Jika kita lihat, semangat umat Islam sekarang untuk belajar agama sangat membahagiakan. Ini berarti ada suatu peningkatan kesadaran umat. Lihat saja dulu dijaman tahun 90an, disuruh ngaji saja mungkin sering bolos-bolosan. Pamitnya TPA tapi perginya ke lapangan main layangan. Namun sekarang lihatlah, hampir setiap kajian-kajian agama penuh sesak, apalagi jika ustad atau ustadzahnya punya followers jutaan di Instagram, pasti meluber sampe keluar- luar pasti jamaahnya.
Semangat kajian tinggi yang dimiliki banyak milenials sekarang ini rupanya kadang juga memiliki perbedaan dengan para santri. Lihat saja di pesantren saya, ketika ada jam ngaji selepas ashar para santri malah sibuk bersiap-siap pergi keluar pondok, entah untuk mencari makan atau urusan urusan lain. Memang mengaji sore tidak wajib, tapi jika kalian berada di pesantren dan tidak ikut mengaji, maka siap-siap saja dapat ganjarannya. Mungkin itulah yang mengilhami para santri ini memilih pergi daripada kena ta’zir (hukuman), lha orang nggak wajib juga kok ngaji sore itu, begitulah pikirnya.
Dalam kondisi seperti ini saya fahami bahwa seorang santri setidaknya telah memiliki identitasnya dalam beragama. Sehingga ia sudah tidak disibukan lagi dengan pencarian-pencarian identitas keagamaan. Bagi santri, beragama sudah masuk dalam sendi-sendi kehidupannya setiap hari dalam aktivitas apapun yang dikerjakannya. Benarlah jika Gus Dur menyebut “Pesantren sebagai Subkultur,” bahwa pesantren tak hanya sebagai tempat belajar agama, namun pesantren juga sebagai pembentuk jati diri dan kebudayaan.
Kegiatan di dunia pesantren memang sangat padat. Dari ba’da maghrib sampai larut malam para santri masih diharuskan mengikuti jadwal ngaji, pagi sebelum subuh juga harus bangun untuk bersiap sholat subuh berjamaah.
Sebagai santri sekaligus mahasiswa di perguruan tinggi sekitar Jogja, saya merasakan bagaimana lelahnya. Setelah beraktivitas seharian di luar, saat pulang, mereka tak bisa langsung merebahkan diri di kasur empuk, karena kegiatan-kegiatan di pesantren selalu menunggu.
Hingga sampai kita pada sebuah asumsi, bagaimana para santri mau dan sempat mengikuti aksi Reuni 212, bela tauhid dan semacamnya, lha wong setiap harinya saja sudah padat banget begitu kegiatannya. Kesehariannya sudah full belajar berbagai literatur klasik dan modern dari berbagai kitab, mulai dari kitab tauhid, fikih, ahlak, nahwu sharaf, balaghoh, dll.
Ini hanya di pesantren yang tidak begitu ketat kegiatannya, bagaimana jika di pesantren salaf yang khusus ngaji saja atau di sebuah boarding school yang menggabungkan sekolah umum dan pesantren. Dapat saya pastikan 24 jam full mereka tak lepas dari bela Islam, yaitu belajar (tholabul ilmi).
Wallahu A’lam.