkan darah kelompok lain yang tidak mendukungnya. Kedua, kecenderungan ekstrem yang dicirikan dengan sikap terlalu longgar dan terbuka. Bahkan mengaburkan esensi ajaran agama itu sendiri.
Sikap ekstrem dalam beragama memang bukanlah fenomena baru dalam sejarah Islam. Sejak periode yang paling dini, sejumlah kelompok keagamaan telah menunjukkan sikap ekstrem ini. Sebut saja misalnya kelompok Khawarij dan Murjiah. Lantas bagaimana dakwah Islam washathiyah itu? Apa tanda-tanda atau ciri-cirinya?
Dalam bukunya yang berjudul Moderasi Islam; Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama (2013), Dr. Muchlis M. Hanafi, selaku pakar kajian tafsir al-Qur’an, menyatakan bahwa ada enam ciri-ciri sikap moderat dalam beragama. Pertama, memahami realitas (fiqh al-waqi’). Harus dipahami bahwa kehidupan manusia selalu berubah. Berkembang tiada batas. Sementara teks-teks keagamaan terbatas. Setelah wafatnya Rasulullah saw, sudah tertutup pintu wahyu, baik berupa al-Qur’an ataupun hadis. Oleh karena itu, ajaran Islam berisikan ketentuan-ketentuan yang tetap (tsawabit), dan ketentuan yang dimungkinkan berubah sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu (mutaghayyirat).
Ajaran yang bersifat tsawabit hanya sedikit, yaitu berupa prinsip-prinsip akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Yang tetap ini tidak berubah dan tidak boleh diubah-ubah. Ia bersifat prinsip. Sedangkan selebihnya, mutaghayyirat bersifat elastis dan fleksibel (murunah). Dimungkinkan dapat berubah dan dipahami sesuai perkembangan zaman.
Seorang Muslim harus mampu memperhitungkan tindakannya. Sisi maslahat dan mafsadahnya secara realitis. Jangan sampai keinginan melakukan kemaslahatan mendatangkan mudharat yang lebih besar. Kisah perjuangan Nabi Muhammad saw selama 13 tahun di Mekkah adalah contoh nyata. Dalam kurun yang panjang ini, Nabi berdakwah dan mendidik generasi Islam. Beliau bersama pengikutnya hidup di tengah kemusyrikan. Tidak kurang dari 360 patung terpajang di sekeliling Ka’bah. Sementara beliau shalat dan thawaf di sekelilingnya. Tidak pernah terpikirkan untuk menghancurkan patung-patung yang melambangkan kemusyrikan. Nabi memahami betul bahwa umat Islam belum memiliki kekuatan untuk itu.
Kedua, memahami fiqih prioritas (fiqh al-awlawiyyat). Di dalam Islam, perintah dan larangan ditentukan bertingkat-tingkat. Sebagai misal, perintah ada yang bersifat anjuran, dibolehkan (mubah), ditekankan untuk dilaksanakan (sunnah mu’akkadah), dan ada juga yang bersifat wajib dan fardhu (ain dan kifayah).
Demikian juga larangan. Ada yang bersifat dibenci bila dilakukan (makruh), dan adapula larangan yang sama sekali tidak boleh dilakukan (haram). Di sisi lain, ada ajaran Islam yang bersifat ushul (pokok), dan ada yang bersifat furu’ (cabang). Sika moderat menuntut seseorang untuk tidak mendahulukan dan mementingkan ajaran yang bersifat sunnah, seraya meninggalkan yang wajib.
Mengulang-ulang ibadah haji dan umrah adalah sunnah. Sementara membantu saudara Muslim yang kesusahan adalah sebuah keharusan. Seyogianya yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Sebagai misal, pilihan politik adalah persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersifat furu’iyyah. Tidak boleh mengalahkan dan mengorbankan sesuatu yang prinsip dalam ajaran agama, yaitu persataun umat.
