“Muhammad itu pernah sesat, lalu diberi hidayah oleh Allah.” Begitulah kira-kira pernyataan seorang penceramah dari kota Bandung. Menurut penceramah tersebut, pernyataannya didasarkan kepada Al-Quran, yaitu Qs. Al-Dhuha: 7. Dalam ayat tersebut dikatakan wa wajadaka dhallan fa hada (Dia menemukanmu dalam keadaan “sesat” lalu memberimu hidayah).
Pernyataan ini membuat orang bertanya-tanya. Benarkah Nabi Muhammad pernah menjadi orang sesat? Bagaimana penjelasan para ulama terhadap Qs. Al-Dhuha: 7 yang seakan menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah menjadi orang yang sesat?
Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H.) mengumpulkan seluruh penjelasan ulama tentang Qs. Al-Dhuha: 7. Ada dua golongan dalam menyikapi maksud “kesesatan” Nabi Muhammad SAW.
Pertama, golongan yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengalami kesesatan, bahkan kekafiran. Dasar pendapat ini adalah Qs. Syura: 52, Qs. Yusuf: 3, dan Qs. Al-Zumar: 65. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Kalbi, Al-Suddi dan Mujahid. Al-Kalbi mengatakan, “Tuhan menemukanmu dalam keadaan sebagai orang kafir di tengah-tengah kaum yang kafir, lalu Dia menunjukkanmu kepada tauhid.” Al-Suddi mengatakan, “Nabi Muhammad SAW berpegang kepada agama kaumnya selama empat puluh tahun.” Mujahid berkata, “Nabi Muhammad SAW sesat dari tuntunan agama Allah.”
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW. tidak pernah sama sekali mengalami kesesatan, apalagi kekafiran. Pendapat ini disepakati mayoritas ulama, dari golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan Muktazilah. Menurut kaum Muktazilah pengertian tekstual Qs. Al-Dhuha: 7 tidak bisa diterima akal pikiran. Alasannya, status pernah sesat atau kafir akan menyebabkan orang lari dari dakwah Rasulullah SAW. Kesesatan dan kekafiran merupakan sifat tercela yang tidak mungkin terdapat dalam diri seorang utusan Allah. Sedang menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sebenarnya mungkin saja Rasulullah pernah mengalami kesesatan lalu diberi hidayah oleh Allah. Hal ini mungkin karena termasuk perkara yang berada dalam kuasa dan kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, tentu dia akan membuatnya demikian. Tetapi, dalil naqli menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. tidak pernah mengalami kesesatan. Buktinya adalah Qs. Al-Najm: 2 yang menyatakan bahwa “Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.” Ayat ini jelas-jelas menafikan bahwa Rasulullah Muhammad SAW. pernah mengalami kesesatan.
Baca Juga: Benarkah Nabi Muhammad Sesat?
Fakhruddin Al-Razi menampilkan sekitar dua puluh macam penjelasan para ulama tentang maksud “sesat” dalam Qs. Al-Dhuha: 7. Salah satu penjelasannya mengatakan bahwa maksud kesesatan adalah salah jalan yang pernah dialami Muhammad saat kecil sehingga beliau pernah terpisah dari ibu susuannya, Halimah Al-Sa’diyyah.
Diriwayatkan bahwa Halimah Al-Sa’diyyah berencana mengembalikan Muhammad kecil kepada keluarganya di kota Mekah. Dalam perjalanan, Halimah Al-Sa’diyyah kehilangan Muhammad. Lalu, Halimah memasuki kuil tempat pemujaan berhala Hubal. Halimah mengadukan anak susuannya yang hilang. Tiba-tiba berhala-berhala yang terdapat dalam kuil berjatuhan. Halimah mendengar suara yang mengatakan, “Kehancuran kami akan terjadi di tangan anak kecil ini.”
Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Saya pernah hilang ketika hendak dikembalikan kepada kakek saya, Abdul Muthallib. Saya saat itu adalah anak kecil yang terabaikan. Hampir saja saya mati kelaparan. Lalu Allah memberi petunjuk kepadaku.”
Diriwayatkan bahwa Abdul Muthallib pernah meratap di tembok Kakbah. Dia meminta kepada Allah agar cucunya dikembalikan kepadanya. Dalam ratapan, Abdul Muthallib berdoa dengan mengumandangkan syair.
يَا رَبِّ رُدَّ وَلَدِي مُحَمَّدَا … ارْدُدْهُ رَبِّي وَاصْطَنِعْ عِنْدِي يَدَا
Tuhanku, kembalikan anakku, Muhammad. Kembalikan ia, Tuhanku, dan berikan kepadaku pertolongan.
Baca juga: Ust. Evie Effendi dan Kontroversi Nabi Muhammad Sesat
Abdul Muthallib terus menerus mengulang bacaan doanya tersebut sampai Abu Jahal datang mengendarai unta. Di depannya, dia membonceng anak kecil yang tidak lain adalah Muhammad. Abu Jahal menceritakan kejadian aneh yang dialaminya ketika menemukan Muhammad. Sebelumnya, dia membonceng Muhammad kecil di belakang punggungnya. Tetapi untanya enggan berdiri. Tetapi setelah Muhammad dipindah ke bagian depan, untanya langsung berdiri. Menurut Ibnu Abbas, Nabi Muhammad dikembalikan kepada kakeknya melalui tangan musuhnya. Seperti Musa dikembalikan kepada orang tuanya melalui tangan Fir’aun.
Inilah kisah hilangnya Nabi Muhammad saat masih kecil. Kisah ini diabadikan dalam Qs. Al-Dhuha: 7. Jika penceramah dari Bandung itu menerjemahkan kata “dhalla” dengan “sesat”, ini berbeda dengan terjemahan resmi Kementerian Agama RI yang memilih menggunakan kata “bingung”. Sesat dan bingung tentu memiliki konotasi yang berbeda.
Apalagi jika dikaitkan dengan masalah agama. Berdasarkan kisah hilangnya Nabi Muhammad saat masih kecil, terjemahan yang lebih tepat agaknya adalah terjemahan versi Kementerian Agama. Seorang anak kecil yang terpisah dari orang tuanya akan lebih merasakan kebingungan daripada merasa tersesat. Ibnu Katsir (w. 774 H.), ahli tafsir terkemuka bermazhab Syafi’i, lebih menyukai penjelasan semacam ini dibanding yang menyatakan bahwa Muhammad pernah jadi orang sesat. Lebih-lebih kafir.
Wallahu A’lam