Dalam Islam, perbedaan mazhab beragama merupakan hal yang lumrah dan tak perlu dipermasalahkan dengan panjang lebar. Orang-orang yang mudah menyalahkan orang lain dan mudah memaksakan pendapatnya terkait hal keagamaan membuktikan bahwa ia tidak mengerti betul hal-hal yang berkaitan dengan mazhab-mazhab dalam Islam.
Di daerah Asia Tenggara sendiri, memang lebih banyak didominasi oleh pengikut mazhab Syafii. Walaupun pada kenyataannya pengikut mazhab Syafii tersebut tidak bisa mengidentifikasi bahwa dirinya adalah pengikut mazhab Syafii.
Oleh karena itu, pengikut mazhab Syafii, baik yang merasa walaupun tidak merasa perlu dan harus mampu mengidentifikasi diferensiasi mazhab yang diikutinya sendiri. Selain sebagai pengenalan juga sebagai pembelajaran bahwa dalam Islam terdapat perbedaan dalam pengambilan hukum (istimbath al-ahkam).
Selain dengan sumber hukum yang disepakati (Alquran, sunnah, ijma’ dan qiyas), Imam al-Syafi’ijuga menggunakan beberapa sumber lain jika tidak terdapat dalil dalam Alquran maupun Sunnah. Seperti pendapat sahabat (atsar sahabat), bahkan bagi Imam al-Syafi’i, jika hanya ada pendapat sahabat, maka lebih diutamakan sebelum ke qiyas.
Selain itu, Imam al-Syafi’i juga menggunakan observasi induktif (istiqra’), yakni meneliti hukum-hukum yang sifatnya parsial untuk dijadikan sebagai argumen bagi hukum yang lebih global. Seperti salat sunnah di kendaraan.
Kasusnya pada saat itu, salat yang dilakukan oleh Rasul di atas kendaraan adalah salat witir. Karena salat witir adalah salah satu salat sunnah, maka Imam al-Syafi’i berkesimpulan semua salat sunnah boleh dilakukan di atas kendaraan.
Selain beberapa hal di atas, salah satu ciri khas Mazhab Syafi’i adalah dinamis. Hal ini disebutkan oleh Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam kitabnya Hujjatullah al-Balighah. bahwa Mazhab Syafi’i adalah mazhab yang terdepan dalam urusan dinamisasi dan progresivitas. Sehingga wajar jika memiliki banyak pengikut dan mampu bertahan hingga sekarang.
Wallahu A’lam.