Ketiga, memahami sunnatullah dalam penciptaan. Sunnatullah yang dimaksud disini adalah graduasi atau penahapan (tadarruj). Graduasi ini berlaku dalam segala ketentuan hukum alam dan agama. Langit dan bumi diciptakan oleh Allah swt dalam enam masa (sittati ayyam). Padahal sangat mungkin bagi Allah untuk menciptakannya sekali jadi. Yakni dengan “kun fayakun”. Demikian pula penciptaan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan dilakukan secara bertahap.
Sama halnya dakwah Islam juga bersifat bertahap. Pada mulanya, dakwah Islam di Mekkah menekankan sisi keimanan (tauhid) yang benar. Kemudian secara bertahap, turun ketentuan-ketentuan syariat. Bahkan dalam menentukan syariat pun terkadang dilakukan secara bertahap. Sebagai misal, larangan minum khamar dilakukan melalui empat tahapan. Mulai dari informasi kalau kurma dan anggur itu mengandung khamr (an-Nahl: 67), informasi manfaat dan mudharat khamr (al-Baqarah: 219), larangan melaksanakan shalat saat mabuk (an-Nisa: 43), dan penetapan keharaman khamr (al-Maidah: 90).
Keempat, memberikan kemudahan kepada orang lain dalam beragama. Memberikan kemudahan adalah metode al-Qur’an dan metode yang diterapkan oleh Rasulullah. Ketika mengutus Sayidina Muadz bin Jabal dan Sayidina Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, Nabi Muhammad saw berpesan agar keduanya memberi kemudahan dalam berdakwah dan berfatwa. Serta tidak mempersulit orang lain (yassiru wala tu’assiru).
Hal ini bukan berarti sikap moderat mengorbankan teks-teks keagamaan untuk mencari yang termudah. Akan tetapi dengan mencermati teks-teks itu dan memahaminya secara mendalam untuk menemukan kemudahan yang diberikan agama. Bila dalam satu persoalan ada dua pandangan yang berbeda, maka pandangan termudah itulah yang diambil. Hal ini sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Setiap kali beliau disodorkan dua pilihan, maka beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya.
Kelima, memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif. Syariat Islam dapat dipahami dengan baik manakala sumber-sumbernya, yakni al-Qur’an dan hadis dipahami secara komperhensif. Tidak sepotong-potong. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi harus dipahami secara utuh. Tidak lain karena antara satu dengan lainnya saling menafsirkan (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan). Sebagai misal, dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an secara utuh akan dapat disimpulkan bahwa kata jihad dalam al-Qur’an tidak selalu berkonotasi perang bersenjata melawan musuh, tetapi dapat bermakna jihad melawan hawa nafsu.
Keenam, terbuka dengan dunia luar, mengedepankan dialog dan bersikap toleran. Sikap moderat Islam ditunjukkan melalui keterbukaan dengan pihak-pihak lain yang berbeda pandangan. Sikap ini didasari pada kenyataan bahwa perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah keniscayaan. Keterbukaan dengan sesama mendorong seorang Muslim moderat melakukan kerjasama dalam kehidupan. Prinsipnya adalah, bekerjasama dalam hal-hal yang menjadi kesepakatan untuk diselesaikan secara bersama, dan bersikap toleran terhadap perbedaan yang ada.
Kita berharap, ciri-ciri moderasi beragama ini dapat dipahami dan dipraktikkan oleh umat Islam. Selain itu juga terus menerus kita dakwahkan dalam berbagai media. Harapannya, narasi moderasi Islam dapat membentengi generasi muda dari gerakan-gerakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Lebih dari itu, narasi moderasi Islam ini dapat menyadarkan dan merangkul kembali saudara-saudara kita yang terlanjur terpapar oleh ekstremisme dan radikalime. Sebagaimana ratusan WNI eks simpatisan ISIS di atas.
Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 51/Jum’at, 12 Juli 2019